Sementara itu, dalam pemikiran Ibn Arabi, realitas adalah satu, dan semua keberadaan hanyalah manifestasi (tajalli) dari Wujud Tuhan. Arsy tetap diakui sebagai batas paling tinggi dalam manifestasi ilahi, namun Ibn Arabi membuka ruang makna bahwa manusia yang mencapai fana bisa merasakan "kedekatan" dengan Allah dalam bentuk kesadaran akan kesatuan wujud --- meski tidak pernah menyatu secara hakikat.
Perbedaan utama muncul pada sikap terhadap fana dan batas Arsy:
Dalam pandangan Konsep Ruang, Arsy tidak dapat ditembus oleh apapun, bahkan oleh fana. Karena Arsy adalah batas wujud makhluk, bukan sekadar batas pemahaman. Ini menegaskan posisi Wjud Allah sebagai sepenuhnya di luar ruang dan di luar kemungkinan makhluk.
Dalam pemikiran Ibn Arabi, fana membawa makhluk pada kesadaran akan wujud ilahi yang memancar dalam dirinya. Arsy tidak lagi dilihat sebagai dinding tegas, tetapi sebagai lapisan akhir dari kesadaran ilahiah yang bisa dirasakan---bukan ditembus secara literal.
Namun, keduanya sepakat bahwa Allah tidak bisa dibatasi oleh ruang. menegaskan bahwa ruang hanyalah alat bagi manusia untuk berjalan dalam takdir, sedangkan Ibn Arabi menekankan bahwa ruang dan waktu pun adalah manifestasi dari Wujud-Nya, bukan pembatas bagi-Nya.
Jika disederhanakan:
Konsep Ruang menekankan pada adab kehambaan dan batas mutlak antara makhluk dan Khalik.
Ibn Arabi menekankan pada makrifat dan kesatuan wujud sebagai puncak spiritualitas, tapi tetap dalam koridor tasawuf sunni yang menjaga batas adab terhadap Tuhan.
Keduanya tidak bertentangan secara prinsip, namun berdiri dalam dimensi pendekatan berbeda: Konsep Ruang mengembangkan teologi spasial-takdir, sedangkan Ibn Arabi menyelami ontologi kesatuan wujud.
Kita akan menjawab dengan menelusuri dasar wahyu Al-Qur'an dan Hadis, untuk menilai secara tekstual dan rasional mana pendekatan yang lebih sesuai dengan maksud asal wahyu: konsep ruang atau konsep wahdatul wujud (Ibn Arabi).
1. Kesesuaian dengan Struktur Wahyu (Tanzil)