By Christie Damayanti
Kereta di jam2 sibuk. Berangkat ke kantor atau berangkat sekolah. Antara jam 7.00 sampai jam 10.00 di Tokyo. Padat sekali, dan kursi roda belum bisa menddapatkan tempat, walau mereka tetap menghormati kaum disabled. Aku saja yang harus tahu diri, mereka harus mengejar waktu untuk sampai ke kantor atau ke sekolah. Kupikir, semua sama saja.
Mereka menghormati orang2 yang keluar dahulu sampai selesai, barulah mereka masuk kereta, tanpa desak2an apalagi dorong2n ......
***
....... Dari Kinshicho ke apartemen (Funahabashi Hoten)
Dengan kondisiku yang terbatas; yang lumpuh 1/2 tubuh kanan dan diatas kursi roda, seperti di artikelku sebelumnya, aku memilih moda trabsportasi kereta. Selain termudah yang aku bisa, kereta juga yang tercepat untuk bisa keliling Tokyo.
Karena Michelle anakku kuliah dan bekerja di Tokyo, tentu dia sudah tahu seluk beluk Jepang, khususnya Tokyo dan sekitarnya. Transportasi untuknya adalah yang terutama.
Dari apartemennya di Funabashi Hoten, dia harus berjalan kaki ke stasiun selama sekitar 30 menit. Lalu, jika dia mau je kampusnya di Ryogoku, dua naik kereta berganti 2x sekitar 30 menit, ke Nishi Funabashi dan berganti langsung ke Ryogoku, dan berjalan kaki sampai kampusnya sekitar 15 nenit.
Jika dia mau ke pekerjaannya di Hotel Disneyland, dari Ryogoku naik kereta ke Shin Urayasu dan berganti naik bus ke Hotel Disneyland.
Sedangkan jika dari Hotel Disneyland untuk menghampiri ke pekerjaannya yang jedua sebagai pramusaji Restoran Ramen Ichiran, dia harus kembali baik bus lagi ke Shin Utayasu, berganti naik kereta ke Asakusa-Bashi. Lalu berganti kereta subway ke Asakusa. Itulah jadwal transport Michelle setiap hari.
Tidak gampang bagi siapapun, karena di jam2 sibuk, warga Tokyo pun berebutan untuk naik kereta. Bedanya dengan Jakarta, berebutan bagi mereka tetap antri dengan tertib dan disiplin. Karena antara kereta waktunya hanya berharak 2 atau 3 menit di jam2 sibuk. Dan janji waktunya adalah benar tepat sampai sedetik2 nya! Jadi tidak ada alasan buat mereka untuk benar2 saling dorong.
Biaya untuk moda kereta itu cukup murah, walau mungkin jika dibanding dengan commuter Jakarta, memang berlipat. Jika hanya 1 stasiun kita harus bayar antara 120 sampai 180 tergantung kilometr nya. Yang terjauh sekitar Tokyo antara 500 sampai 600 untuk ke Shibuya atau Shinjuku, sekitar 1 jam. Itu pun harus berganti kereta line yang lain. Atau ke Narita sejitar 1000 sampai 1200 tergantung naik kereta yang mana. Karena ada line kereta yang dikuasai pemerintah, ada juga yang dikuasai swasta.
Jadi kita bisa berhitung untuk transportasi Michelle bolak balik dari apartemen ke kampus lalu ke pekerjaannya dan kembali ke apartemennya lagi. Cukup besar! Tetapi karena dia adalah mahasiswa, kampusnya mensubsidi transportasinya, walau hanya sekedear dari aoartemrnnya ke kampus dan krmbali ke apartemennya. Dan untuk kepekerjaannya, dia harus bayar sendiri dengan harga mahasiswa. Ya ..... Jepang memang mahal, teritaja bagi turis Indonesia.
***
Begitu juga jika aku keliling Tokyo. Bedanya sebagai disabled terutama pemakai kursi roda, aku benar2 di lindungi pemerintah Jepang. Kaum disabled adalah "yang dihormati", sehingga kami mempunyai fasilitas2 khusus yang tidak bisa atau tidak boleh dipakai oleh warga yang sehat dan normal.
Misalnya, untuk naik kereta aku harus meminta tolong petugas stasiun untuk nrmbawa 'mobile ramp' supaya aku bisa naik dn tutun kereta. Karena antara kereta dan leron stasiun, ada jarak sekitar 20 atau 30 cm dan level atau ketinggian yang berbeda. Sehingga bahwa kursi roda elektrikku pu pasti nyangkut jika tidak dibantu oleh ramp.
***
Jadi, setiap hari aku harus meminta Michelle untuk menulis tulisan Kanji jika aku mau ke suatu tempat. Karena sebagian besar *(sekali) mereka tidak bisa berbahasa Ingris! Jepang memang sala satu negara yang bangga akan produk dalam negerinya, termasuk bahasanya. Sehingga, jika kuta butuh mereka ya kita harus berbahasa mereka …..
Pertama kali, aku mencoba tanpa tulisan kanji dari Michelle. Walau aku berusaha untuk melafalkan nama stasiun yang aku ingin datangi, tetap saja mereka atau petugas stasiun tidak bisa mengerti. Padahal menurutku lafalnya sama saja, sehingga aku harus menunjukkan Tulsa kanji dari Michelle, hihihi …..
Nih caraku berkeliling Tokyo, dengan bermodalkan tulisan kanji dari Michelle :
Dan petugas stasiun akan siap membawa ‘mobile ramp’ untukku, sampai kereta berangkat, dan aku akan dijemput di stasiun tujuan oleh petugas stasiun yang sudah siap ‘mobile ramp’ ditangannya. Begitu pintu kereta terbuka, ramp dipasang dan tidak ada seorrang pun yang bergegas turun sampai aku diatas kursi roda keluar dari kereta.
Begitu cekatannya mereka dan begitu pedulinya warga jepang dan menghormati kaum disabilitas. Walau kami tidak mampu berkomunikasi dengan baik, tetapi kami mempunyai bahasa kalbu. Saling mengerti, saling mnghormati dan salig menghargai. Dan terciptalah sebuah kehidupan dalam kepedulian yang hakiki, yang dunia inginka. Dan itu pun yang Tuhan inginkan untuk kita lakukan ......
Sebelumya :
Mencoba Berbagai Moda Transportasi Keliling Tokyo
Sendirian, Keliling Tokyo Hanya dengan Kursi Roda 'Ajaibku'
Funabashi, "Kota Belanja" untuk Turis yang Tidak Siap dengan Harga Mahal Jepang
Bukan Sekedar Berkuda di Funabashi Hoten
"Aku Ingin Tinggal di Rumah Nobita, yang Ada Doraemon", dan [Hampir] Menjadi Kenyataan
"Negeri Impian" Funabashi Hoten
Sekali Lagi, Mengapa Funabashi Hoten?
'Funabashi-Hoten', Kota Kecil Awal Sebuah Kemandirian
Denyut Kehidupan di Nishi Funabashi sebagai "Kota Transit"
Awal Perjuangan untuk Menaklukan Jepang di Nishi Funabashi
'Nishi Funabashi', Sebuah Kota Kecil Tempat Hatiku Berlabuh
Sebuah Negara dari 'Antah Berantah' dengan Bahasa dan Tulisan Cacingnya, Duniaku yang Baru .....