Sri Mulyani selama ini dikenal berhati-hati, menekankan stabilitas fiskal, dan sering dianggap lebih berpihak pada kredibilitas internasional ketimbang respons cepat terhadap kebutuhan domestik. Meski ia punya reputasi teknokrat kelas dunia, gaya itu seringkali dianggap terlalu elitis dan lamban dalam menjawab keresahan rakyat.
Dengan menempatkan Purbaya, Presiden Prabowo bukan hanya mengganti menteri, melainkan mengganti paradigma. Kebijakan Purbaya langsung berorientasi ke rakyat, bukan ke pasar internasional.
Purbaya menggeser orientasi dari menjaga angka-angka makro menjadi mengalirkan likuiditas ke sektor yang lebih terasa oleh masyarakat. Kontras ini sangat kentara dan sengaja dipelihara untuk menciptakan efek pembakaran.
Bagi menteri-menteri lain, kontras ini menjadi peringatan. Mereka bisa saja tergeser jika hanya mempertahankan pola lama tanpa inovasi.
Sri Mulyani, dengan segala capaian dan reputasinya, pada akhirnya tetap digantikan karena dianggap tidak sejalan dengan kebutuhan dalam perkembangan kondisi sosial-politik terkini. Pesan yang disampaikan Presiden melalui strategi "bakar samping" ini jelas: tidak ada yang aman hanya dengan reputasi lama.
Dengan demikian, Purbaya tidak hanya menjalankan kebijakan, tetapi juga memainkan fungsi simbolik: membongkar paradigma lama dan menunjukkan arah baru. Semua ini menjadi pressure point yang membakar menteri-menteri lain untuk bergerak.
Strategi ini menunjukkan keberanian politik Presiden Prabowo. Ia berani melawan arus narasi global yang biasanya mengidolakan teknokrat konservatif. Ia lebih memilih kebijakan yang pro-rakyat meski dengan risiko benturan. Inilah inti dari strategi "bakar samping": keberanian menciptakan obor baru untuk menyalakan api di seluruh ruangan.
Efek Psikologis di Dalam Kabinet
Strategi "bakar samping" bukan hanya soal kebijakan substantif, melainkan juga permainan psikologis.
Dengan menampilkan Purbaya sebagai figur baru yang cepat beraksi, Presiden Prabowo menciptakan tekanan psikologis kepada seluruh menteri. Mereka sadar bahwa kinerja akan menjadi tolok ukur utama, dan sorotan publik bisa dengan cepat beralih pada siapa yang mampu tampil dengan terobosan nyata.
Efek psikologis ini berbeda dengan model kabinet berbasis jatah koalisi. Dalam model lama, posisi menteri lebih ditentukan oleh kompromi politik, sehingga performa relatif tidak terlalu menentukan.