Mohon tunggu...
Chazali H Situmorang
Chazali H Situmorang Mohon Tunggu... Apoteker - Mantan Ketua DJSN 2011-2015.

Mantan Ketua DJSN 2011-2015. Dosen Kebijakan Publik FISIP UNAS; Direktur Social Security Development Institute, Ketua Dewan Pakar Lembaga Anti Fraud Asuransi Indonesia (LAFAI).

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Tata Kelola Obat dalam Sorotan KPK

2 Februari 2019   08:20 Diperbarui: 2 Februari 2019   15:07 592
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi obat-obatan | Sumber: pixabay.com/stevepb

Kedua; Aturan perubahan FORNAS berlaku surut melanggar asas kepastian hukum. Adendum Fornas 2015 berdasrkan KMK Nomor HK.02.02/Menkes/137/2016 diterbitkan tanggal 18 Februari 2016, tetap diberlakukan surut sejak tanggal 1 Januari 2016. 

Pada adendum terjadi penambahan, pengurangan item dan perubahan restriksi yang berpotensi merugikan stakeholder terkait. Kita banyak mendapatkan keluhan RS maupun apotik yang melayani JKN karena gagal klaim. 

Faskes yang terlanjur memberikan obat yang ternyata sudah dikeluarkan dari Fornas atau karena memberikan obat yang berubah retriksinya, khususnya untuk obat sitostika yang dibayar di luar paket INA CBGs. Atau malah terjadi sebaliknya RS menjadi dapat mengajukan klaim kembali yang seharusnya tidak bisa dilakukan karena item obat yang sudah keluar dari Fornas muncul lagi. 

Asas kepastian hukum itu adalah ; hukum tidak berlaku surut agar tidak menimbulkan kerugian bagi siapapun. Pihak Kemenkes harus membuka diri soal ini. Tidak perlu sampai menjadi hasil kajian KPK. 

Kalau disadari memang ada kekeliruan segera diperbaiki. Jangan sempat heboh. Saya juga sempat mendapatkan keluhan sejawat Apoteker yang klaim obatnya tidak dapat dibayar BPJS Kesehatan karena PMK ini.

Ketiga; Tidak akuratnya Rencana Kebutuhan Obat (RKO) sebagai dasar pengadaan e-catalogue. Dari data yang diperoleh, ternyata tidak semua Dinkes terutama Faskes (RS, Apotik) yang bekerjasama dengan BPJS Kesehatan menyampaikan RKO kepada Kemenkes sebagai dasar pengadaan obat e-catalogue.

Bayangkan penyampaian RKO 2016, RS Pemerintah 52%, RS swasta 2%, dan apotik PRB 15%. Belum lagi data RKO yang ada menyimpang/melenceng jauh dari realisasi belanja, hanya mencapai 30-40%. Di samping itu data RKO belum tersambung dengan e-catalogue sehingga Faskes yang tidak menyampaikan RKO tetap dapat belanja dan/atau sebaliknya.

Implikasinya yang banyak dikeluhkan sekarang ini adalah kekosongan obat dan disisi lain kelebihan stok obat dan tentunya dapat menimbulkan kerugian bagi industri farmasi. Pada tahun 2016 sudah e-monev untuk mengatasi ketidakakuratan RKO tetapi lemah di sosialisasi dan penggunaannya belum optimal.

Dalam persoalan ini KPK telah menyarankan agar mekanisme penyusunan RKO dan validasinya sehingga menjadi data yang akurat. Monev dioptimalkan dan harus ada follow-upnya yang terukur. 

Dan harus tegas mengeluarkan aturan dan konsisten bahwa akses belanja obat di e-catalogue hanya untuk Satker/Faskes yang menyampaikan RKO. Dan juga penting e-monev yang dibuat Kemenkes harus diintegrasikan dengan e -- catalogue sehingga data RKO dan realisasi belanja dapat terhubungkan.

Keempat; Mekanisme pengadaan obat melalui e-catalogue belum optimal. Terjadinya keterlambatan dan kegagalan lelang obat oleh LKPP tahun 2016, dan e-catalogue baru dapat diakses Satker pada bulan April. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun