Angin beraroma garam, jelaga, dan keputusasaan. Malam itu adalah malam ketika bahkan bintang-bintang pun enggan bersinar. Selubung awan tebal menggantung di atas atap-atap jerami, yang nyaris tak tembus cahaya bulan yang redup.
Pierre berdiri di belakang lumbung tua, hanya beberapa ratus meter dari danau. Tanah di bawah sepatu botnya berlumpur, basah kuyup oleh hujan lebat baru-baru ini, dan setiap tarikan napasnya seakan memecah kesunyian malam.
Dia mengenakan pakaian gelap, kemeja pudar di balik mantel panjang biru tua. Bahunya tampak merosot karena beban beberapa bulan terakhir. Di tangannya, dia memegang gulungan perkamen berisi rencana pelarian sederhana dengan tulisan tangan yang halus: waktu, rute, cuaca, pasang surut. Semuanya telah diperhitungkan. Semuanya telah dipersiapkan. Namun, ketakutan yang menggantung di kepalanya tak semudah itu ditepis.
BERSAMBUNG
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI