Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://ikhwanulhalim.com WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Roman Pilihan

Semerbak Lavender di Kintamani: Bab Tiga Belas

9 Oktober 2025   19:53 Diperbarui: 9 Oktober 2025   19:53 61
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beberapa hari berikutnya berlalu dalam ritme yang tak mereka rencanakan, tetapi mereka nikmati bersama. Sarapan di dapur---kopi, roti, terkadang dadih segar dari desa. Lalu pekerjaan: mengampelas, mengecat, mengangkut, merenovasi.

Anggun menemukan sudut-sudut yang tak pernah dia kunjungi semasa kecil. Di balik rak tua, dia menemukan peti kecil berisi surat-surat tulisan tangan. Tulisannya sudah tua, hampir pudar. Dia menyimpannya---untuk nanti.

Maurice menunjukkan padanya cara menggunakan ketam, cara mengampelas papan lantai tua tanpa merusaknya. Anggun takjub melihat betapa sabarnya Maurice.

Betapa fokusnya Maurice.

Terkadang dia bersenandung sendiri---lagu-lagu pelaut kuno, seperti yang diingatnya dari kakeknya. Itu bukan rayuan. Itu bukan permainan. Namun, ada sesuatu di mata mereka yang tak terucapkan. Rasa kedekatan. Keakraban yang tumbuh melalui kerja bersama. Melalui keheningan. Melalui berbagi debu dan keringat. Melalui kemenangan-kemenangan kecil dan otot yang lelah.

Pada hari keenam, angin tiba-tiba bertiup kencang. Awan bergerak lebih cepat, dan cahaya pun berubah. Mereka baru saja mulai memasang kembali jendela atap di lorong lantai atas ketika hujan deras mulai turun. Tetes-tetes air menggenang di atap. Guntur bergemuruh di atas gunung. Mereka berlari masuk ke dalam rumah, tertawa, basah kuyup.

Di dapur terdapat tungku kayu tua, yang Anggun coba nyalakan. Setelah beberapa kali mencoba, api kecil pun menyala. Mereka menggantung jaket mereka di gantungan dan duduk di lantai, bertelanjang kaki, dengan cangkir-cangkir teh mengepul di tangan mereka.

Maurice mengangkat lututnya, menyandarkan dagunya di atasnya.

"Kau ingat bagaimana rasanya saat kau datang ke sini?"

Anggun mengangguk. "Aku tersesat. Atau hampir kehilangan diriku sendiri." Dia menatap api unggun.

"Dan sekarang?"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Roman Selengkapnya
Lihat Roman Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun