Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://ikhwanulhalim.com WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Roman Pilihan

Semerbak Lavender di Kintamani: Bab Dua Belas

8 Oktober 2025   18:46 Diperbarui: 8 Oktober 2025   18:46 45
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saat berbelok ke jalan masuk, dia melihat Maurice berdiri di beranda, segelas air di tangan. Maurice mendongak, melihatnya---dan tersenyum. Bukan senyum penuh tanya. Bukan senyum yang dipaksakan. Hanya sambutan yang tenang.

Anggun memarkir mobil, keluar, dan hanya berdiri di sana sejenak. Lalu dia berkata pelan, hampir pada dirinya sendiri.

"Aku kembali."

Rumah itu hening saat Anggun membuka pintu pagi itu. Kuncinya agak macet, dan gemboknya terbuka dengan bunyi klik kering, seolah-olah sudah terbiasa sendirian. Di dalam, tercium aroma lantai kayu tua, debu, dan masa lalu.

Sinar matahari masuk miring melalui jendela, menggambar pola-pola cerah di lantai. Sejuk. Bukan dingin, hanya diwarnai hawa dingin samar yang tidak ada hubungannya dengan suhu. Melainkan dengan ingatan.

Anggun meletakkan tasnya, perlahan melepas sepatunya, dan berjalan tanpa alas kaki menyusuri lorong. Lantai kayu berderit menahan berat badannya, seperti sapaan diam-diam dari masa lalu. Lorong itu persis seperti dulu: dinding hijau muda, cat mengelupas di kusen pintu, kait tempat ibunya biasa menggantung celemek. Dia berhenti di luar ruang tamu, meletakkan tangannya di kenop pintu, dan ragu-ragu. Lalu dia perlahan mendorongnya ke bawah.

Ruang tamu itu terasa seolah telah bertahan bertahun-tahun tanpa pernah bernapas. Perabotannya ditutupi kain putih yang sedikit bergoyang tertiup angin sepoi-sepoi. Di atas perapian berdiri sebuah vas kosong, di sebelahnya sebuah foto pudar dalam bingkai perak, Anggun semasa kecil, tertawa di antara dua baris tanaman lavender. Sesak samar menjalar di dadanya. Namun dia menepisnya. Hari ini bukan hari berkabung, melainkan sebuah awal.

Dingin di dapur. Daun jendela macet. Dia harus mendorong kuat-kuat hingga terbuka.

Cahaya yang masuk membuat kayu tua itu berkilau. Baunya seperti masa lalu. Tar, lavender kering, dan aroma lembap dari hal-hal yang terlupakan. Anggun bersandar di wastafel, memejamkan mata, dan membiarkan momen itu meresap.

Lalu dia mengeluarkan ponselnya dan menulis satu kalimat, "Aku sudah di rumah. Besok pagi?"

Maurice menjawab semenit kemudian.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Roman Selengkapnya
Lihat Roman Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun