"Mungkin. Mungkin tidak."
Mereka berpelukan singkat, tanpa kata-kata lebih lanjut. Saat itu, tidak ada penjelasan yang dibutuhkan. Anggun tahu Paula pada akhirnya akan mengerti---atau mungkin tidak.
Itu tak penting lagi.
Di luar, Anggun menarik napas dalam-dalam. Langit kelabu tapi cerah. Di dalam tasnya, terlindungi dengan baik, terdapat sebotol minyak lavender---yang dia dapatkan sendiri dengan tangan, hati, dan kesabarannya. Itu lebih dari sekadar aroma. Itu adalah kenangan, sebuah keputusan, sebuah harapan.
Dia tidak berjalan. Dia tidak berlari. Dia berjalan dengan langkah mantap menuju perhentian berikutnya. Dia tak lagi punya apartemen di Florence, tak punya rencana, tak punya kontrak. Hanya botol ini. Dan perasaan telah melakukan sesuatu dengan benar.
***
Perjalanan pulang ke Kintamani terasa hening. Kali ini, tak ada musik di telinganya. Tak ada berita. Hanya suara kereta api, lanskap perlahan berubah dari beton menjadi sawah, dari industri menjadi alam. Dia memandang ke luar dan membayangkan Maurice bekerja di kebun. Apakah dia menatap langit? Apakah dia merindukannya?
Lepas senja ketika dia tiba di Banyuwangi dari Yogyakarta. angin sejuk bertiup dari laut. Burung-burung berputar-putar. Laut tenang.
Anggun melangkah turun dari kereta, langsung merasakan ritme yang berbeda. Kepadatan udara yang berbeda.
Suasananya tak lagi sama seperti terakhir kali mereka berpamitan. Sesuatu telah bergeser, menata dirinya sendiri, melepaskan. Dia masuk ke mobil yang ditinggalkannya di stasiun. Mesinnya menyala pada percobaan ketiga. Radio memutar lagu Osing.
***