Sebuah taksi menunggu di lobi. Sopirnya menyambut Anggun dengan hangat, tak mengenalinya. Untung saja.
Perjalanan menyusuri kota terasa begitu panjang. Lampu lalu lintas. Lokasi konstruksi. Orang-orang dengan cangkir kopi siap saji bergegas menuju tujuan mereka.
Kota yang sama tempat dia tinggal, bekerja, dan tumbuh selama bertahun-tahun. Namun dia merasa seperti orang asing. Bukan bermusuhan---hanya tak lagi merasa diterima. Seolah-olah dia hanyalah seorang pengunjung.
Dia keluar di depan gedung parfum. Resepsionisnya, seperti biasa, dingin dan efisien. Fasad kaca memantulkan sosok yang hampir tak dikenalinya lagi. Dia mengangguk kepada resepsionis dan melangkah mantap menyusuri lorong, melewati rekan-rekan yang terburu-buru dengan tablet di tangan atau bergegas menyusuri koridor dengan ponsel mereka. Tak seorang pun menghentikannya. Tak seorang pun melihatnya hari ini sebagai apa pun selain rekan kerja yang baru kembali dari akhir pekan di pulau.
Laboratorium itu sunyi. AC berdengung pelan, ratusan botol kecil berdiri di rak kaca seperti tentara dalam pasukan penciuman. Anggun menurunkan tasnya dari bahu dan meletakkannya di atas meja. Tangannya tidak gemetar.
Dia tenang. Pikirannya jernih.
Dr. Pietro Salce memasuki ruangan kurang dari sepuluh menit kemudian. Seperti biasa, dengan setelan jas, rambutnya disisir rapi ke belakang, dan aroma vetiver yang samar tercium darinya. Dia memegang cangkir teh dan menatapnya dengan heran.
"Ah, Anggun. Aku kira kau sudah kembali sore ini. Bagaimana presentasinya?"
Anggun menatapnya tajam.
"Singkatnya, sukses. Aromanya diterima dengan baik. Tapi bukan itu alasanku datang lebih awal."
Pietro mengangkat sebelah alis dan dengan hati-hati meletakkan cangkir di bufet.
"Aku mendengarkan."
Anggun menarik napas dalam-dalam.
"Aku mengundurkan diri."
Tak ada cangkir yang jatuh. Tak ada jeda dramatis. Hanya keheningan.
Berat. Panjang.
Akhirnya, Pietro berkata dengan tenang.
"Semoga aku salah dengar."
Anggun menggelengkan kepalanya. "Aku tahu ini mengejutkan. Tapi tidak mudah membuat keputusan ini."
Pietro melangkah mendekat, melipat tangannya.
"Dan apa alasannya, kalau boleh kutanya? Pulau Bali? Jadi, sedikit udara laut itu membuatmu berubah pikiran?" Suaranya terdengar tajam, ironis.
"Bukan. Bukan udaranya. Kejernihannya."
Dia menatapnya dengan tenang.
"Di sana aku menyadari bahwa aku telah menjauhkan diri. Di sini---di lab ini, di dunia ini---aku tak lagi sepenuhnya menjadi diriku sendiri. Aku mulai berfungsi tanpa perasaan. Aroma yang kukembangkan di Kintamani. Itulah pertama kalinya selama bertahun-tahun aku merasakan apa yang benar-benar mampu kulakukan---ketika aku bebas."
Pietro tertawa pelan, tak percaya.
"Bebas? Anggun, kau memiliki kebebasan penuh di sini. Kami memberimu sumber daya, menjanjikanmu timmu sendiri. Kau telah memenangkan penghargaan. Dan sekarang kau ingin membuang semua itu karena kau... bermain-main dengan lavender di perkebunan?"
"Aku tidak membuang apa pun. Aku membawa sesuatu. Sesuatu yang lebih penting bagiku daripada gelar dan kampanye."
Sesaat berlalu ketika Pietro hanya menatapnya. Lalu dia melangkah ke pintu dan menutupnya pelan-pelan. Ketika dia berbalik, suaranya lebih dingin.
"Kau akan mengerti bahwa aku membutuhkan surat pengunduran diri resmi di atas kertas."
"Aku sudah menyiapkannya. Di tasku."
"Dan kau benar-benar yakin? Tidak ada cuti? Tidak ada pengunduran diri sementara? Kau tahu kalau kau pergi sekarang ... tidak ada jalan kembali."
Anggun mengangguk.
"Aku tahu. Namun---atau mungkin karena itu."
Pietro  mengambil kertas itu, membacanya sekilas, lalu melipatnya perlahan.
"Bagus. Kalau begitu, kuharap kau sukses di pertanianmu."
Ejekan itu kental dalam kata-katanya. Tapi Anggun membiarkannya begitu saja. Tanpa sepatah kata pun, dia membuka pintu, mengambil tasnya, dan pergi.
Di lorong, dia bertemu Paula. Rekannya menatapnya, terkejut.
"Ada apa?"
Anggun ragu-ragu. Lalu dia mengangkat tasnya sedikit. "Aku keluar."
"Maksudmu---keluar? Apa maksudmu?"
"Aku berhenti. Hari ini. Baru saja."
Paula mengerjap, lalu berseru. "Tapi... kau gila."
"Mungkin. Mungkin tidak."
Mereka berpelukan singkat, tanpa kata-kata lebih lanjut. Saat itu, tidak ada penjelasan yang dibutuhkan. Anggun tahu Paula pada akhirnya akan mengerti---atau mungkin tidak.
Itu tak penting lagi.
Di luar, Anggun menarik napas dalam-dalam. Langit kelabu tapi cerah. Di dalam tasnya, terlindungi dengan baik, terdapat sebotol minyak lavender---yang dia dapatkan sendiri dengan tangan, hati, dan kesabarannya. Itu lebih dari sekadar aroma. Itu adalah kenangan, sebuah keputusan, sebuah harapan.
Dia tidak berjalan. Dia tidak berlari. Dia berjalan dengan langkah mantap menuju perhentian berikutnya. Dia tak lagi punya apartemen di Florence, tak punya rencana, tak punya kontrak. Hanya botol ini. Dan perasaan telah melakukan sesuatu dengan benar.
***
Perjalanan pulang ke Kintamani terasa hening. Kali ini, tak ada musik di telinganya. Tak ada berita. Hanya suara kereta api, lanskap perlahan berubah dari beton menjadi sawah, dari industri menjadi alam. Dia memandang ke luar dan membayangkan Maurice bekerja di kebun. Apakah dia menatap langit? Apakah dia merindukannya?
Lepas senja ketika dia tiba di Banyuwangi dari Yogyakarta. angin sejuk bertiup dari laut. Burung-burung berputar-putar. Laut tenang.
Anggun melangkah turun dari kereta, langsung merasakan ritme yang berbeda. Kepadatan udara yang berbeda.
Suasananya tak lagi sama seperti terakhir kali mereka berpamitan. Sesuatu telah bergeser, menata dirinya sendiri, melepaskan. Dia masuk ke mobil yang ditinggalkannya di stasiun. Mesinnya menyala pada percobaan ketiga. Radio memutar lagu Osing.
***
Saat berbelok ke jalan masuk, dia melihat Maurice berdiri di beranda, segelas air di tangan. Maurice mendongak, melihatnya---dan tersenyum. Bukan senyum penuh tanya. Bukan senyum yang dipaksakan. Hanya sambutan yang tenang.
Anggun memarkir mobil, keluar, dan hanya berdiri di sana sejenak. Lalu dia berkata pelan, hampir pada dirinya sendiri.
"Aku kembali."
Rumah itu hening saat Anggun membuka pintu pagi itu. Kuncinya agak macet, dan gemboknya terbuka dengan bunyi klik kering, seolah-olah sudah terbiasa sendirian. Di dalam, tercium aroma lantai kayu tua, debu, dan masa lalu.
Sinar matahari masuk miring melalui jendela, menggambar pola-pola cerah di lantai. Sejuk. Bukan dingin, hanya diwarnai hawa dingin samar yang tidak ada hubungannya dengan suhu. Melainkan dengan ingatan.
Anggun meletakkan tasnya, perlahan melepas sepatunya, dan berjalan tanpa alas kaki menyusuri lorong. Lantai kayu berderit menahan berat badannya, seperti sapaan diam-diam dari masa lalu. Lorong itu persis seperti dulu: dinding hijau muda, cat mengelupas di kusen pintu, kait tempat ibunya biasa menggantung celemek. Dia berhenti di luar ruang tamu, meletakkan tangannya di kenop pintu, dan ragu-ragu. Lalu dia perlahan mendorongnya ke bawah.
Ruang tamu itu terasa seolah telah bertahan bertahun-tahun tanpa pernah bernapas. Perabotannya ditutupi kain putih yang sedikit bergoyang tertiup angin sepoi-sepoi. Di atas perapian berdiri sebuah vas kosong, di sebelahnya sebuah foto pudar dalam bingkai perak, Anggun semasa kecil, tertawa di antara dua baris tanaman lavender. Sesak samar menjalar di dadanya. Namun dia menepisnya. Hari ini bukan hari berkabung, melainkan sebuah awal.
Dingin di dapur. Daun jendela macet. Dia harus mendorong kuat-kuat hingga terbuka.
Cahaya yang masuk membuat kayu tua itu berkilau. Baunya seperti masa lalu. Tar, lavender kering, dan aroma lembap dari hal-hal yang terlupakan. Anggun bersandar di wastafel, memejamkan mata, dan membiarkan momen itu meresap.
Lalu dia mengeluarkan ponselnya dan menulis satu kalimat, "Aku sudah di rumah. Besok pagi?"
Maurice menjawab semenit kemudian.
"Aku bawa peralatan. Dan kopi."
BERSAMBUNG
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI