Sebuah taksi menunggu di lobi. Sopirnya menyambut Anggun dengan hangat, tak mengenalinya. Untung saja.
Perjalanan menyusuri kota terasa begitu panjang. Lampu lalu lintas. Lokasi konstruksi. Orang-orang dengan cangkir kopi siap saji bergegas menuju tujuan mereka.
Kota yang sama tempat dia tinggal, bekerja, dan tumbuh selama bertahun-tahun. Namun dia merasa seperti orang asing. Bukan bermusuhan---hanya tak lagi merasa diterima. Seolah-olah dia hanyalah seorang pengunjung.
Dia keluar di depan gedung parfum. Resepsionisnya, seperti biasa, dingin dan efisien. Fasad kaca memantulkan sosok yang hampir tak dikenalinya lagi. Dia mengangguk kepada resepsionis dan melangkah mantap menyusuri lorong, melewati rekan-rekan yang terburu-buru dengan tablet di tangan atau bergegas menyusuri koridor dengan ponsel mereka. Tak seorang pun menghentikannya. Tak seorang pun melihatnya hari ini sebagai apa pun selain rekan kerja yang baru kembali dari akhir pekan di pulau.
Laboratorium itu sunyi. AC berdengung pelan, ratusan botol kecil berdiri di rak kaca seperti tentara dalam pasukan penciuman. Anggun menurunkan tasnya dari bahu dan meletakkannya di atas meja. Tangannya tidak gemetar.
Dia tenang. Pikirannya jernih.
Dr. Pietro Salce memasuki ruangan kurang dari sepuluh menit kemudian. Seperti biasa, dengan setelan jas, rambutnya disisir rapi ke belakang, dan aroma vetiver yang samar tercium darinya. Dia memegang cangkir teh dan menatapnya dengan heran.
"Ah, Anggun. Aku kira kau sudah kembali sore ini. Bagaimana presentasinya?"
Anggun menatapnya tajam.