Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://web.facebook.com/PimediaPublishing/ WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Nian

2 Februari 2023   20:10 Diperbarui: 7 Februari 2023   23:10 574
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kabut perlahan-lahan mundur, secara bertahap mengungkap kehancuran berupa kiamat purba.

Kuda yang terluka meronta-ronta. Roda kereta yang terbalik berputar dan berderit. Di sebelah kirinya, seekor makhluk raksasa melingkar menjemput kematian, lingkaran tubuhnya yang besar menciptakan simpul yang mustahil terjadi. Jerit kesakitan diteriakkan oleh salah satu dari sembilan nyawa.

Awan gelap di atas kepala bergolak dan bergemuruh. Petir melintas melompat di antara kelompok awan. Perisai langit menggelegar dan menggedor seperti gong yang pecah. Sebuah meteor yang membara masuk ke bawah tabir dan meledak seperti kembang api yang agung. Gumpalan-gumpalan bersinar terlempar jauh menyisakan jejak berkilauan terang. Saat kematiannya, sosok bersayap asap jatuh lemas dan tak bernyawa.

Pertempuran belum usai. Para dewa telah berbaris maju untuk berperang, dan mereka telah memanggil binatang buas terhebat ke hadapan mereka. Dalam bentrokan, mesin-mesin perang yang hebat ini terjerat dan tersiksa, direnggut dan dihancurkan, tak lebih dari semacam alat yang dicampakkan dan ditinggalkan.

Binatang buas itu juga ada di sini, tak jauh di depan Santo. Nian Shou terlambat bergabung dalam pertempuran. Raungan---bukan sorak kemenangan, tapi jerit ketakutan ---tertahan di tenggorokannya yang tercekik. Sisi-sisinya bergetar di depan derak cahaya dan bunyi baru. Tidak ada kemuliaan yang menunggu anak muda ini.

Binatang itu berlari ke gundukan berumput gemuk. Bukit ini berguncang karena serbuan, dan pita merah tumpah dari mana-mana.


Nian Shou mundur, melolong. Bulu emasnya kusut karena darah kematian teman dan musuh. Di mana pun tampak mengalir air merah: sungai merah, lautan merah. Pada waktunya, tidak akan ada rona yang lebih dibencinya.

Binatang itu akhirnya merasakan pengejarnya yang kecil, dan dia berputar. Mata bulat dan seringai lebarnya mencerminkan tarian barongsai, tapi mata itu terbelalak ketakutan. Melihat Santo laksana bola kegelapan yang besar, memantulkan titik-titik cahaya langit. Bocah itu melihat banyak kenangan tercermin. Seekor tikus dalam perangkap. Seekor kucing yang ketakutan dan sendok seorang wanita tua.

Seekor Tikus pintar dengan kemauan dan jalan, meninggalkan seekor Kucing terjebak di jeram pengkhianatan.

***

Santo selalu menjadi yang paling kerdil di keluarganya. Kakak perempuannya sudah kuliah di perguruan tinggi bergengsi, tapi dia masih kelas tiga. Dan berkat ulang tahunnya di bulan September, beberapa teman sekelasnya sudah lebih dulu meninggi sepanjang tahun.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun