Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://web.facebook.com/PimediaPublishing/ WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Nian

2 Februari 2023   20:10 Diperbarui: 7 Februari 2023   23:10 574
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Jangan sedih begitu," tegur Nainai sambil mencubit pipinya dengan jari-jarinya yang kuat. "Itu hanya tikus."

"Tapi Nainai," jawab Santo, saat suara gemerisik terdengar dari tempat sampah, "Shio-ku kan, tikus."

Meski bukan yang terkuat atau terbesar dari dua belas shio, tapi itu adalah shio Santo.

"Makanya kamu sebaiknya lebih pintar dari shio-mu!" Nainai terkekeh.

Santo menghindari jurus cakar harimaunya ketika Nainai menghalaunya kembali ke dalam.

Dia dengan susah payah kembali ke pekerjaan rumah matematika yang diberikan gurunya.


***

Santo menggeser kursinya ke jendela di samping tempat tidurnya yang sempit. Di Pecinan, penyewa dan wisatawan sama-sama melakukan pembelian di menit-menit terakhir. Mereka menimbun dekorasi merah dan emas untuk mengisi tempat-tempat kosong di sekitar rumah, kue untuk dibagikan dengan anggota keluarga, atau arak untuk menemani permainan mahyong larut malam.

Hiruk-pikuk petasan dan kembang api yang selalu hadir adalah melodi yang menenangkan baginya, pengulangan yang akrab bagi telinganya dari liburan yang diingat dan tradisi bersama yang kental.

Tapi malam ini, jalan di luar jendelanya sangatlah sepi. Kabut kelabu yang aneh mengendap sepanjang jalan, memperlihatkan lampion kertas merah pucat yang tergantung di bilah kayu rumah bata satu lantai. Tepat di seberang rumahnya, tempat toko serba ada simpang jalan seharusnya berdiri, sebatang pohon mahoni berdiri sendiri. Ini adalah satu-satunya pohon untuk deretan bangunan yang seharusnya ramai.

Santo bisa mendengar kicau percakapan yang datang dari tetangga baru di seberang jalan, di suatu tempat di dalam rumah tua mereka yang aneh. Kata-kata mengalir dengan bebas dalam bahasa nainai-nya, tetapi ritmenya tidak biasa. Mungkin beda suku. Lebih kuno.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun