Nainai tersenyum sambil menutup pintu. "Tidak ada yang tahu, Didi. Sekarang pergilah tidur. Itu hanya sebuah cerita."
***
Awan gelap guntur bergulung di luar, dan bocah laki-laki itu naik ke jendela. Pusaran kabut yang menghilang menunjukkan jalan terakhir monster itu.
Santo menaikkan bagian bawah jendelanya perlahan dan hati-hati agar neneknya tidak masuk untuk menghentikan kepergiannya.
Malam ini, rumah di seberang jalan itu gelap. Lampion merah usangnya padam dan pintunya tertutup. Tidak ada sajak yang menghiasi kusen pintu. Biksu berjanggut putih panjang belum pernah berkunjung ke sini. Mungkin penduduk desa bersembunyi di dalam. Mungkin mereka sudah pergi ke pegunungan.
Tidak masalah.
Tangan kanan Santo memegang korek api, dan di tangan kirinya seutas petasan.
Santo mengikuti jejak jejak kaki yang nyata menembus kabut tebal, ke tempat pepohonan lebat tumbuh. Suara gemuruh di depan meyakinkannya bahwa dia berada di jalan yang benar. Bocah itu membayangkan dirinya sedang mengejar barongsai melalui jalan-jalan Pecinan. Mata yang bulat cerah dan seringai lebar selalu tampak terlalu meriah untuk mewakili legenda monster Nian. Di sana juga, kostum emas berbulu akhirnya akan terbuka untuk menampilkan dua pria muda, tertawa dan menari bagai ditunggangi roh. Tidak ada siapa-siapa yang menunggunya di sini malam ini, namun dia tidak takut.
Jalan itu menikung ke dalam tumpukan rumput yang berlumpur dan tanah yang licin.
Saat kabut memudar, Santo memasuki tempat terbuka yang membentang ribuan li jauhnya. Dan di sana, di kejauhan, sosok pegunungan gelap menjulang, diterangi sekilas oleh kilatan cahaya dari cakrawala: tujuan petualangannya.
Santo tersandung saat kakinya menemui rintangan yang tiba-tiba. Di bawahnya, hampir terkubur dalam lumpur, terbaring tubuh seorang prajurit yang mengenakan baju tempur dari kulit. Pelindung logamnya telah hancur seperti kaleng rombeng, dan tombaknya tergeletak, patah dan rompal.