Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://web.facebook.com/PimediaPublishing/ WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Nian

2 Februari 2023   20:10 Diperbarui: 7 Februari 2023   23:10 574
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Nainai tersenyum sambil menutup pintu. "Tidak ada yang tahu, Didi. Sekarang pergilah tidur. Itu hanya sebuah cerita."

***

Awan gelap guntur bergulung di luar, dan bocah laki-laki itu naik ke jendela. Pusaran kabut yang menghilang menunjukkan jalan terakhir monster itu.

Santo menaikkan bagian bawah jendelanya perlahan dan hati-hati agar neneknya tidak masuk untuk menghentikan kepergiannya.

Malam ini, rumah di seberang jalan itu gelap. Lampion merah usangnya padam dan pintunya tertutup. Tidak ada sajak yang menghiasi kusen pintu. Biksu berjanggut putih panjang belum pernah berkunjung ke sini. Mungkin penduduk desa bersembunyi di dalam. Mungkin mereka sudah pergi ke pegunungan.

Tidak masalah.


Tangan kanan Santo memegang korek api, dan di tangan kirinya seutas petasan.

Santo mengikuti jejak jejak kaki yang nyata menembus kabut tebal, ke tempat pepohonan lebat tumbuh. Suara gemuruh di depan meyakinkannya bahwa dia berada di jalan yang benar. Bocah itu membayangkan dirinya sedang mengejar barongsai melalui jalan-jalan Pecinan. Mata yang bulat cerah dan seringai lebar selalu tampak terlalu meriah untuk mewakili legenda monster Nian. Di sana juga, kostum emas berbulu akhirnya akan terbuka untuk menampilkan dua pria muda, tertawa dan menari bagai ditunggangi roh. Tidak ada siapa-siapa yang menunggunya di sini malam ini, namun dia tidak takut.

Jalan itu menikung ke dalam tumpukan rumput yang berlumpur dan tanah yang licin.

Saat kabut memudar, Santo memasuki tempat terbuka yang membentang ribuan li jauhnya. Dan di sana, di kejauhan, sosok pegunungan gelap menjulang, diterangi sekilas oleh kilatan cahaya dari cakrawala: tujuan petualangannya.

Santo tersandung saat kakinya menemui rintangan yang tiba-tiba. Di bawahnya, hampir terkubur dalam lumpur, terbaring tubuh seorang prajurit yang mengenakan baju tempur dari kulit. Pelindung logamnya telah hancur seperti kaleng rombeng, dan tombaknya tergeletak, patah dan rompal.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun