Butuh beberapa detik bagiku untuk melihatnya, dan hanya sekejap untuk memahaminya. "Peta Selatan. Kamu terbalik."
"Itu," katanya, "tergantung dari sudut pandang."Â
Dia melepas kacamata hitamnya dan tatapannya meninjuku hingga aku nyaris K.O.
Di peron nomor sembilan Stasiun Dover tatapan kami bertarung. Mata lawan mata, kenyataan versus kenyataan, kekuatan keinginan melawan kekuatan keinginan dan... dia benar-benar memiliki mata yang indah. Sangat biru.
Dalam sekejap bumi hilang. Yang kulihat sepenuhnya hanya dirinya.
Kelelahan menyelimutiku.
Aku kalah, tetapi memaksa punggungku tetap tegak saat berbalik dan melangkah pergi. Aku akan pulang ke Jakarta. Aku akan mengunci pintu sampai akhir hayat. Aku akan---
"Hei!"
Jantungku berdegup kencang. Kakiku melambat.
"Apa?"
"Apa yang akan kamu lakukan dengannya?"