Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://web.facebook.com/PimediaPublishing/ WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

CMP 40: Tiga Putaran Berlawanan Arah Jarum Jam

16 Januari 2022   09:12 Diperbarui: 16 Januari 2022   09:21 589
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hanya ada satu ritual sihir: ritual kepemilikan.

Apakah ibuku yang mengajari ini? Apakah itu muncul dari rasa tidak aman dan kebutuhan? 

Aku baru menyadarinya bahwa aku memilikinya saat berumur empat tahun. Aku mulai dari yang kecil, dengan kucing tetangga.

Hewan itu mengerjap ke arahku saat aku tersandung di antara rerumputan yang diselimuti embun. Sekali putaran, dua kali, tiga kali berlawanan arah jarum jam dan kucing itu milikku. Dia mengikutiku pulang. Tetangga itu tidak berkata apa-apa. Kucing itu tiba-tiba saja menjadi milik kami.

Milikku.

Tapi aku ingin lebih. Pada ulang tahunku yang kedelapan belas sebelum memutuskan untuk mengambil Sastra Inggris di University of Kent, Canterbury, Inggris, aku berjalan mengelilingi pulau Jawa melalui pantura dan jalur pantai selatan berlawanan arah jarum jam untuk ketiga kalinya. Mencapai Stasiun Bandung dalam gerimis, kaki melepuh, dengan seringai lebar yang tidak bisa kusembunyikan.

Pulau Jawa menjadi milikku: gunungnya, hujannya, desa dan kotanya, orang-orangnya, bangunan, dan seni.

Milikku.

Yang pertama aku lakukan adalah menaikkan pajak crazy rich. Kemudian aku menyatakan kemerdekaan adalah hak dan kewajiban bagi seluruh manusia yang berada di Pulau Jawa. Hasilnya lebih baik dari yang kubayangkan, korupsi hilang.

Setamat kuliah, aku merencanakan mengelilingi Bumi saat liburan musim dingin. Mengumpulkan uang untuk perjalanan, memiliki Pulau Jawa itu gampang. Namun aku harus melintasi setiap kilometer dengan keinginan yang kuat dalam satu jalur yang tak terputus.

Rute tidak masalah, tetapi harus jaraknya saat di melintas khatulistiwa atas dan bawahnya. Aku membeli telepon satelit terbaru, mengunduh peta dan aplikasi terjemahan, dan memulai di Dover dengan naik feri ke Prancis, berkonsentrasi pada setiap hentakan baling-baling.

Pertama kali melihat pria itu di sebuah hotel di Selandia Baru, seorang pria tampan bermata biru dengan ransel kotor di punggung. Dia menatapku dengan tatapan yang membuatku takut sehingga aku melupakan niat menginap malam itu dan melanjutkan perjalanan: Belize, Ekuador, Kuba...

Aku bertemu lagi dengannya tiga minggu kemudian, kali kedua keliling dunia, di sebuah restoran mahal di Sidney Harbour. Ransel kotor yang sama, tatapan penasaran yang sama.

Dia berdiri dan melangkah ke mejaku, tapi aku kabur keluar dan menghilang dalam kerumunan. Dia membuatku gugup. Ritual tiga putaran melawan arah jarum jam menuntut konsentrasi penuh.

Dan di Islandia lagi-lagi aku ketemu dia, berjalan sendirian menyalipku di lereng tertutup salju. Saat melihatnya, aku hampir kehilangan konsentrasi tentang Bumi akan menjadi milikku. Nyaris.

Matanya melebar. Mulutnya terbuka. Aku panik dan mendorongnya hingga terjatuh ke hamparan salju, dan menghilang ke puncak dengan rintihan kesal.

Siapa dia? Apakah dia mengikutiku? 

Dua kali di Australasia boleh saja kebetulan, tapi Islandia? Atau mungkin dia benar-benar sial.

Aku melanjutkan perjalanan: Irlandia, Prancis, Jerman...

Kali ketiga aku menghindari Australia, berpapasan dengannya di Papua Nugini. Untung aku membawa payung dan menikam kakinya sebelum melarikan diri.

Aku tak membutuhkan senjata di Texas. Kami berada di sisi berlainan panel kaca George Bush Intercontinental Airport. Eskalator datar kami meluncur ke arah yang berlawanan.

"Aku melihatmu," teriaknya saat melewatiku. Maka aku bersembunyi di toilet sampai keberangkatan.

Di kereta api dari London ke Dover, aku menggigit bibir dan melihat pemandangan pedesaan dari jendela. Keluar dari kereta akan menyelesaikan ritual tiga putaran berlawanan arah jarum jam. Aku menarik napas dalam-dalam. Lingkaran itu akan menutup. Aku akan memiliki Bumi dan kemudian... Yah, seperti Phileas Fogg saat meyelesaikan perjalanan 80 hari keliling dunia-nya, berendam lama dalam bak mandi air hangat.

Dia sudah menungguku di peron. Hilang sudah ransel kotornya.

Mengenakan kacamata hitam Randolph Engineering dan setelan abu-abu buatan penjahit kelas dunia. Saat aku turun dari kereta, tenggorokanku bagai dicekik. Bumi adadi sana, aku bisa merasakannya. Namun saat kakiku menyentuh beton berdebu, aku tahu itu bukan milikku.

Belum.

"Goodday," katanya. Aksen Australia.

"Apa yang telah kamu lakukan?" aku mendesis. "Kamu siapa?"

Dia tersenyum dan membungkuk. "Pemilik yang sah." Selandia Baru, mungkin.

"Ini milikku!" Aku tahu itu bisa saja. Aku bisa merasakannya. "Aku melingkarinya berlawanan arah jarum jam. Tiga kali."

"Ah," katanya. "Dan aku juga." Dia merogoh saku, membuat penumpang yang terburu-buru berbelok di sekitar kami saat dia membentangkan lembaran peta besar.

Peta Dunia versi Australia (mapworld.com.au)
Peta Dunia versi Australia (mapworld.com.au)

Butuh beberapa detik bagiku untuk melihatnya, dan hanya sekejap untuk memahaminya. "Peta Selatan. Kamu terbalik."

"Itu," katanya, "tergantung dari sudut pandang." 

Dia melepas kacamata hitamnya dan tatapannya meninjuku hingga aku nyaris K.O.

Di peron nomor sembilan Stasiun Dover tatapan kami bertarung. Mata lawan mata, kenyataan versus kenyataan, kekuatan keinginan melawan kekuatan keinginan dan... dia benar-benar memiliki mata yang indah. Sangat biru.

Dalam sekejap bumi hilang. Yang kulihat sepenuhnya hanya dirinya.

Kelelahan menyelimutiku.

Aku kalah, tetapi memaksa punggungku tetap tegak saat berbalik dan melangkah pergi. Aku akan pulang ke Jakarta. Aku akan mengunci pintu sampai akhir hayat. Aku akan---

"Hei!"

Jantungku berdegup kencang. Kakiku melambat.

"Apa?"

"Apa yang akan kamu lakukan dengannya?"

"Apa?" Kataku lagi, berbalik.

"Kalau itu milikmu."

Aku tidak ingin menjawab. Dia telah menang.

"Aku akan...."

Tidak tahu untuk mengatakan apa.

"Kalau itu menjadi milikku. Aku akan..."

Selamat, pikirku. Aku akan selamat.

Dia mengangguk. "Tidak ada yang bisa mengambil sesuatu yang di luar dirimu, kalau memang tidak ada di luar."

Dia mencoba senyum yang hanya setengah berhasil. "Bukan perdamaian dunia, kalau begitu?"

"Nanti pasti aku akan berpikir begitu," jawabku.

"Mungkin juga."

Detik berlalu.

"Kemarilah," katanya. "Pegang tanganku."

"Mengapa?"

"Aku ingin menunjukkan sesuatu padamu."

Dia mengangkat bahu dan mencoba senyum lain yang hampir berhasil. Telapak tangannya menempel di telapak tanganku, tapi cengkeramannya mantap.

"Ayo jalan," katanya, tetapi bukan bergerak menjauh. Sebaliknya dia berbalik perlahan, menarikku untuk berjalan melawan arah jarum jam mengelilinginya.

Satu kali.

Dua kali.

"Apa yang kamu lakukan?"

Aku menarik tanganku.

"Entah." Dia menelan ludah. "Apakah aku yang akan mengelilingimu, atau kamu yang akan mengelilingiku?"

Sesuatu di dadaku membuncah.

"Persoalan sudut pandang," jawabku, tak bisa menahan senyum.

Aku meraih tangannya lagi dan kami saling mengorbit di peron yang sekarang kosong. Sekali.

Dua kali.

Tiga kali.

Dan ritual itu selesai.

Bandung, 16 Januari 2022

Sumber ilustrasi:

1. https://wallpaperaccess.com/around-the-world

2. https://www.mapworld.com.au/products/australia-upside-down-world-map-in-envelope

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun