"Aku melihatmu," teriaknya saat melewatiku. Maka aku bersembunyi di toilet sampai keberangkatan.
Di kereta api dari London ke Dover, aku menggigit bibir dan melihat pemandangan pedesaan dari jendela. Keluar dari kereta akan menyelesaikan ritual tiga putaran berlawanan arah jarum jam. Aku menarik napas dalam-dalam. Lingkaran itu akan menutup. Aku akan memiliki Bumi dan kemudian... Yah, seperti Phileas Fogg saat meyelesaikan perjalanan 80 hari keliling dunia-nya, berendam lama dalam bak mandi air hangat.
Dia sudah menungguku di peron. Hilang sudah ransel kotornya.
Mengenakan kacamata hitam Randolph Engineering dan setelan abu-abu buatan penjahit kelas dunia. Saat aku turun dari kereta, tenggorokanku bagai dicekik. Bumi adadi sana, aku bisa merasakannya. Namun saat kakiku menyentuh beton berdebu, aku tahu itu bukan milikku.
Belum.
"Goodday,"Â katanya. Aksen Australia.
"Apa yang telah kamu lakukan?" aku mendesis. "Kamu siapa?"
Dia tersenyum dan membungkuk. "Pemilik yang sah." Selandia Baru, mungkin.
"Ini milikku!" Aku tahu itu bisa saja. Aku bisa merasakannya. "Aku melingkarinya berlawanan arah jarum jam. Tiga kali."
"Ah," katanya. "Dan aku juga." Dia merogoh saku, membuat penumpang yang terburu-buru berbelok di sekitar kami saat dia membentangkan lembaran peta besar.