Grinder belum menyala.
Pagi di Lembang berjalan lambat, tanpa irama,
udara tidak dingin, tapi juga tidak hangat.
Rak memo di sebelah dapur sudah dibuka,
tapi belum ada yang dibaca.
Raka duduk di kursi tua, menghadap jendela yang belum dilepas tirainya.
Gilang membuka laci log sangrai,
menemukan batch yang keriput, warnanya tidak rata.
Labelnya setengah terkelupas.
Fermentasi 27 jam — gagal disimpan, jangan diseduh.
Ia diam.
Tidak tergesa membuang atau menyimpan kembali.
Tangannya memegang batch itu seperti benda yang tidak ingin disentuh tapi juga tidak bisa diabaikan.
Termos tua masih menyimpan air hangat yang kehilangan panasnya.
Gilang menyeduh pelan, tidak mencari suhu ideal.
Aroma mulai naik, perlahan,
bukan seperti kopi yang ingin menjual rasa,
tapi seperti surat yang belum pernah dikirim.
Raka mendekat, duduk lebih dekat ke rak memo.
Ia tidak bicara.
Matanya mengikuti gerak uap air,
seperti seseorang yang sedang membaca kabut, bukan tulisan.
----------
Di belakang rak cangkir, ditemukan sepucuk surat.
Kertasnya bau tanah basah.
Tinta pudar, dan tulisan tangan miring ke kiri.
Tidak jelas siapa pengirimnya,
tapi tahun tertulis: 2011.
“Kami tidak bisa menulis profil rasa.
Tapi waktu hujan turun lebih lama dari kemarau,
fermentasi berubah.
Kami tidak ingin minta maaf atas perubahan itu.”
Surat itu tidak ingin dikirim.
Ia hanya ingin ditemukan.
Gilang membaca ulang sambil menyeduh batch itu kembali.
Aroma kelapa rebus dan kacang pahit muncul,
pelan-pelan, tidak sekaligus.
Kedai hari itu tidak menerima tamu.
Tapi bangku kosong tetap diatur menghadap cahaya,
karena bangku bisa mengingat.
----------
Minggu lalu datang paket kecil.
Tidak ada nama pengirim, hanya tanda pos dari luar negeri.
Di dalamnya: kopi tanpa merek,
dan secarik memo dari seseorang yang pernah bekerja di bidang diplomasi.
“Kopi ini tidak lolos uji rasa.
Tapi menyelamatkan satu negosiasi malam itu.
Karena tubuh yang minum berkata:
‘Rasa ini jujur. Cukup untuk percaya malam ini.’”
Gilang mencampur batch diplomat itu dengan batch Lembang.
Tanpa skala.
Tanpa pengukur.
Tanpa tujuan.
Raka hanya melihat.
Tidak mengomentari.
Karena bukan rasa yang sedang diuji.
Yang sedang diseduh adalah keberanian membaca batch gagal
tanpa ingin memperbaiki.
----------
Hari berikutnya, Fahri menang gim di ponsel.
Suara “Victory” terdengar seperti tawa yang dipaksakan.
Gilang tertawa kering,
bersandar di rak memo.
Raka duduk di sudut,
membuka laci plastik biru.
Di dalamnya: mouse tua, kabel digulung,
dan satu stempel:
CV. Banten Naga Perkasa.
“Om Raka, dulu main Mobile Legend juga?”
Fahri bertanya sambil mengusap layar.
Raka tidak langsung menjawab.
Ia menatap ponsel Fahri dengan tenang,
lalu membuka box sepatu
berisi bon pulsa tahun 2004.
“Saya joki dulu. Warnet 24 jam.
Main bukan buat menang.
Tapi buat menjaga koneksi tetap hidup.
Supaya utang tetap terhubung.
Supaya hidup punya alasan login.”
Fahri menang lagi.
Tapi tidak bersorak.
Ia membuka memo kosong,
menulis satu baris:
“Kalau Raka dulu main bukan buat menang,
saya ingin tahu:
siapa musuh yang ingin dilupakan?”
----------
Memo sangrai dibaca ulang oleh Fahri.
Biasanya memo itu penuh angka,
suhu, durasi, berat.
Tapi hari itu, memo dibaca seperti puisi.
“27 jam bukan waktu.
Tapi tubuh yang tidak tidur
karena rasa belum menemukan kata
yang layak masuk sistem.”
Puisi itu ditulis di balik bon teh pahit.
Lalu ditempel di dekat grinder
yang masih belum menyala.
Seperti benda yang sedang menyimpan ragu
dan menunggu tubuh bicara dulu.
Raka menyeduh teh di dapur.
Bukan untuk tamu.
Untuk tubuh yang dulu tidur di kursi warnet
dan bangun dengan niat menjaga koneksi hidup.
----------
Rak memo sejarah dibuka.
Ada fragmen kecil dari masa kolonial.
Kopi pertama kali ditanam oleh Belanda di Lembang,
bibit dari Yaman lewat Batavia.
Tanam paksa diberlakukan.
Petani diperintah untuk menanam, bukan menyeduh.
Rasa tidak dianggap penting,
asal volume naik.
Lembang menyimpan aroma yang dipaksa tumbuh.
Gunung Tangkuban Parahu menjadi latar,
dan perkebunan kopi menyebar di antara pinus dan kabut.
Setelah kemerdekaan,
kopi tenggelam oleh teh dan beton.
Petani berganti,
kedai berkurang,
memo ditinggalkan.
Tahun 2000–2015,
petani dari lereng kembali menanam arabika,
di bawah tegakan pinus,
dengan harapan baru.
Program hutan bersama memberi ruang,
tapi sistem tetap bicara angka.
Petani mulai menyeduh batch kecil,
bukan untuk pasar,
tapi untuk tubuh.
Kopi Lembang mulai disebut lagi,
tapi hanya jika lulus uji cupping.
Batch yang tidak lulus,
tidak dibuang.
Disimpan sebagai aroma yang belum selesai.
----------
Hari itu, kedai tidak menyajikan menu.
Tidak ada biji unggulan.
Tidak ada pencapaian rasa.
Yang ada hanya batch gagal,
surat tak dikirim,
dan kabel mouse yang masih menyimpan jejak tangan bingung.
Bangku tidak ramai.
Tamu tidak bertanya.
Tapi grinder tetap diam
dan tubuh tetap menyeduh.
Karena aroma yang diburu
tidak selalu ingin ditemukan.
Ia hanya ingin diminum
oleh tubuh-tubuh yang berani
menyeduh memo
tanpa ingin lulus.
Catatan :
Buku Ke-2 dari Serial "Raka : Aroma Yang Tidak Pernah Selesai" berisi 15 Bab Cerita Bersambung
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI