Namun, pertanyaannya kemudian adalah: apakah peristiwa itu benar-benar menyelamatkan, atau sekadar mengalihkan dominasi dari ancaman komunis ke dominasi militeristik yang juga mengekang ekspresi politik Islam?
2. Dibonsai Secara Politik
Setelah G30S, umat Islam memang terlibat aktif dalam pembersihan PKI. Namun, pasca konsolidasi kekuasaan oleh Orde Baru, umat Islam justru mengalami pengebirian politik:
Partai-partai Islam dipaksa melebur dalam PPP, sehingga kehilangan dinamika dan keragaman internal.
Simbol-simbol Islam disubordinasikan demi ideologi negara Pancasila versi tunggal.
Kritik Islam politik terhadap ketidakadilan kerap dicurigai sebagai ancaman terhadap stabilitas nasional.
Dalam banyak hal, umat Islam diminta untuk "berterima kasih" karena telah diselamatkan dari PKI, namun diminta diam saat hak-haknya dipangkas dalam nama persatuan dan pembangunan.
3. Ditekan untuk Menyesuaikan Diri dengan Narasi Nasionalisme Orde Baru
Umat Islam pasca-G30S didorong masuk ke dalam kerangka narasi nasional yang dikontrol oleh negara: Pancasila sebagai asas tunggal, Islam sebagai kekuatan moral yang apolitis, dan semua bentuk aspirasi politik Islam dianggap sebagai ekstremisme jika tidak tunduk pada garis negara.
Akibatnya:
Kemandirian ideologis umat Islam dikikis.
Wacana Islam dibatasi pada dimensi ritual dan sosial, bukan sistemik atau politik.
Konflik antara umat Islam dan negara muncul secara laten, misalnya dalam peristiwa Tanjung Priok, Lampung, dan penindasan terhadap aktivis dakwah yang dianggap subversif.
4. Rekonsiliasi yang Belum Selesai
Sampai hari ini, umat Islam seringkali masih berada di persimpangan: apakah tetap menjaga harmoni nasional dengan mengalah, atau mulai menuntut posisi yang setara dalam narasi sejarah dan pembangunan nasional?
Sebagian kalangan muda Islam kini mulai menggugat narasi tunggal Orde Baru, ingin menggali kembali peran-peran heroik umat Islam dalam membangun Indonesia---termasuk dalam menghalau komunisme---yang selama ini terpinggirkan atau dikerdilkan.
Nasib umat Islam setelah G30S bukan hanya cerita tentang kemenangan atau kekalahan, tetapi tentang negosiasi rumit antara idealisme, survival, dan tuntutan zaman. Jika dahulu umat Islam diselamatkan dari bahaya laten komunis, kini tantangannya adalah diselamatkan dari bahaya laten marginalisasi ideologis yang lebih halus tapi mengakar.