Mohon tunggu...
Asep Setiawan
Asep Setiawan Mohon Tunggu... Membahasakan fantasi. Menulis untuk membentuk revolusi. Dedicated to the rebels.

Nalar, Nurani, Nyali. Curious, Critical, Rebellious. Mindset, Mindmap, Mindful

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

G30S: Tragedi yang Menyelamatkan atau Luka yang Belum Sembuh

1 Oktober 2025   13:02 Diperbarui: 1 Oktober 2025   13:37 40
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jika luka dibuka untuk saling menyalahkan, tentu akan menambah sakit. Namun jika luka dibuka untuk saling mendengarkan, mengakui, dan memahami, ia bisa menjadi awal dari penyembuhan bersama.

3. Jalan Tengah: Etika Kebenaran yang Berbelas Kasih

Indonesia membutuhkan pendekatan baru dalam menggali sejarah kelam:

Sebuah etika kebenaran yang tidak menginjak pihak mana pun.
Keberanian mengakui kompleksitas sejarah, bahwa tidak semua hitam-putih, bahwa pelaku bisa juga korban sistem, dan korban bisa jadi terjebak dalam narasi.
Berbelas kasih pada semua sisi: dari keluarga jenderal yang gugur, sampai anak kecil yang kehilangan ayah karena dituduh simpatisan kiri.
Kita tidak sedang mencari kambing hitam baru, tapi sedang berusaha memahami tragedi lama agar tidak menjadi lingkaran dendam baru.

4. Narasi Alternatif Bukan untuk Menghapus, Tapi Menyempurnakan

Menghadirkan sejarah versi korban, peneliti independen, atau bahkan simpatisan kiri bukan berarti membenarkan kekerasan ideologis. Justru dengan membuka ruang itu, kita bisa:

Menguji kembali narasi yang selama ini mapan.
Menemukan celah sejarah yang bisa dipulihkan.
Menyusun ingatan yang lebih utuh---bukan demi nostalgia, tapi demi masa depan yang tak mengulangi luka serupa.
5. Membangun Ingatan Bersama, Bukan Memori yang Bertarung

Jalan tengah bukan jalan netral tanpa sikap, tapi jalan yang memilih keberanian di atas ketakutan, dan kasih di atas dendam. Ia menolak dikotomi palsu: antara "menggali sejarah" dan "mengguncang negara." Ia justru meyakini bahwa sejarah yang jujur akan memperkuat bangsa, bukan memecahnya.

Dengan pendekatan ini, bangsa Indonesia bisa menciptakan ruang:

Di mana anak muda tidak lagi takut bertanya soal G30S.
Di mana korban tidak lagi hidup dalam bayang-bayang aib.
Dan di mana sejarah menjadi guru, bukan senjata.
Sejarah bukan milik penguasa, bukan pula monopoli para pengamat. Sejarah adalah milik semua yang hidup di dalamnya---baik yang menang maupun yang hilang.

Membuka kebenaran bukan untuk membuka luka, tapi untuk menutupnya dengan pengakuan, pemahaman, dan keberanian bersama. Dan hanya dengan begitu, kita bisa berjalan lebih utuh sebagai bangsa.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun