Diperkirakan 1 hingga 2 juta orang tewas.
Jutaan lainnya ditahan, diasingkan, dipermalukan, atau mengalami penyiksaan.
Ciri khas Tiongkok:
Kekerasan dikomandoi oleh struktur negara (terutama melalui Red Guards).
Target: guru, cendekiawan, birokrat lama, hingga sesama komunis.
Negara menjadi instrumen ideologis tunggal dan menghancurkan stabilitas sosial.
Generasi yang kehilangan pendidikan dan kemanusiaan---trauma berskala nasional.
3. Vietnam (1954--1975): Perang Saudara dan Konsolidasi Komunis
Vietnam mengalami trauma yang lain: perang saudara brutal antara Utara (komunis) dan Selatan (didukung AS), yang berpuncak pada jatuhnya Saigon pada 1975 dan bersatunya negara di bawah kepemimpinan komunis.
Jumlah korban jiwa:
Sekitar 1,3 hingga 3 juta jiwa meninggal selama dua dekade konflik.
Termasuk warga sipil, tentara, serta korban kamp kerja paksa setelah perang.
Ciri khas Vietnam:
Perang antar negara bagian dengan dukungan internasional.
Kekerasan sistematis terjadi baik saat perang maupun dalam masa konsolidasi setelah kemenangan komunis.
Terjadi pelanggaran HAM besar-besaran pascaperang, termasuk "re-education camps".
4. Apa yang Bisa Dipetik dari Perbandingan Ini?
Setiap tragedi memiliki konteks dan watak tersendiri. Namun jika dibandingkan secara kasar dari segi jumlah korban, skala kehancuran sosial, dan intensitas kekerasan, maka:
Namun perbandingan ini bukan untuk mencari mana yang "lebih berdarah", melainkan untuk menimbang dengan serius:
Apakah Indonesia berhasil menghindari tragedi yang lebih luas dengan cara yang tak kalah menyakitkan?
Ataukah kita hanya mengganti satu bentuk ekstremisme dengan ekstremisme lainnya?
5. Renungan Akhir: Korban Tak Pernah Sekadar Angka
Satu nyawa manusia terlalu mahal untuk dijadikan instrumen kebijakan, apalagi berjuta-juta. Namun, membandingkan pengalaman Indonesia dengan Tiongkok dan Vietnam memberi pelajaran penting: kekerasan ideologis, entah dari kanan atau kiri, selalu menghancurkan generasi.