Ada dua kutub besar dalam menafsirkan tragedi ini:
Pandangan pertama menyebut penumpasan tersebut sebagai bentuk "pembersihan" yang diperlukan demi menjaga keutuhan negara, menutup kemungkinan kudeta komunis, dan membendung kekacauan massal seperti yang terjadi di RRC (Revolusi Kebudayaan) atau Vietnam (Perang Saudara dan intervensi asing).
Pandangan kedua menekankan bahwa negara telah gagal melindungi hak asasi warga negaranya, menyerah pada politik ketakutan, dan membiarkan hukum rimba menggantikan keadilan. Bagi mereka, tragedi ini tak bisa dibenarkan dalam konteks apa pun, termasuk alasan geopolitik atau nasionalisme.
Antara dua kutub itu, ada ruang reflektif yang lebih luas dan matang: sebuah kesadaran bahwa kekejaman tidak boleh dibenarkan, tetapi juga tidak bisa dimaknai secara ahistoris atau terputus dari konteks ancaman zaman.
2. Konteks Zaman: Antara Ancaman Nyata dan Ketakutan Kolektif
Tahun 1965 bukanlah masa normal. Indonesia berada di tengah gejolak ideologis dunia: Perang Dingin, revolusi sosial, dan krisis ekonomi. PKI tumbuh menjadi partai komunis terbesar di luar RRC dan Uni Soviet, dengan klaim anggota 3 juta dan simpatisan lebih dari 20 juta. Di sisi lain, militer, kelompok Islam, dan nasionalis khawatir akan revolusi berdarah.
Ketakutan bahwa Indonesia akan menjadi "China kedua" atau "Vietnam berikutnya" bukan sekadar paranoia, melainkan cerminan dari situasi politik yang sangat cair dan berbahaya. Dalam iklim seperti itu, segala bentuk ekstremitas bisa tampak seperti "solusi cepat", meskipun konsekuensinya kelak mencabik-cabik nurani kolektif bangsa.
3. Kontra-Faktual yang Rumit: Seandainya PKI Tidak Dihentikan
Sejumlah sejarawan dan analis berpendapat, jika PKI tidak dihentikan secara radikal, maka:
Akan ada pembalasan kekuasaan ketika mereka kembali menguat.
Skenario seperti Revolusi Kebudayaan di RRC, dengan jutaan korban "musuh kelas", bisa terjadi.
NKRI mungkin terpecah akibat perang saudara berbasis agama dan etnis yang menolak ateisme dan kolektivisme paksa.
Namun, itu semua adalah skenario imajinatif, bukan fakta sejarah. Kita hanya bisa menyusunnya dari serpihan dokumen, jejak ideologi, dan perbandingan dengan negara-negara lain.
4. Membuka Ruang Hikmah: Bukan Membenarkan, Tapi Merenung
Hikmah tidak selalu berarti "membenarkan tindakan". Hikmah bisa berarti:
Belajar dari luka, agar tidak diulangi dalam bentuk baru.
Menyadari batas rasionalitas manusia saat berada dalam situasi darurat nasional.
Membangun imunitas sosial terhadap ideologi ekstrem---baik kanan maupun kiri---tanpa harus memusnahkan manusia yang memegangnya.
Tragedi G30S mengajarkan bahwa keamanan tanpa keadilan melahirkan dendam, sementara idealisme tanpa batas bisa menjadi alat tirani.