Keberanian ini tidak selalu populer. Ia sering dituduh sebagai bentuk pembelotan, dianggap menggali luka lama, bahkan dilabeli subversif. Namun justru karena sejarah menyangkut luka kolektif, maka kita tidak bisa terus memendamnya di bawah karpet politik atau dogma kekuasaan. Sejarah yang direduksi, disensor, atau dimanipulasi akan menumbuhkan generasi yang kehilangan konteks dan jatidiri.
Melihat sejarah dari banyak sisi berarti:
Mengakui bahwa kebenaran bukan milik satu pihak saja. Tidak semua PKI adalah pengkhianat, dan tidak semua militer adalah pahlawan. Ada sisi kemanusiaan, keterjebakan, dan manipulasi dalam setiap tokoh dan peristiwa.
Memahami bahwa narasi resmi negara perlu diuji, bukan dibenci. Uji bukan berarti batalkan, tapi bandingkan dengan sumber-sumber lain---baik dari dalam maupun luar negeri, baik saksi korban maupun arsip penguasa.
Menjaga jarak dari fanatisme ideologi masa lalu. Baik komunisme, militerisme, maupun liberalisme harus dikritik dalam konteks sejarah Indonesia, bukan semata berdasarkan dogma luar.
Keberanian intelektual juga menuntut kita untuk:
Melindungi ruang akademik dari tekanan politik.
Mendidik publik agar tidak terjebak pada dikotomi "pahlawan vs pengkhianat".
Mendorong tumbuhnya sejarawan-sejarawan muda yang berpihak pada kebenaran, bukan pada kepentingan.
Di tengah dunia yang makin plural dan terbuka, bangsa yang tidak berani meninjau ulang masa lalunya akan tertinggal---bukan secara teknologi, tapi secara kedewasaan sosial. Oleh karena itu, melihat sejarah dari banyak sisi bukan tanda ketidaksetiaan pada bangsa, tapi justru bukti cinta paling jujur kepada masa depannya.
C. Usulan Arah Baru Rekonsiliasi Sejarah Bangsa
Rekonsiliasi bukan berarti melupakan, apalagi memutihkan sejarah. Ia adalah keberanian kolektif untuk berdamai dengan masa lalu---bukan dengan menghapusnya, tapi dengan memahaminya secara utuh. Dalam konteks tragedi G30S, rekonsiliasi tidak bisa dilakukan secara setengah hati, simbolik, atau sekadar seremonial. Ia harus menyentuh akar: ingatan, pemaknaan, dan keadilan.
Selama lebih dari setengah abad, bangsa ini hidup dalam bayang-bayang narasi tunggal: versi negara yang ditanamkan melalui buku pelajaran, film, dan aparat. Sementara itu, ribuan keluarga korban stigma politik dipaksa bungkam, menanggung beban dosa turunan tanpa pengadilan, tanpa ruang pembelaan.
Untuk itu, arah baru rekonsiliasi sejarah bangsa harus bertumpu pada tiga pilar utama:
1. Rekonstruksi Narasi Sejarah yang Inklusif
Sejarah tidak boleh hanya ditulis oleh pemenang. Harus ada ruang bagi suara-suara yang selama ini disingkirkan: korban pembersihan, eks-tapol, keluarga mereka, serta kelompok sipil yang terjebak di antara pertarungan elite ideologi. Pendekatannya harus berbasis historiografi kritis, dengan dokumentasi lintas sumber: arsip nasional, catatan asing, testimoni korban, serta kajian akademik independen.
2. Keadilan Restoratif, Bukan Revanchisme