Jika bangsa ini ingin lepas dari jebakan sejarah tunggal, maka diperlukan:
Pendidikan kritis yang mengajarkan bahwa sejarah adalah proses membaca bukti, bukan hanya menghafal versi resmi.
Sineas progresif yang berani menggambarkan kompleksitas manusia dalam tragedi---baik pelaku, korban, maupun yang terjebak di tengah konflik.
Politik emansipatif yang tidak alergi terhadap kritik sejarah, justru menggunakannya untuk memperbaiki masa depan.
Sejarah bukan alat untuk menghukum masa lalu, tapi untuk mencegah luka yang sama terulang lagi.
C. Jalan Tengah: Membuka Ruang Kebenaran Tanpa Menambah Luka
1. Luka Sejarah yang Masih Terbuka
Tragedi G30S 1965 dan dampak pasca-kejatuhan PKI bukan hanya soal angka korban, tapi soal luka kolektif yang belum pernah benar-benar diakui secara adil dan terbuka.
Di satu sisi, negara---selama puluhan tahun---memastikan bahwa narasi resmi tetap dijaga demi stabilitas. Di sisi lain, para korban, baik dari pihak yang dituduh PKI maupun warga biasa yang terseret dalam pembersihan, menyimpan duka yang dipendam, ditertawakan, atau dihapus dari sejarah keluarga mereka sendiri.
Luka ini tak kunjung sembuh bukan karena waktu kurang panjang, tapi karena pintu kebenaran tak pernah benar-benar dibuka. Dan ironisnya, saat upaya membuka pintu itu dimulai, suara ketakutan, tuduhan, dan stigma lama kembali menggema.
2. Dilema: Mencari Kebenaran atau Menjaga Kedamaian?
Membuka ulang sejarah G30S secara kritis kerap dianggap ancaman terhadap kedamaian nasional. Kekhawatiran ini bukan tanpa alasan---narasi lama masih kuat bercokol, kecurigaan ideologis masih hidup, dan trauma masih berlapis-lapis. Namun jika pertanyaannya adalah:
Apakah membuka luka lama akan membuat bangsa ini pecah?
Maka jawabannya adalah: tergantung bagaimana luka itu dibuka.