B. Aidit dan Orientasi Ideologi PKI: Pro-Mao atau Adaptif Indonesia?
Di balik pertumbuhan pesat Partai Komunis Indonesia (PKI) sepanjang dekade 1950-an hingga awal 1960-an, berdiri sosok yang tak hanya cerdas, tetapi juga lihai membaca arah angin politik: Dipa Nusantara Aidit. Ia bukan tipe revolusioner keras kepala yang membabi buta meniru pola revolusi asing. Ia juga bukan sekadar intelektual buku yang kehilangan medan. Aidit adalah political animal sejati---berani, taktis, dan sangat adaptif.
Pertanyaan yang sering muncul dari para pengamat sejarah adalah: Apakah Aidit dan PKI berpijak penuh pada ideologi Maoisme ala Tiongkok, atau justru mencoba membangun komunisme ala Indonesia?
Dalam pidato-pidato publiknya dan tulisan-tulisannya, Aidit sering mengutip Lenin, Stalin, dan Mao, namun selalu menekankan pentingnya "jalan Indonesia menuju sosialisme." Ia sadar bahwa Indonesia bukan Rusia, apalagi Tiongkok. Struktur sosial, budaya, dan geopolitik Indonesia sangat khas. Maka, PKI di bawah Aidit tampak mengembangkan garis ideologis yang "nasional-komunis", yaitu perpaduan antara garis revolusi internasional dan realitas lokal.
Namun, tak dapat disangkal bahwa Aidit dan PKI memiliki hubungan yang sangat dekat dengan Beijing. Ketika dunia komunis terbelah dalam rivalitas ideologis antara Uni Soviet dan Republik Rakyat Cina, PKI tampaknya lebih condong ke kubu Mao Zedong. Bukan hanya karena kedekatan geografis dan kesamaan dunia ketiga, tetapi juga karena pendekatan Mao tentang revolusi agraria berbasis petani dinilai lebih relevan dengan konteks Indonesia dibanding revolusi proletariat industrial ala Soviet.
Kedekatan PKI dengan Maoisme terlihat dalam beberapa aspek:
Penekanan pada massa tani sebagai kekuatan utama revolusi.
Upaya mobilisasi dan indoktrinasi ideologis melalui organisasi massa seperti Barisan Tani Indonesia dan Pemuda Rakyat.
Retorika revolusi tanpa kompromi terhadap kapitalisme dan feudalisme.
Namun, Aidit juga menunjukkan kelihaian pragmatis. Ia menolak aksi bersenjata seperti yang dilakukan PKI pada pemberontakan Madiun 1948, dan justru memilih jalur konstitusional---ikut pemilu 1955, membangun kekuatan massa legal, dan menjalin hubungan strategis dengan Presiden Soekarno melalui proyek Nasakom. Ia tahu bahwa konfrontasi langsung dengan militer atau Islam akan berakhir bunuh diri politik.
Di sinilah paradoks Aidit: antara ideolog revolusioner dan politisi strategis. Ia bermain di dua medan sekaligus---menggerakkan massa untuk revolusi jangka panjang, sekaligus merangkul Soekarno dan menjaga citra legal. Namun, manuver ini pula yang menciptakan kecurigaan di berbagai pihak. Bagi militer, Aidit terlalu dekat dengan Tiongkok dan terlalu percaya diri. Bagi kelompok Islam, Aidit terlalu agresif menyusupi ranah sosial. Dan bagi sebagian kaum nasionalis, PKI dinilai terlalu "asing" dalam ideologi meskipun tampil "Indonesia" dalam wajah.