/6/
Mesjid Jami Bua
digilas kaki-kaki bersepatu lars; angkuh
mencabik harga diri
21 Januari 1946
satu brigade tentara NICA /KNIL Â
menginjak-injak dan merobek-robek al-Qur'an.
Tomandjawani, sang penjaga mesjid
lelaki separuh baya itu berlumur darah
mulutnya dihantam sepatu lars
beberapa giginya jatuh
kepalamya ditetak bayonet berkali-kali
darah berceceran di lantai mesjid
membasahi sobekan al-Quran
yang diinjak-injak kepongahan
tangan lelaki itu gemetar
mencoba meraih sobekan Kita Suci
yang kerap dibacanya selepas Subuh dan Magrib
sorot matanya mengabur
tertutup darah yang terus saja mengalir
dan kelopak mata yang terasa kian berat
dan ketika tangannya
berhasil meraih sobekan al-Quran
tangannya diinjak
bunyi patahan tulang terdengar memilukan; remuk
teriakannya lenguh, tertahan
terpenjara dalam keheningan malam
aku marah
darahku mendidih
otot-ototku mengeras
pikiranku menjelma liar
berita itu membuatku murka
/7/
hari ini, 23 Januari 1946
langit pekat di atas kotaku
Palopo dirubung gelisah
debaran jantung para pejuang bergemuruh
menggedor-gedor kepekatan malam
aku menghitung jejak
yang ditinggalkan masa lalu
meramu semangat agar terus berkobar
dengus nafas saling beradu
dengan dingin yang kian menggigilkan
letusan senjata menyalak
terdengar di depan Rumah Sakit
para pejuang mengepung kota
teriakan takbir dan pekik MERDEKA
membumbung di udara malam
yang kian mengental
ribuan kaki kokoh tanpa alas
menggetarkan tanah
menghentak kesadaran rakyat
betapa pentingnya kemerdekaan
begitu bermaknanya kebebasan