namun harapanku sia-sia
ketakutanku mewujud
kekejaman menari-nari riang
tawanya menggelegar; aroma busuk menyeruak
telinga Z. Usman dipotong
lalu dipaksa untuk menelannya
kengerian menerkam
bayonet yang dihunus
menghujam tubuh-tubuh tawanan
suara tawa dan jerik kesakitan
bercampur di udara malam yang dingin
namun terasa panas
seringai para serdadu
serasa ingin memangsa
satu persatu tawanan yang bersimbah darah
aku mendengar semuanya
serasa membumbung jiwaku ke angkasa
kesedihan menggedor-gedor kesadaranku
hanya doa dan permintaan menegakkan siri'
yang mengalir dari mulutku; bergetar
/13/
menjelang siang, 5 Juni 1946
sinar matahari terasa mulai garang
aku harus berpisah dengan para tawanan
ingatanku akan kekajaman terhadap mereka
sungguh sulit untuk kuhilangkan
berpisah dari tawanan lainnya yang menuju Kolaka
rasa luruh daging yang melekat di tulang belulangku
aku tak tahu lagi apa yang terjadi pada mereka
jiwaku ingin menemani
menguatkan kesabaran dan keteguhan
motorboat bersandar,
mengantarku meninggalkan Paku ke Palopo
matatahari kian menyengat
ombak berhempasan; menghempas pula pikiranku
Palopo pukul 14.00 siang
tentara Belanda berdiri, serupa pagar-pagar beton
menanti kedatangan kami
sebuah mobil power tentara mengantar
perlahan memasuki kota Palopo
Letnan Vennick  dan tiga pengawal
mengantarku memasuki kota yang lama kutinggalkan
toko-koto berderet di sepanjang jalan pelabuhan
terlihat sepi; hawa ketakutan masih terasa
dari degub jantung yang berkejaran
dari mata yang berada di balik jendela-jendela tertutup
hanya nampak seorang lelaki tua
berdiri di depan Toko Ban Cui
yang ketika melihat Bessi Pakkae Â
cepat-cepat duduk bersila
belok kiri, berlalu di depan bioskop Palopo
melewati pasar di timur mesjid Jami
melintas di samping barat Istana Datu yang lengang
dan terus ke arah Surutanga
pukul 21.00, rombongan tiba di Pare-Pare
suasana malam mencekam
di sebuah kamar rumah sakit Pare-Pare
tubuhku kurebahkan sesaat
aku merenungi perjalanan panjang dan melelahkan