aku bahkan tak pernah terpikir
harus berhadapan
dengan segala perdebatan dan kelicikan
saat pemilihanku sebagai raja
benarlah harta, tahta, dan wanita
dapat menjadi perusak moralitas
jika tak dalam kendali; kuasa diri
tak pernah salah apa yang diajarkan agama
aku sebelumnya adalah cenning Â
harus berhadapan
dengan tembok-tembok kokoh ambisi
berjibaku keluar
dari cengkraman kuku-kuku tajam penjajah
yang memainkan boneka-bonekanya di istana
lalu sibuk melakonkan sandiwara
dengan scrip licik dan memuakkan
aku menyaksikan kepalsuan merajalela
ambisi kuasa, harta, menggelapkan mata hati
seperti tak ada nurani
menggerogoti kebeningan jiwa
tapi kebenaran selalu akan muncul
di saat keikhlasan melebur dalam diri
lalu, aku pun bertahta di atas kejujuran
saat jasad ibuku diturunkan ke liang lahat
Â
"Areangkalinga manekko tomaegae lilina Luwu,
limpona Ware. Leleni ripammasena Allahtaala
Datue ri Luwu, tennatiwi adatngenna, tennasellureng
roalebbong alebirenna. Naiya selengngai ana warowanena
riasengnge Jemma Barue" Â
/3/
aku bertahta di tahun 1935
tapi yang berkuasa
tetaplah penjajah Belanda
para penjilat merajalela
kaki tangan mereka merasuk
hingga tulang sumsum kerajaan
menebar kecurigaan
menyabung fitnah
mengobok-obok persatuan
mengorek-ngorek keutuhan negeri
aku hidup
dalam bayang-bayang penderitaan rakyatku
dalam kungkungan kesedihan
orang-orang tak berdaya
yang dicengkraman kuat keganasan penindasan
dan aku, tetap bertahan
dengan dada yang terus bergelora
kekuatan yang kubangun selama ini
dipatahkan oleh kekuatan senjata
digerogoti fitnah dari para kaki tangan penjajah
moncong-moncong senjata
menusuk-nusuk jiwa
para pecundang dan penghianat
yang tak punya harga diri
dan mencari kenikmatan sendiri
popor-popor senjata
menghantam raga rakyat kecil
yang tak punya pilihan
kecuali tunduk dan terjajah
merintih dalam penderitaan
dan kesakitan menjelma ribuan tangis
tapi aku tak mau tunduk dan terjajah
dadaku akan terus bergelora
meski petir menyambar-nyambar
halilintar bersabungan
dan awan gelam berarak menyelimuti