Mohon tunggu...
ARIFULHAK  ACEH
ARIFULHAK ACEH Mohon Tunggu... Tebar Kebaikan Untuk Ummat

Umur begitu singkat. Karya tulisan akan dikenang

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kakak Yang Hilang

28 Juni 2025   00:04 Diperbarui: 28 Juni 2025   00:04 110
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Foto : Privat

Kakak Yang Hilang

Oleh  Arifulhak Atjeh

Terik matahari Medan mengoyak kulit, namun tak sedikit pun melunturkan keceriaan di wajah dua bersaudara itu. Alif, bocah SMP dengan bahu yang mulai melebar menahan beban hidup, menuntun adiknya, Syam, yang masih ingusan kelas empat SD. Setiap hari, sepulang sekolah---atau terkadang tanpa sempat menyentuh bangku sekolah---mereka berdua menyusuri lorong-lorong Pasar Raya Medan yang hiruk pikuk, menjajakan asongan dengan suara melengking namun penuh harap.

"Permisi, Bu! Tisu, permen, air mineralnya, Bu!" seru Alif, suaranya sudah serak namun tetap lantang. Syam mengekor di belakangnya, meniru gerakan dan intonasi kakaknya, sesekali menyeka butiran keringat yang membanjiri dahi. Mereka adalah potret kegigihan di tengah kerasnya jalanan. Senyum tak pernah lepas dari wajah mereka, seolah kesulitan hanyalah bumbu penyedap bagi ikatan persaudaraan yang begitu kuat.

Siang itu, cuaca terasa lebih gerah dari biasanya. Panas menyengat membuat tenggorokan kering dan langkah terasa berat. Alif melihat adiknya mulai melambat. "Syam, sini! Kita istirahat dulu," ajaknya, menarik tangan Syam menuju teras sebuah rumah kosong yang sedikit teduh. Di sana mereka berbagi air minum, berbagi mimpi, dan saling menguatkan.

"Berapa lama lagi kita harus terus berjualan asongan seperti ini, Syam?" tanya Alif, suaranya tercekat.

Syam menjawab dengan polos dan penuh semangat, "Saya siap ikut Kakak selamanya!"

Alif tersenyum, menahan gejolak di dada. "Dik, ini cara kita untuk bisa sekolah, untuk mengubah nasib. Kita harus kuat."

Malam-malam panjang mereka habiskan di rumah kontrakan sempit di pinggir kota. Kadang listrik padam, kadang suara nyamuk lebih ramai daripada suara televisi tetangga. Tapi di tengah semua keterbatasan itu, kasih sayang menjadi sumber kekuatan. Alif sering membacakan buku pelajaran untuk Syam sebelum tidur. Ia ingin adiknya tetap semangat sekolah meski dengan pakaian seragam yang warnanya sudah pudar.

Pernah suatu malam hujan turun sangat deras. Atap bocor, air merembes ke dinding, membuat tikar tempat mereka tidur basah. Alif memeluk Syam erat, tubuhnya menjadi pelindung dari dingin malam. "Dik, suatu hari nanti, kita akan punya rumah sendiri, rumah yang atapnya nggak bocor, yang kamarnya ada jendela, dan di dapurnya selalu ada makanan hangat."

Mata Syam mengerjap, menatap kakaknya. "Serius, Kak? Rumah yang ada kulkasnya juga?"

Alif terkekeh pelan. "Iya, lengkap. Bahkan ada sepeda motor di garasi."

Mereka tertawa, meski gigi bergemeletuk karena kedinginan. Malam itu bukan hanya dingin, tapi juga penuh harap.

Hari-hari berikutnya, seperti biasa, mereka mengisi dengan kerja keras. Kadang berlari dari kejaran satpam pasar, kadang harus menahan lapar karena hasil jualan tak cukup untuk membeli makan malam. Tapi ikatan mereka tak pernah goyah. Setiap remah roti mereka bagi dua. Setiap mimpi mereka peluk bersama.

Sepuluh tahun berlalu. Alif kini bekerja di sebuah instansi pemerintahan. Rambutnya kini selalu rapi, sepatu mengilap, dan wajahnya tampak tenang seperti orang yang sudah lepas dari semua kesulitan hidup. Sementara Syam, dengan ketekunan luar biasa, berhasil membuka bengkel sepeda motor di pinggiran kota. Meski kecil, namun pelanggan silih berganti.

Mereka jarang bertemu. Waktu seolah memperlambat jarak pertemuan itu. Namun sekali waktu, Syam menelepon, sekadar menanyakan kabar atau meminta saran. Masing-masing sibuk dengan urusannya. Kadang rindu hanya diam dalam hati.

Hingga sore itu, Alif menghubungi Syam.

"Halo, Syam. Kak butuh bantuan. Uang sekolah Imas agak berat bulan ini. Bisa bantu, Dik?"

Syam menghela napas, menyandarkan tubuhnya di kursi bengkel. "Maaf, Kak. Baru aja stok suku cadang datang. Uang habis buat itu semua."

Hening. Lalu suara Alif meninggi.

"Kamu nggak ingat perjuangan kita dulu? Kakak yang bantu kamu waktu kamu butuh! Sekarang saat kakak butuh, kamu nolak?"

Syam tergugu. Ingin menjelaskan, tapi tak sempat.

"Sudahlah. Kalau begini cara kamu membalasnya, jangan hubungi Kakak lagi."

Klik. Telepon terputus. Sejak itu, Alif tak lagi merespons. Pesan tak dibalas, panggilan tak dijawab. Bahkan saat Syam datang ke rumah, hanya sang kakak ipar yang membukakan pintu. Dengan wajah datar, tanpa senyum, bahkan tanpa kata salam.

"Kak Alif sedang sibuk."

Lalu pintu ditutup perlahan. Tapi bagi Syam, suara itu seperti gebrakan keras di hatinya. Sejak itu, ia hanya bisa menatap rumah itu dari luar pagar, membawa harapan yang perlahan lapuk.

Hari demi hari, Syam mencoba menghubungi kembali. Ia datang membawa oleh-oleh kecil, sekadar tanda sayang. Tapi rumah itu tetap tertutup baginya. Alif yang dulu adalah pelindungnya, kini seolah tak menganggapnya ada. Syam mulai bertanya-tanya, di mana letak kesalahannya? Apakah hanya karena ia tak bisa membantu saat itu?

Ia mulai menulis jurnal kecil, mencatat kenangan mereka. Mulai dari pertama kali mereka menjual asongan, saat dikejar-kejar petugas pasar, hingga momen saat Syam sakit dan Alif menjual ponselnya demi membeli obat. Kenangan-kenangan itu menumpuk, mengisi halaman demi halaman dengan nostalgia dan luka.

Satu tahun berlalu. Pagi itu, ponselnya berdering. Sebuah nomor yang sangat ia kenal, nomor Kak Alif.

"Wa'alaikumussalam, Kak!" jawab Syam bersemangat, berharap mendengar suara kakaknya yang sudah lama tak ia sapa.

Namun, yang ia dengar adalah suara kakak iparnya, dingin dan menusuk. "Syam! Ingat! Kamu harus bayar semua utang-utangmu, ya! Kamu hitung dari sejak awal Syam bersama Kak Alif, berjuang, hingga kamu menikah! Kami semuanya yang membiayai, ya! Camkan itu!"

Syam terdiam. Syok. Napasnya tercekat di tenggorokan. "Ya, ya, Kak... Tapi kalau boleh tahu, utang saya yang mana saja ya, Kak?" Suaranya pelan, gemetar.

Ia tak mengerti. Kapan ia berutang sebanyak itu? Dan kenapa istrinya yang bicara? Alif yang dulu penuh perlindungan dan kasih, kini hanya diam di balik suara istrinya. Tak satu pun kata keluar dari bibirnya.

Hari-hari berikutnya, teror terus berdatangan. SMS, panggilan, bahkan komentar di media sosial. Semua dari sang kakak ipar. Syam merasa dihukum untuk sesuatu yang ia sendiri tak pahami. Ia merasa sendirian, dikhianati oleh orang yang paling ia percaya.

Dalam diam, ia menulis surat. Bukan untuk dikirim, hanya untuk meluapkan luka.

"Kak Alif, jika memang semua pengorbanan Kakak dahulu adalah utang yang harus saya bayar, maka biarkan saya mencicilnya dengan diam dan doa. Tapi izinkan saya merindukan Kakak yang dulu, Kakak yang memeluk saya ketika saya jatuh, yang membagi air minum saat kita kehausan di pasar, yang berkata 'kita bisa mengubah nasib.' Kakak yang itu... apakah masih ada?"

Hari-hari terus berjalan. Bengkel tetap buka, pelanggan tetap datang, tapi senyum Syam tak selebar dulu. Ada duka yang belum selesai. Ada luka yang belum pulih. Ia tetap bekerja keras, tetap membesarkan anak-anaknya, tetap hidup seperti biasa. Tapi di setiap malam sunyi, ia masih berharap: semoga suatu hari, di balik semua perubahan dan dinding kesalahpahaman, Kak Alif akan mengetuk pintu bengkel itu, membawa senyum lama, dan berkata, "Maaf, Dik. Kakak terlalu jauh berubah."

Karena sejauh apa pun seseorang melangkah, rumah bernama keluarga seharusnya tetap menjadi tempat pulang.

Di masa-masa kecil, Alif dan Syam tinggal di sebuah rumah petak berdinding papan, lantainya semen kasar, dan tidak ada kamar mandi di dalam. Jika hujan turun, air menggenang di dapur dan mereka harus menimba dengan ember kecil. Tapi meski rumah itu sempit dan penuh kekurangan, tawa mereka selalu memenuhi setiap sudutnya.

Alif sejak kecil sudah menjadi pelindung sejati bagi Syam. Ia tak pernah membiarkan adiknya dipukul teman main, meski harus menanggung akibatnya sendiri. Syam sangat mengidolakan kakaknya, sering menirukan cara Alif memakai topi, cara berjalan, hingga gaya berbicara. Di mata Syam, Alif adalah segalanya---pahlawan, guru, sekaligus sahabat.

Suatu hari, saat usia mereka masih 10 dan 6 tahun, Alif pernah membolos sekolah hanya untuk menjaga Syam yang sakit. Ia memasak mie instan seadanya, menyuapi Syam, bahkan meminjam termometer ke tetangga agar tahu suhu tubuh adiknya. Saat malam, ia berbaring memeluk Syam agar panasnya menurun. Ibu mereka saat itu sedang bekerja di luar kota sebagai buruh tani musiman. Ayah mereka sudah lama tiada.

"Kita harus saling jaga ya, Syam. Karena cuma kita berdua yang saling punya," kata Alif sambil mengelus rambut adiknya.

Sebaliknya, Lena, istri Alif, sebenarnya tidak sejak awal bersikap dingin kepada Syam. Dulu, sebelum mereka menikah, Lena justru sering mengantar makanan ke bengkel Syam atau menjahitkan baju sekolah keponakan-keponakan mereka. Namun, seiring waktu, Lena mulai merasa bahwa perhatian Alif pada keluarga kandungnya terlalu besar.

"Mas selalu memikirkan Syam dan keluarganya. Sampai lupa bahwa kita punya rumah tangga sendiri yang juga butuh perhatian," ujar Lena dalam sebuah pertengkaran.

Alif saat itu hanya diam. Ia tahu Lena tak sepenuhnya salah. Tapi ia juga merasa bahwa Syam adalah bagian dari hidupnya yang tak bisa ia abaikan. Namun, tekanan demi tekanan dalam rumah tangga perlahan mengikis keteguhan hati Alif. Ia memilih diam, menjauh dari konflik, dan tak sadar bahwa keputusannya menjauh juga melukai Syam lebih dalam.

Lena sendiri kemudian merasa bersalah, namun gengsi menelannya. Ia merasa sudah telanjur bersikap keras dan tak ingin mengakui bahwa ia pun sebenarnya merindukan suasana kekeluargaan yang dulu pernah ada.

Lebaran tahun itu datang dalam suasana mendung. Syam memutuskan untuk mencoba sekali lagi. Ia datang bersama istrinya dan anak-anak, membawa kue khas buatan sang istri dan setoples kecil rendang yang dulu disukai Alif.

Saat pintu dibuka, Lena yang menyambut. Ia tampak terkejut, namun tidak langsung menutup pintu.

"Selamat lebaran, Kak. Maaf kalau kami mengganggu. Ini... ada sedikit makanan," kata Syam dengan suara pelan.

Lena memandang anak-anak Syam yang berdiri malu-malu di belakang. Salah satu dari mereka, gadis kecil berambut dua kuncir, maju dan menyerahkan gambar buatan tangannya. "Ini gambar Om Alif dan Om Syam... lagi jualan es teh di pasar."

Lena terpaku. Gambar itu sederhana, coretan anak-anak. Tapi di dalamnya, tergambar dua sosok kakak beradik yang berdiri berdampingan, tersenyum lebar di bawah sinar matahari.

Dari dalam rumah, terdengar suara langkah. Alif muncul. Wajahnya pucat, matanya sembab. Ia menatap Syam lama sekali, sebelum akhirnya berkata, "Maaf, Dik. Kakak terlalu lama mendiamkanmu."

Syam tersenyum. Air matanya menetes. Mereka saling mendekap, dalam pelukan yang menampung puluhan tahun luka, rindu, dan penyesalan.

Beberapa bulan setelah rekonsiliasi itu, Alif mengajak Syam untuk membuka usaha bersama. Mereka membangun bengkel yang lebih besar dengan tambahan toko sparepart. Nama bengkel itu: "Bersaudara Motor."

Di atas meja kasir, terpajang foto kecil dua bocah laki-laki sedang menjajakan minuman di pasar. Di bawahnya tertulis: "Keringat dan mimpi yang tak pernah hilang."

Hubungan mereka memang tak akan bisa kembali ke titik semula. Tapi mereka memulainya kembali, dari titik harapan yang baru. Karena dalam kehidupan, luka akan selalu ada, tapi keluarga adalah tempat untuk sembuh.

#Medan@KolongSepi,Jum'at, 27 Juni 2025 / 1 Muharram 1447 H ; 10.00 am.#

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun