Hari-hari berikutnya, teror terus berdatangan. SMS, panggilan, bahkan komentar di media sosial. Semua dari sang kakak ipar. Syam merasa dihukum untuk sesuatu yang ia sendiri tak pahami. Ia merasa sendirian, dikhianati oleh orang yang paling ia percaya.
Dalam diam, ia menulis surat. Bukan untuk dikirim, hanya untuk meluapkan luka.
"Kak Alif, jika memang semua pengorbanan Kakak dahulu adalah utang yang harus saya bayar, maka biarkan saya mencicilnya dengan diam dan doa. Tapi izinkan saya merindukan Kakak yang dulu, Kakak yang memeluk saya ketika saya jatuh, yang membagi air minum saat kita kehausan di pasar, yang berkata 'kita bisa mengubah nasib.' Kakak yang itu... apakah masih ada?"
Hari-hari terus berjalan. Bengkel tetap buka, pelanggan tetap datang, tapi senyum Syam tak selebar dulu. Ada duka yang belum selesai. Ada luka yang belum pulih. Ia tetap bekerja keras, tetap membesarkan anak-anaknya, tetap hidup seperti biasa. Tapi di setiap malam sunyi, ia masih berharap: semoga suatu hari, di balik semua perubahan dan dinding kesalahpahaman, Kak Alif akan mengetuk pintu bengkel itu, membawa senyum lama, dan berkata, "Maaf, Dik. Kakak terlalu jauh berubah."
Karena sejauh apa pun seseorang melangkah, rumah bernama keluarga seharusnya tetap menjadi tempat pulang.
Di masa-masa kecil, Alif dan Syam tinggal di sebuah rumah petak berdinding papan, lantainya semen kasar, dan tidak ada kamar mandi di dalam. Jika hujan turun, air menggenang di dapur dan mereka harus menimba dengan ember kecil. Tapi meski rumah itu sempit dan penuh kekurangan, tawa mereka selalu memenuhi setiap sudutnya.
Alif sejak kecil sudah menjadi pelindung sejati bagi Syam. Ia tak pernah membiarkan adiknya dipukul teman main, meski harus menanggung akibatnya sendiri. Syam sangat mengidolakan kakaknya, sering menirukan cara Alif memakai topi, cara berjalan, hingga gaya berbicara. Di mata Syam, Alif adalah segalanya---pahlawan, guru, sekaligus sahabat.
Suatu hari, saat usia mereka masih 10 dan 6 tahun, Alif pernah membolos sekolah hanya untuk menjaga Syam yang sakit. Ia memasak mie instan seadanya, menyuapi Syam, bahkan meminjam termometer ke tetangga agar tahu suhu tubuh adiknya. Saat malam, ia berbaring memeluk Syam agar panasnya menurun. Ibu mereka saat itu sedang bekerja di luar kota sebagai buruh tani musiman. Ayah mereka sudah lama tiada.
"Kita harus saling jaga ya, Syam. Karena cuma kita berdua yang saling punya," kata Alif sambil mengelus rambut adiknya.
Sebaliknya, Lena, istri Alif, sebenarnya tidak sejak awal bersikap dingin kepada Syam. Dulu, sebelum mereka menikah, Lena justru sering mengantar makanan ke bengkel Syam atau menjahitkan baju sekolah keponakan-keponakan mereka. Namun, seiring waktu, Lena mulai merasa bahwa perhatian Alif pada keluarga kandungnya terlalu besar.
"Mas selalu memikirkan Syam dan keluarganya. Sampai lupa bahwa kita punya rumah tangga sendiri yang juga butuh perhatian," ujar Lena dalam sebuah pertengkaran.