Alif terkekeh pelan. "Iya, lengkap. Bahkan ada sepeda motor di garasi."
Mereka tertawa, meski gigi bergemeletuk karena kedinginan. Malam itu bukan hanya dingin, tapi juga penuh harap.
Hari-hari berikutnya, seperti biasa, mereka mengisi dengan kerja keras. Kadang berlari dari kejaran satpam pasar, kadang harus menahan lapar karena hasil jualan tak cukup untuk membeli makan malam. Tapi ikatan mereka tak pernah goyah. Setiap remah roti mereka bagi dua. Setiap mimpi mereka peluk bersama.
Sepuluh tahun berlalu. Alif kini bekerja di sebuah instansi pemerintahan. Rambutnya kini selalu rapi, sepatu mengilap, dan wajahnya tampak tenang seperti orang yang sudah lepas dari semua kesulitan hidup. Sementara Syam, dengan ketekunan luar biasa, berhasil membuka bengkel sepeda motor di pinggiran kota. Meski kecil, namun pelanggan silih berganti.
Mereka jarang bertemu. Waktu seolah memperlambat jarak pertemuan itu. Namun sekali waktu, Syam menelepon, sekadar menanyakan kabar atau meminta saran. Masing-masing sibuk dengan urusannya. Kadang rindu hanya diam dalam hati.
Hingga sore itu, Alif menghubungi Syam.
"Halo, Syam. Kak butuh bantuan. Uang sekolah Imas agak berat bulan ini. Bisa bantu, Dik?"
Syam menghela napas, menyandarkan tubuhnya di kursi bengkel. "Maaf, Kak. Baru aja stok suku cadang datang. Uang habis buat itu semua."
Hening. Lalu suara Alif meninggi.
"Kamu nggak ingat perjuangan kita dulu? Kakak yang bantu kamu waktu kamu butuh! Sekarang saat kakak butuh, kamu nolak?"
Syam tergugu. Ingin menjelaskan, tapi tak sempat.