"Sudahlah. Kalau begini cara kamu membalasnya, jangan hubungi Kakak lagi."
Klik. Telepon terputus. Sejak itu, Alif tak lagi merespons. Pesan tak dibalas, panggilan tak dijawab. Bahkan saat Syam datang ke rumah, hanya sang kakak ipar yang membukakan pintu. Dengan wajah datar, tanpa senyum, bahkan tanpa kata salam.
"Kak Alif sedang sibuk."
Lalu pintu ditutup perlahan. Tapi bagi Syam, suara itu seperti gebrakan keras di hatinya. Sejak itu, ia hanya bisa menatap rumah itu dari luar pagar, membawa harapan yang perlahan lapuk.
Hari demi hari, Syam mencoba menghubungi kembali. Ia datang membawa oleh-oleh kecil, sekadar tanda sayang. Tapi rumah itu tetap tertutup baginya. Alif yang dulu adalah pelindungnya, kini seolah tak menganggapnya ada. Syam mulai bertanya-tanya, di mana letak kesalahannya? Apakah hanya karena ia tak bisa membantu saat itu?
Ia mulai menulis jurnal kecil, mencatat kenangan mereka. Mulai dari pertama kali mereka menjual asongan, saat dikejar-kejar petugas pasar, hingga momen saat Syam sakit dan Alif menjual ponselnya demi membeli obat. Kenangan-kenangan itu menumpuk, mengisi halaman demi halaman dengan nostalgia dan luka.
Satu tahun berlalu. Pagi itu, ponselnya berdering. Sebuah nomor yang sangat ia kenal, nomor Kak Alif.
"Wa'alaikumussalam, Kak!" jawab Syam bersemangat, berharap mendengar suara kakaknya yang sudah lama tak ia sapa.
Namun, yang ia dengar adalah suara kakak iparnya, dingin dan menusuk. "Syam! Ingat! Kamu harus bayar semua utang-utangmu, ya! Kamu hitung dari sejak awal Syam bersama Kak Alif, berjuang, hingga kamu menikah! Kami semuanya yang membiayai, ya! Camkan itu!"
Syam terdiam. Syok. Napasnya tercekat di tenggorokan. "Ya, ya, Kak... Tapi kalau boleh tahu, utang saya yang mana saja ya, Kak?" Suaranya pelan, gemetar.
Ia tak mengerti. Kapan ia berutang sebanyak itu? Dan kenapa istrinya yang bicara? Alif yang dulu penuh perlindungan dan kasih, kini hanya diam di balik suara istrinya. Tak satu pun kata keluar dari bibirnya.