Piketty mempelajari sejarah dunia, dan menemukan hukum besi ketidak-adilan. Hukum ini juga bisa berlaku untuk Indonesia.
Ia menunjukkan ketika pengembalian modal lebih tinggi daripada pertumbuhan ekonomi (r > g), kekayaan menumpuk pada segelintir orang.
Warisan menjadi lebih penting daripada kerja keras. Ketimpangan pun membesar, kontrak sosial lama runtuh, dan rakyat kehilangan rasa memiliki terhadap negara.
Bukankah Indonesia sedang menuju jurang yang sama? Gini ratio stagnan, jurang kaya-miskin melebar, dan generasi muda hidup dalam bayang-bayang "generasi rentan": buruh kontrak, pekerja informal, ojol yang bekerja 12 jam tanpa kepastian.
Kerusuhan 2025 adalah alarm. Ia mengingatkan bahwa tanpa koreksi mendasar, kontrak sosial Indonesia akan hancur, digantikan bara ketidakadilan yang membakar.
Pelajaran dari Piketty jelas: kontrak sosial baru harus dibangun di atas keadilan distribusi, bukan hanya pertumbuhan.
Negara harus berani memperluas pajak progresif, mengurangi kekuasaan oligarki, dan memastikan akses pendidikan serta kesehatan benar-benar merata.
Di sini, pemikiran John Rawls relevan: keadilan sejati lahir ketika kebijakan dirancang seolah-olah kita tak tahu posisi kita dalam masyarakat---apakah kaya atau miskin, pejabat atau rakyat biasa.
-000-
Ada filsafat yang lahir dari kerusuhan 2025: keadilan adalah kemampuan institusi untuk berubah nyata.
*Bukan lagi sekadar janji, tetapi pemotongan fasilitas. Â
*Bukan sekadar pidato, tetapi reshuffle pejabat. Â
*Bukan sekadar angka APBN, tetapi Rp 200 triliun yang mengalir ke UMKM. Â