Mohon tunggu...
ahmad hassan
ahmad hassan Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

Berkecimpungan dalam dunia pendidikan. Suka musik klasik & nonton film. Moto "semua sudah diatur".

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Kalut (#10)

20 Juni 2021   10:10 Diperbarui: 20 Juni 2021   10:07 332
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sinar matahari pagi yang menembus masuk dari balik jendela kamar kosnya perlahan membentuk bayangan siluet di dalam kamarnya. Kosan yang memanjang dua tingkat itu terletak di lokasi yang strategis karena dekat jalan protokol, selangkah ke stasiun, dan nempel dengan kampus. Dengan alasan itu, ia merasa betah dan enggan untuk pindah. Ia sudah menempati kamar yang berukuran 3x3 meter itu sejak awal kuliah.  

Dengan malas-malasan, ia bangkit dari tempat tidur lalu mencabut hp yang masih dicas. Jam di hp-nya menunjukkan pukul 7:11 di pagi Rabu itu. Sambil menunggu air dispenser hangat, ia membuka jendela kemudian menyiapkan sebungkus kopi untuk diseduh. Menurutnya, tak ada yang lebih nikmat daripada secangkir kopi di pagi hari.

Semerbak aroma kopi nan menggugah selera menghadirkan suasana pagi yang lebih berwarna. Sambil menyeruput kopi ditemani sebatang rokok, matanya menatap tajam apa yang sedang ia baca disertai jarinya yang bergerak-gerak di atas layar hp. Ingar-bingar berita di media online seputar pandemi begitu menyedot perhatian. Tak ketinggalan juga medsos. Semakin menambah haru biru suasana.

Diberitakan dari media online hampir semua sektor ekonomi terkena dampak negatif pandemi. Ini diakui langsung para pelaku usaha dan bisnis di dalam maupun luar negeri. Beberapa bidang seperti pariwisata, perjalanan, manufaktur, hiburan, dan jasa mengalami dampak yang paling parah dengan kerugian yang sangat besar. Juga banyak UMKM hingga perusahaan besar terancam pailit dan bangkrut. Kondisi ini diperburuk lagi oleh maraknya gelombang PHK masal disusul meningkatnya jumlah pengangguran.

Dika termasuk orang yang realistis dalam melihat bencana pandemi ini. Segala sesuatu mungkin saja terjadi. Pandemi ini bisa berdampak pada siapapun termasuk dirinya. Jika ternyata hal buruk itu memimpin dirinya, ia akan menerima itu walau berat sekalipun. Toh baginya pekerjaan bisa dicari lagi. Semuanya tinggal dijalani saja. Namun dalam kenyataannya tidaklah semudah itu.  

Masih terkenang hari-hari terakhir saat ia masih bekerja dengan tenang tanpa ada kekhawatiran kehilangan pekerjaan. Siang itu selepas jam istirahat, ia dan beberapa orang pegawai lain diminta berkumpul di ruang pertemuan tanpa diberi tahu maksud dari agenda pertemuan itu secara jelas. Firasat buruk yang selama ini melanda semakin bertambah kuat. Maklum saja isu PHK yang beredar begitu santer terdengar sejak beberapa hari terakhir.

Sudah menunggu di dalam ruangan, dengan wajah dingin Manager Personalia menyambut kedatangan belasan pegawai yang terpaut hanya lima menit dari waktu yang ditentukan pukul 13:00. Meski berprinsip on time, ia masih menolerir keterlambatan itu. Dika ingat bertemu sang manager untuk pertama kali saat sesi interview setelah melewati rangkaian tes masuk kerja. Orangnya kelihatan galak tapi sebenarnya ramah dan bersahabat.

Namun hari itu sang manager tampak tegang terlihat dari ekspresi dan gerak-geriknya. Bak malaikat maut pencabut nyawa, ia mulai melaksanakan tugasnya. Setelah menyapa hadirin, tanpa banyak basa-basi ia langsung membacakan selembar surat yang sudah disiapkan.

"Yang terhormat Bapak Ibu rekan kerja sekalian,
Terima kasih atas kehadirannya. Mudah-mudahan kita semua selalu dalam kondisi sehat dan senantiasa memperoleh nikmat dan perlindungan dari-Nya. Di kesempatan yang baik ini saya mewakili perusahaan ingin menyampaikan maklumat penting perihal kondisi perusahaan dua bulan terakhir.

Terkait pandemi yang terjadi, perusahaan telah menempuh berbagai upaya seperti efisiensi dan perampingan jumlah staf juga direksi agar perusahaan tetap bertahan ditengah krisis pandemi yang mendera saat ini. Untuk itu, dengan berat hati kami memutuskan untuk merumahkan pegawai dengan masa kerja kurang dari satu tahun. Sementara bagi pegawai dengan masa kerja satu hingga tiga tahun akan dikenai pengurangan honor yang besarannya akan diatur lebih lanjut. Ketentuan ini akan berlaku mulai tanggal 1 bulan depan.

Harus dipahami perusahaan sudah berusaha maksimal, mendengar dan menerima berbagai aspirasi, masukan, dan pertimbangan terkait keputusan yang diambil. Tentunya kami tidak akan mengambil langkah berat ini jika ada pilihan lain yang masih mungkin ditempuh. Namun sekali lagi dengan sangat terpaksa kami tak dapat menghindari dari pengambilan keputusan terakhir ini.

Demikianlah, dengan segala hormat pemberitahuan ini disampaikan. Semoga dapat dimaklumi. Atas perhatiannya, kami ucapkan terima kasih."

Tampak raut muka sayu nan lesu para pegawai saat sedang di-briefing ternyata difoto diam-diam oleh Dika. Kemudian pemandangan langka itu ia posting di statusnya dengan caption "at last, end of the road" disertai emoji sedih tiga buah. Postingan yang dikirim sore itu, segera mendapat respon yang beragam dari teman dan koleganya. Ada yang memberi comment, ada juga yang cuma sebatas lihat.  

Melihat postingan itu saat sudah malam, Herdi segera mengontak Dika. Ia kaget mengetahui hal itu. Menyatakan simpati dan berusaha menghiburnya, Herdi menawarkan bantuan jika ada yang diperlukan. Dika berterima kasih atas perhatian dan niat baik itu namun ia sendiri merasa tidak perlu dibantu. Saat ditanya apa yang akan ia lakukan, Ia belum tahu. Ia belum bisa memutuskan. Untuk sementara waktu ia mau cooling down dulu.

Di waktu lain, Herdi suka mengontak Dika. Menanyakan kabar atau hanya sebatas menyapa saja. Ia siap membantu jika Dika memerlukan sesuatu. Terkesan basa-basi atau memang tulus ingin membantu, tawaran itu bagi Dika suatu hal yang wajar sebagai bagian dari sopan santun dalam pertemanan. Namun karena sering diulang, lama-kelamaan ia menganggap hal itu tidak main-main.

Menurut Dika, Herdi tipe orang yang saklek dengan apa yang ia katakan. Hal itu tampak jelas setelah sekian lama Dika mengenalnya secara dekat. Dika teringat pada saat ia diajak "paksa" makan siang oleh Herdi beberapa waktu lalu. Tak disangka di kesempatan itu, Herdi malah berterus terang tentang permasalahan rumah tangganya. Bak anak kecil yang mengadu ke ibunya, ia menceritakan prahara yang menimpa dirinya dengan sang istri.

Berawal dari kecurigaan pada sang istri, Herdi yang penasaran diam-diam membuntutinya di suatu hari. Dari penelusurannya itu terjawab sudah. Firasatnya selama ini akhirnya terbukti. Dengan mata kepalanya sendiri ia menyaksikan perselingkuhan itu terjadi. Sang istri tidak menyadari bahwa hubungan terlarang itu telah diketahuinya. Torehkan luka mendalam yang terpaksa ia tanggung di hari-harinya mendatang.

Tak ada angin atau hujan, ia sendiri tidak mengerti apa yang membuat sang istri nekat berbuat seperti itu. Sampai sekarang pun ia masih tidak tahu. Sebagai seorang suami, ia merasa sudah berlaku sebagaimana mestinya. Tidak ada hal aneh atau buruk yang diperbuat. Dan terpenting menurutnya, tidak pernah ia menyakiti sang istri. Walaupun sibuk, ia tidak pernah menelantarkan keluarganya. Malah apa yang ia lakukan semata-mata demi keluarga.

Bak siswa dalam kelas sedang menyimak pelajaran, Dika mendengarkan curhat Herdi dengan bergeming. Ia sampai tak habis pikir bagaimana bisa hal itu terjadi pada Herdi. "Dengan kepribadian yang dimiliki dan segala kemapanan yang dicapai, Herdi mendapat perlakuan seperti itu dari sang istri. Alangkah teganya sang istri! Betapa miris dan ironisnya nasib Herdi!" gumam Dika dalam hati.

Berempati dengan perasaan Herdi, Dika Memberanikan diri bertanya. "Setelah pengkhianatan itu, kenapa tidak memilih berpisah saja?" tanyanya enteng.

Herdi tersenyum kecut seraya berkata, "Di usia pernikahan kami yang hampir 20 tahun, aku merenung apa yang salah selama ini. Namanya hidup berumah tangga, riak-riak kecil pasti ada. Dan kami mampu melaluinya sebelum ia seperti sekarang. Sedari awal aku paham konsekuensi jika ia bekerja. Aku pun tidak menuntutnya terlalu banyak sebagai ibu rumah tangga. Aku paham ia bukan wanita seperti itu."

"Jujur aku tidak menghendaki perpisahan walau aku tahu ia telah berkhianat. Saat ini aku hanya membiarkannya sendiri. Aku pun menghindar darinya. Walau tinggal di satu atap yang sama, kami hidup di dunia kami masing-masing. Entah berapa lama ini akan berlangsung. Aku berharap ini segera berakhir," ujarnya sambil menghela napas.

Sambil manggut-manggut, Dika lalu bertanya kembali, "Bagaimana jika ia yang meminta berpisah?"

Herdi terdiam sesaat kemudian berucap, "Aku percaya pada takdir. Jika memang takdir menghendaki kami bersatu, tak akan ada yang dapat menghalanginya. Namun jika takdir tidak menghendaki kami bersatu, tak akan ada yang dapat menghilangkannya. Biarkanlah waktu yang akan membuktikan." 


 


.....
Pagi itu Evi berencana akan menyambangi dua dari empat gerai toko roti miliknya. Ia bermaksud untuk menyampaikan perihal kondisi keuangan kedua toko setelah dua bulan terdampak pandemi kepada seluruh karyawannya. Selain itu, dalam dua bulan ke depan, ia juga akan mengevaluasi omzet dua gerai tersebut. Setelah itu, baru akan diputuskan kelangsungan "hidup" keduanya.

Sambil berdoa dan berharap terjadi wind of change, Evi mulai menyiapkan ancang-ancang menghadapi kemungkinan terburuk yang terjadi. Jika kondisi terus memburuk, tidak ada pilihan lain selain menutup gerai dan merumahkan karyawan. Ini jelas keputusan berat baginya namun dengan sangat terpaksa ditempuh. Meski sempat ditawari dana talangan dari Roy, Evi menolaknya karena ia punya prinsip pantang merepotkan sang suami selama masih dapat ia atasi sendiri.

Saat dalam perjalanan ke gerai yang dituju, Evi dikagetkan oleh dering bunyi hp-nya. Sebuah nomor asing masuk. Merasa khawatir ketika mengemudi sambil menelpon, ia lantas menepikan dulu mobilnya kemudian menerima panggilan telepon. Suara si perempuan ujung telepon itu terdengar gugup.

"Pagi, Bu," sapanya.

"Pagi," jawabnya.

"Dengan Ibu Evi Arifin, ya?" tanyanya untuk memastikan.

"Iya, betul. Siapa ini?" tanyanya penasaran.

"Maaf, Bu. Saya Karin, dari kantor Bapak. Mau mengabarkan ...," terhenti sesaat lalu melanjutkan, "Bapak barusan jatuh pingsan saat lagi rapat virtual. Karena khawatir, kantor lalu memutuskan membawa Bapak ke rumah sakit terdekat," paparnya bernada muram.

"Ya Allah Gusti!" teriak Evi. "Bapak teh kondisinya gimana sekarang, Mbak?" tanyanya histeris.

"Maaf, Bu. Sementara ini hanya itu info yang saya ketahui. Untuk lebih jelasnya, Ibu sebaiknya segera menyusul Bapak ke rumah sakit," sarannya dengan tenang.

Begitu tiba, Roy langsung ditempatkan di ruang ICU dan belum bisa dikunjungi untuk sementara waktu. Ia terbaring tak sadarkan diri dengan ventilator di hidung dan mulut serta selang infus di lengan kanan. Hanya bisa menyaksikan sang suami dari jendela kaca di luar ruangan, Evi menatap kosong dan tampak lesu.

Beberapa saat kemudian Evi  menelepon Erika mengabarkan peristiwa yang sedang terjadi. Tak lama berselang seorang dokter menghampirinya. Ia menyudahi teleponnya lalu mengikuti dokter itu ke ruangan lain tak jauh dari ICU.
 
"Ibu, saya Dokter Firda. Boleh saya tanya kondisi Pak Roy belakangan?" tanyanya.

"Silahkan, Dok," jawabnya.

"Terakhir Bapak kemana, Bu?" tanyanya serius.

"Minggu lalu beliau kunjungan kerja ke Subang. Selang beberapa hari kemudian ke Karawang. Selesai acara, beliau langsung pulang," jelasnya.

"Setelah itu bagaimana kondisi Bapak? Apakah sehat-sehat saja atau bagaimana?" tanyanya seperti mengarahkan.

"Yang tampak jelas terlihat waktu kita makan malam kemarin. Beliau tampak kurang fit. Selera makannya juga menurun. Kemudian ada batuk sedikit. Dia hanya bilang mungkin hanya kecapekan dan perlu istirahat," ungkapnya masih teringat jelas.

Sambil melihat secarik kertas, dokter berkata, "Ibu, berdasarkan hasil tes usap antigen, Bapak positif virus C19. Dengan masa inkubasi lima atau enam hari, ada kemungkinan beliau tertular waktu kunjungan itu meski tidak bisa dipastikan 100%," terang si dokter.

"Maaf, Dok," sambil menyeka air matanya yang tak terasa berderai. Dalam benaknya, belum selesai masalah Erika, ia harus menghadapi persoalan bisnis rotinya yang terdampak pandemi. Padahal keduanya belum menemukan titik terang. Dan kini giliran Roy yang tak disangka terpapar virus. Bak pepatah sudah jatuh tertimpa tangga pula, semua itu terjadi padanya.

Ia melanjutkan, "Sebenarnya saya sudah punya perasaan kurang enak sejak kemarin tapi tidak menyangka seperti ini. Bapak termasuk orang yang sangat memperhatikan prokes. Kemana-mana pakai masker dan hand sanitizer. Ia juga rutin mengonsumsi vitamin dan suplemen. Hampir tiap minggu ia olahraga tenis atau bersepeda di sekitar rumah."

"Ibu berdoa saja kondisi Bapak sehat kembali. Selama Bapak tidak punya penyakit penyerta, mudah-mudahan pulihnya lebih cepat. Dan yang tak kalah penting Ibu juga sehat begitu pun keluarga yang di rumah," kata dokter coba menghibur.

"Sesuai prosedur, kami akan melakukan tracing kepada siapa saja yang terakhir kontak langsung dengan beliau. Ibu juga diminta tes setelah ini. Mari, ikut saya, Bu," ajak si dokter.

Evi meringis setelah dites usap oleh seorang petugas medis yang berpakaian hazmat lengkap. Ia terduduk lemas sambil menunggu hasil tes. Dan apapun hasilnya, ia sudah siap dengan segala konsekuensinya.

Tak lama berselang, seorang dokter lain mendatanginya seraya berkata, "Ibu Evi, ya?"

"Ya, saya," jawabnya menatap ke arah suara yang menegur.

"Boleh ke dalam sebentar, Bu?" menunjuk ke sebuah ruangan praktik. Evi langsung masuk tanpa ragu. Dengan berdebar ia menunggu apa yang akan disampaikan oleh sang dokter.  

"Ibu, hasil tesnya negatif," ungkap si dokter yang tampak masih memperhatikan selembar kertas di tangannya.

"Syukurlah," sambil mengusap kedua matanya yang sembab karena terharu.

"Oh ya, saya Dokter Gunadi, Bu," katanya memperkenalkan diri. "Dari tim satgas pandemi rumah sakit. Tadi saya sudah ketemu Dokter Firda yang sebelumnya Ibu temui. Untuk menindaklanjuti 3 T, boleh tahu di rumah ada siapa saja, Bu?" tanyanya bak polisi sedang melakukan interogasi.

"Ada dua orang anak saya dan satu orang pembantu yang datangnya di waktu pagi saja," jawabnya bak saksi di sidang peradilan.

"Baik, Bu. Sesuai prosedur, tim kami akan datang ke rumah Ibu. Apa bisa kita berangkat sekarang?" tanyanya terkesan membujuk.

"Bisa, Dok," jawabnya refleks.  

"Baiklah, nanti ambulans kami akan mengikuti mobil Ibu," jelasnya singkat.

"Baik, Dok," jawabnya segera berlalu dengan berusaha tegar menjalani itu semua. 

.....
Mengetahui perihal sang anak dari postingannya, Sinta, Ibunya Dika, tidak langsung merespons. Ia sengaja ingin mengendapkannya dulu. Ia baru mengontak Dika keesokan hari. Lewat telepon, ia menyatakan terkejut dengan yang terjadi. Ia menanyakan kabar Dika dan kegiatannya sementara waktu ini. Tak lupa ia juga berdoa agar Dika segera dapat kerja kembali.  

Sebenarnya ada hal penting yang ingin ia sampaikan ke Dika secara langsung tapi bukan di telepon. Namun ia masih ragu dan belum bisa menentukan waktu yang tepat. Akan tetapi sejak Dika dirumahkan akibat pandemi, Sinta merasa inilah waktunya. Untuk itu, ia meminta Dika pulang kampung. Lagipula ia sudah cukup lama tidak pulang ditambah lagi saat ini ia menganggur.

Sinta yang mengenali kecenderungan Dika yang menyimpang sejak kecil, selalu khawatir kepadanya. Ia pun merasa belum berbuat banyak untuk mengubah kondisi itu tapi Dika keburu memutuskan pergi merantau pada saat itu. Ia pamit meninggalkan rumah untuk kuliah di Jakarta. Dan masih begitu sampai sekarang saat ia sudah bekerja.

Setelah sekian waktu berlalu, Sinta bertanya-tanya masihkah Dika seperti yang dulu ataukah sudah berubah seperti yang ia harapkan. Ia merasa seperti memiliki utang yang belum lunas dibayar hingga sekarang. Ingin sekali ia menebus rasa bersalah yang menghantuinya selama ini tapi tidak tahu bagaimana caranya.

Hingga suatu ketika, di suatu acara resepsi secara tak sengaja ia bertemu dengan seorang teman lamanya, Pujiwati. Ia hadir bersama anak perempuannya. Yang mengejutkan Indri, sang anak, ternyata teman SD Dika. Ia menanyakan perihal Dika ke Santi. Keduanya lalu ngobrol panjang lebar selama acara itu.

Menurut Sinta, sosok Indri kurang apa lagi. Anaknya sopan, ramah, dan bekerja. Setelah selesai Akper-nya dua tahun lalu, Ia menjadi perawat di sebuah rumah sakit milik pemerintah. Ibunya kenal baik dengan Sinta. Ia punya butik khusus pakaian dan perlengkapan pengantin. Letaknya tak jauh dari toko Sinta. Ayahnya seorang pengusaha konveksi yang memiliki beberapa outlet cukup ternama. Dan paling penting Indri yang merupakan anak tunggal, masih single.

Setelah pertemuan itu, Indri makin sering mampir belanja beras di toko Sinta. Sebenarnya sedari dulu Indri sudah cukup sering belanja di toko Sinta tapi keduanya belum kenal satu sama lain. Dari perkenalannya itu, Sinta kemudian merasakan firasat. Mungkinkah ini jadi pertanda jika doa dan pinta yang selalu ia panjatkan demi kebaikan anaknya, terkabul?

Sinta hanya bisa berharap rencananya ini dapat berjalan dengan baik. Baginya yang terpenting adalah menunaikan kewajiban yang sempat tertunda. Tak ada yang diidamkannya selain mengubah keadaan  agar Dika kembali on the right track, senormal mungkin, dan sesuai kodratnya.

Ia merasa ini cara paling tepat dapat ditempuh saat ini. Perkara Dika menerima atau tidak, ia hanya bisa pasrah dan berserah diri kepada Sang Khalik. Setidaknya ia sudah mencoba dan itu sudah lebih dari cukup agar hidupnya jadi lebih tenang tanpa terbebani lagi.

Sebuah pemandangan langka tersaji di kediaman keluarga Santi malam itu. Di ruang tengah, Ibu dan Dika berkumpul dan berbincang. Sementara Dinda, adiknya Dika, sedang menyiapkan makan malam di dapur.

Mencoba memulai obrolan, Ibu berbasa-basi, "Gimana kabar Jakarta, Dik?"

"Sepi, Bu karena lockdown. Manusianya pada stay at home semua," ujarnya santai.

"Kalau disini biasa aja tuh. Gak terasa pandeminya," kata Ibu.

"Mudah-mudahan jangan sampe kayak Jakarta ya," komentar Dika.

Seolah tak ingin membuang-buang waktu, Ibu langsung to the point. Melancarkan apa yang sudah ia rencanakan selama ini. "Kesempatan sudah di depan mata, jangan disia-siakan," gumamnya dalam hati.

"Oya, Dik. Kamu ingat Indri teman SD-mu dulu gak?" tanya Ibu mendadak.

"Indri? Indri siapa?" tanyanya balik.  

"Katanya pernah sekelas denganmu beberapa kali waktu SD," ungkap Ibu.

"Lupa-lupa ingat tuh. Tapi rasanya ada yang namanya Indri dulu di SD sama SMP," ujar Dika coba mengingat-ingat kembali.

"Emang kenapa, Bu?" tanya Dika penasaran.

"Ibu ketemu dia di acara resepsi beberapa waktu lalu. Ini fotonya," sambil menyodorkan hp-nya.

Dengan sungkan, ia menerima hp itu lalu memperhatikan foto-foto yang ada. Responsnya tampak biasa saja. Tidak seperti yang Ibu harapkan. Sambil terus mengamati Dika, Ibu berkata, "Anaknya baik lho, Dik. Sering belanja di toko belakangan ini. Udah kerja lagi. Ibu juga kenal baik dengan Mamanya," ungkap Ibu yang makin jelas maksud omongannya.

Dika hanya diam dan mulai mengerti arah dari pembicaraan ini. Oh, ternyata itu sebabnya Ibu getol menyuruhnya pulang. Dan ini hal penting yang Ibu maksudkan saat menelepon waktu itu. Di usianya Dika yang ke-25 tahun, Ibu sepertinya takut sekali anaknya tidak laku. Sehingga ia mati-matian mencarikan jodoh untuknya. Wow, ia akui Ibunya sungguh seorang ibu yang luar biasa. Begitu hebat manuver yang sedang diperagakannya.

"Ibu punya nomor hp-nya. Dikirim ke kamu ya," sambungnya makin gencar mendekati Dika bak sales yang sedang memerospek calon customer.

Tak kuasa menolak permintaan tersebut, Dika mengiyakannya dengan senyuman. Ia memahami maksud baik Ibu sehingga ia tak tega menyakiti hatinya dengan menolak hal itu. Ia sangat menghargai perhatian dan ketulusan sang Ibu walau sebenarnya ia tidak menghendakinya.

Ibu yang bersemangat di setiap ucapannya, tak melihat adanya respons positif dari Dika. Ia jadi bertanya-tanya Dika sebenarnya hanya malu karena mau dijodohkan atau jangan-jangan ia memang belum berubah. Tapi Ibu tak mau menyerah. Ia terus berupaya untuk memastikan Dika yang sesungguhnya seperti apa. Ia lalu berkata, "Kalau suatu saat Ibu mengajak Dika main ke rumah Indri, mau gak?"

Suasana kian canggung melanda Dika. Mau menolak secara langsung tapi ia tak sampai hati. Karena tak ingin mengecewakan Ibu, akhirnya ia pun buka suara lagi. Dengan nada terpaksa, ia menjawab, "Nanti dipikirkan dulu, Bu."

Menjelang akhir obrolan, Dika makin banyak diam. Beruntung sang adik yang pernah ia asuh sewaktu kecil, menyelamatkannya di saat kritis itu. Dinda menyela pembicaraan mereka dengan mengatakan makan malam sudah siap. Ia mengajak keduanya santap bersama di momen yang berharga itu.

Ibu dan Dika menyudahi obrolannya. Pada akhirnya, keduanya memiliki asumsi sendiri-sendiri dikarenakan tidak tercapai titik temu. Dika tidak menerima ide Ibu walau secara tersirat ia tampakkan. Sementara bagi Ibu sendiri, kesimpulan yang diperolehnya tentang Dika tidaklah jelas. Tapi setidaknya apa yang ia rencanakan sudah terlaksana dan pesan pentingnya sudah disampaikan. Dan itu cukup melegakannya.

Keesokan hari, Dika hanya berdiam di rumah saja. Mendekam seorang diri di kamarnya dulu. Teringat kembali masa lalu. Begitu banyak peristiwa terjadi yang mengiringi masa kecil dan remajanya. Membawa kenangan penuh warna-warni yang masih membekas hingga kini.

Dalam renungannya, muncullah bayangan ibu. Seorang wanita tegar dan sosok penting dalam hidupnya. Sepeninggal Bapak, Ibu harus bekerja sekaligus membesarkan kedua anaknya. Tanpa mengeluh dan menyerah, semua dijalaninya dengan tabah. Berkat Ibu lah, ia dapat mengenyam bangku sekolah dan kuliah. Kalau bukan karenanya, Dika mungkin tidak akan seperti yang sekarang. Sungguh perjuangan dan pengorbanan Ibu, tak akan ia lupakan.  

Tatkala teringat hal-hal buruk yang pernah diperbuatnya, Dika merasa bersalah terhadap Ibu. Ia menyadari kesalahannya dan sangat menyesal. Namun ia sendiri tak mengerti kenapa hal itu bisa terjadi. Ia pun masih menganggap hal itu sebagai kenakalan masa kecil yang terbawa-bawa hingga sekarang. Meski begitu, terbesit keinginan dalam relung hatinya terdalam untuk berubah ke arah yang lebih baik di masa depan.

Rasanya baru kemarin Dinda kecil ia asuh menggantikan Ibu yang harus pergi berdagang. Kini ia sudah kelas 2 SMA dan lumayan jago masak. Katanya belajar dari youtube. Tapi boleh jadi bakatnya itu berasal dari sang Ibu. Baginya, Dinda tetaplah adiknya dulu yang ia ganti popoknya, suapi makan, beri minum, ajak main, dan ninabobokan kalau ngantuk. Kenangan itu begitu melekat dalam benaknya hingga saat ini meskipun Dinda sendiri mungkin tidak terlalu ingat hal itu karena masih kecil.

Besok lusa Dika pamit pulang. Ibu yang menginginkannya tinggal lebih lama, tak dapat menghalanginya. Ibu sudah tak mempermasalahkan lagi perjodohan itu. Sejak mengutarakan itu, ia merasa lebih plong dan tenang. Baginya, Dika sudah dewasa dan bebas menentukan pilihan. Dan ia hanya bisa mendoakan yang terbaik bagi sang anak dalam segala hal. 

(bersambung) 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun