Hari terakhir di Yogyakarta selalu terasa seperti perpisahan dengan sisi terdalam dari diri sendiri. Tas sudah siap, tiket di genggaman, tapi yang berat bukanlah barang bawaan, melainkan rasa yang belum sempat dikatakan.
Saat kereta meninggalkan stasiun Tugu, aku duduk di dekat jendela, menatap kota yang semakin menjauh perlahan. Aku tidak menangis. Tapi ada gemetar kecil di dada---bukan karena kehilangan, melainkan karena kedalaman yang tak pernah bisa diukur oleh waktu.
Aku pulang.
Bukan sebagai orang yang mencari,
tapi sebagai orang yang telah menemukan---bahwa tak semua cinta harus dimiliki untuk bisa dirawat.
Kau tetap tinggal di sana.
Di gang-gang sempit, di temaram lampu malam,
di alunan gamelan, dan aroma kopi manis.
Kau adalah lagu yang tak akan kumainkan lagi,
tapi nadanya masih kubawa ke mana pun aku pergi.
Dan Yogyakarta...
kau tak hanya kota, kau adalah penjaga perasaan yang terlalu rapuh untuk disimpan dalam kepala,
tapi terlalu indah untuk dilupakan begitu saja.
Aku pulang.
Dengan hati yang telah belajar mencintai tanpa harus menggenggam.
Dengan kenangan yang kutata ulang dalam barisan puisi dan cerita.
Dan dengan keyakinan: bahwa rasa paling tulus adalah rasa yang tidak menuntut kembali.
Â
Jogjakarta, tahun 2017
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI