Dan ketika aku melihatnya...
waktu seakan berhenti.
Kau berdiri tak jauh dariku, menghadap air yang tenang, mengenakan blus putih dan tote bag kanvas. Rambutmu disanggul sederhana, dan di matamu... ada cerita yang tak sempat dibaca.
Aku tak tahu harus berkata apa.
Lidahku kelu, seakan seluruh paragraf yang dulu kutulis tentangmu tak pernah cukup untuk satu sapaan hari ini.
Kau menoleh, mata kita bertemu. Sekilas. Hanya sekilas.
Tapi cukup untuk membuat ribuan kenangan berloncatan dari lemari waktu.
Kau tersenyum. Sedikit.
Tak lama.
Seperti senyum kepada seseorang yang pernah hadir, tapi tak lagi penting untuk dikenang.
Hatiku bergetar. Bukan karena cinta yang hidup kembali,
tapi karena aku sadar---
kita benar-benar telah menjadi dua orang yang berbeda,
yang pernah menulis satu bab bersama, tapi kini membaca buku yang berbeda.
Aku hanya bisa mengangguk kecil.
Kau berjalan pergi, tanpa kata.
Dan aku...
tetap duduk di sana, mencoba menerima kenyataan bahwa
tak semua cerita ditakdirkan memiliki epilog.
Bab 4: Yang Tak Pernah Terucap
Setelah kau pergi pagi itu, aku tetap duduk lama di taman, seperti seseorang yang menanti jawaban dari pertanyaan yang tak pernah diajukan. Kau tak menyapa, dan aku tak bertanya. Tapi di antara tatapan kita yang singkat, ada kalimat-kalimat yang tumbuh subur di dalam hati.
"Bagaimana kabarmu?"
Aku ingin mengucapkannya, tapi takut terdengar dangkal.
"Apakah kamu pernah merindukanku?"
Terlalu jujur. Terlalu dalam.
"Apakah pertemuan ini tak sengaja, atau justru kau berharap aku melihatmu?"
Entahlah.
Setiap kemungkinan itu kutelan mentah-mentah,
seperti kopi yang terlalu pahit tapi tak bisa kuhindari.
Kamu tidak berbicara, dan aku tidak memaksa.
Sesudah itu, hidup berjalan seperti biasa.
Tapi tidak sepenuhnya biasa.
Karena sejak tatapan itu, aku jadi sering berbicara dengan bayanganmu.