Dulu, saat hatiku baru mulai belajar bicara, aku menulis surat-surat yang tak pernah kukirimkan. Mereka kupendam di buku-buku tua, di antara halaman majalah sekolah, di balik laci meja belajar yang berdebu. Surat-surat itu... semuanya tentang kamu.
Tentang hari ketika kau mengenakan jaket biru tua, berdiri di depan kantin, tertawa bersama teman-temanmu. Tentang mata yang kau gunakan untuk memandang langit, seakan ada sesuatu yang kamu rindukan jauh di sana. Dan aku, hanya bisa mencuri-cuiri waktu untuk menyimpanmu dalam catatan hati yang belum tahu arah.
Surat pertama berbunyi:
"Kamu seperti senja pertama yang aku lihat dari jendela kelas. Tak terlalu terang, tapi cukup untuk membuatku ingin tinggal lebih lama."
Surat kedua kutulis di malam setelah kita tak sengaja berjalan bersisian pulang dari ekstrakurikuler. Tak banyak kata yang terucap, tapi langkah kita seirama. Aku menyebutnya: "Senandung diam yang paling indah."
Lalu datang hari di mana kamu mulai menghilang dari lingkaran hari-hariku. Aku menulis lebih banyak---surat keempat, kelima, keenam. Semuanya sarat dengan rindu yang tak tahu cara bersuara. Sampai akhirnya... aku berhenti menulis.
Tahun demi tahun lewat. Kamu menjadi nama yang hanya kubisikkan saat malam terlalu sepi. Tapi Yogyakarta tetap menyimpan semua surat itu: di suara becak, di harum sate pinggir jalan, di terik matahari yang menyentuh alun-alun dengan lembut.
Dan kini aku kembali, berdiri di sudut yang dulu pernah jadi tempatku menunggu---bukan dirimu, tapi keberanian. Keberanian untuk mengatakan bahwa kamu pernah jadi lagu yang kutulis diam-diam.
Mungkin surat-surat itu memang tak pernah sampai padamu,
tapi mereka telah sampai ke Yogyakarta---dan di sini, mereka abadi.
Di dinding toko buku, di bangku taman, di langkahku yang pelan...
semua jadi saksi bahwa aku pernah mengenalmu lewat rindu yang diam-diam berakar.
Bab 3: Tatap yang Tak Selesai
Pagi itu, aku duduk di bawah pohon beringin di taman Sari, mencoba menangkap ketenangan yang biasa diberikan oleh tempat ini. Hawa Yogyakarta masih seperti dulu---menggoda dalam kelembutannya, menyelubungi hati dengan rasa tenang yang tak bisa dibeli.
Saat itu, langkah-langkah seseorang terdengar mendekat. Aku tidak tahu mengapa jantungku mulai berdegup tak biasa. Seperti tubuhku mengenali suara langkah itu sebelum mataku sempat menoleh.