Dan kini aku tahu...
Yogyakarta bukan sekadar tempat.
Ia adalah rumah bagi cinta-cinta yang tak berani diteruskan,
dan luka-luka yang memilih diam daripada diumbar.
Ketika aku berjalan kembali ke penginapan, aku sadar:
meski langkahku ringan, hatiku tetap berat.
Karena kau ada di setiap dinding, suara, dan cahaya sore yang menyentuh ubun-ubun.
Yogyakarta tak pernah benar-benar menua.
Ia hanya berganti musim,
dan musim-musimnya tahu bagaimana cara merawat cinta yang patah tapi tak rusak.
Bab 6: Hujan di Awal Juli
Awal Juli, dan langit Yogyakarta seperti tahu bahwa aku kembali untuk mengenang. Awan menggantung rendah, seakan tak sabar menumpahkan rindu yang sudah lama tertahan. Dan ketika hujan pertama turun di pagi itu, aku tidak beranjak---biarkan tubuhku basah, biarkan hati ini bicara.
Setiap tetes terasa seperti salam dari masa lalu, mengetuk pelan di jendela kamar penginapan. Kupandangi jalan basah dari balik tirai, dan entah kenapa, bayanganmu hadir lagi. Kali ini kau tak berdiri di taman, tak berjalan di Malioboro, tapi duduk diam di sisi pikiranku---seolah berkata, "Masih ingat aku?"
Aku tersenyum sendirian.
Bukan karena bahagia,
tapi karena rasa yang dulu kutanam kini tumbuh kembali... pelan, tapi pasti.
Hujan membuat semuanya lebih jujur.
Tak ada musik jalanan, tak ada keramaian.
Yang tersisa hanya suara air dan gemuruh hati.
Dan dalam kesenyapan itu, aku bicara padamu---meski hanya dalam benak.
"Apa kabarmu, Inem?"
"Masihkah kamu suka teh manis terlalu banyak gula?"
"Masihkah kamu menyimpan lelucon-lelucon receh untuk membuat orang tersenyum?"
Tak ada jawaban, tentu saja.
Tapi bukan itu yang aku cari.
Aku hanya ingin mengingatmu saat hujan turun di awal Juli.
Karena dulu, kita pernah bercanda soal hujan.
Katamu, hujan adalah pengingat---bahwa langit pun bisa menangis,
dan kita boleh saja lemah sesekali.