Mohon tunggu...
Abdul AzizArifin
Abdul AzizArifin Mohon Tunggu... Lainnya - Pelajar

Pelajar

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Meraih Mimpi Menggapai Asa

4 Maret 2022   06:28 Diperbarui: 4 Maret 2022   06:30 2781
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

bagaimana hidup di pesantren, ibu bisa mengajak teteh jalan-jalan ke pesantren. Hari Sabtu dan Minggu besok, ibu ada pekerjaan di Tasik. In Syaa Allah, ibu bisa meluangkan waktu ngantar teteh berjalan-jalan ke pesantren. Mau?"
"Mauuu..."
"Oke, syaratnya... teteh harus mau ikut ibu ke tempat kerja, duduk berlama-lama di kantor. Kalau bosan, bisa membaca buku atau menggambar. Jadi, bawa buku yang teteh suka."
Aku mengangguk cepat dengan mata berbinar. Alhamdulillah, Membayangkan rencana bepergian dengan ibu membuat perasaanku jadi bahagia.
Ayah yang dari tadi diam, tiba-tiba bicara.
"Teeeh. Ayah sudah ngantuk nih. Jadi, tidur bareng ayah?"
"Gak ah. Sempit." Jawabku sambil beringsut

turun.

*****
Saat ibu datang, Aku masih asik membaca buku

Negeri Lima Menara di ruang tunggu kantor. "Bosen, ya..." kata ibu.

"Enggak. Aku sudah beres membaca separuhnya" kataku sambil mengacungkan buku yang sedang dibaca.
"Alhamdulillah, urusan ibu sudah beres. Yuk, kita bisa pergi sekarang. Ada petugas pokjar yang mengantar kita keliling pesantren."
Kami berjalan ke tempat parkir. Benar saja, ada kijang inova yang menunggu ibu  dan  aku.  Bapak sopirnya sangat ramah. Namanya Pak Agus. Beliau seorang kepala UPTD DISDIK yang tentunya kenal dengan banyak pengurus pesantren.
Tempat yang pertama dikunjungi, sebuah pesantren yang ada di Manonjaya. Gedung pesantren ini terlihat besar, tapi lengang.
"Inilah pesantren tertua di Tasikmalaya. Kyai- kyai hebat yang  sekarang  membuka pesantren  di seluruh Jawa Barat, tentunya pernah mondok disini. Nanti, kita bisa melihat bagaimana para santri belajar. Bapak sudah menghubungi pengelolanya." Pak Agus membuka obrolan dengan Ibu. Mereka kemudian asyik berbincang tentang banyak hal. Aku sendiri tidak mengerti, karena kebanyakan mereka berbicara tentang

pekerjaan Ibu yang berkaitan dengan Pak Agus sebagai pengurus pokjar kabupaten.
Mobil melaju pelan di jalan desa yang mulus. Sejauh mata memandang, hamparan hijau padi di sawah menjadi pemandangan yang membuatku takjub. Aku yang terbiasa melihat hiruk pikuk mobil dan motor di jalanan kota, merasa aneh dengan jalan lengang yang kami lalui. Mobil terus melaju, sudah hampir satu jam berjalan. Dari kejauhan, aku melihat menara masjid yang tinggi menjulang. Masjid itu terkesan klasik dan sederhana.
"Sebentar lagi kita sampai." Kata pak Agus.
Laju kecepatan mobil mulai berkurang, kemudian menepi dan  masuk  ke  pintu  gerbang  kompleks pesantren. Bangunan yang dari jauh sudah terlihat, kini ada di depan mata. Masjid ini sangat besar dan asri, dikelilingi kolam ikan dan taman bunga. Tepat di belakangnya, ada dua bangunan memanjang, berlantai dua.
Kami bertiga berjalan menuju ruang penerima tamu. Ada dua orang santri yang menjadi petugas piket,

mereka berdiri menyambut kami dan menyalami Pak Agus dengan takjim sambil mengucap salam.
"Waalaikum salam... Bapak Kyai nya ada?" jawab pak Agus.
"Kyai sedang  takziyah  ke  luar  kota.  Ada  saudaranya yang meninggal."
"Ustadz yang piket hari ini, siapa?"
"Ustadz Maman, pak. Silahkan duduk, kami akan memanggilnya."
Kami bertiga duduk di kursi tamu. Tidak lama kemudian, Ustadz Maman datang. Pak Agus dan Ustadz Maman terlibat pembicaraan yang hangat. Sepertinya, mereka sudah kenal akrab. Pak Agus memperkenalkan Ibu dan aku, yang berniat mesantren.
"Alhamdulillah... teteh mau mesantren?" tanya ustadz Maman.
Aku mengangguk malu.
"Teteh boleh lihat-lihat kondisi di pesantren ini. Mantapkan hati  untuk  memilih  antara  sekolah  di Bandung atau mondok1. Ada ukhti yang akan menemani

1 Kata lain untuk mesantren.

teteh untuk berjalan-jalan melihat pondok putri. Teteh boleh bertanya banyak hal pada ukhti2."
"Ya ustadz, jazakallah atas bantuannya."
*****
Aku dan Ukhti Maryam berkeliling kompleks pondok putri. Tempat yang pertama dikunjungi aula utama. Di tempat ini, para santri melakukan kegiatan sorogan3, lalaran4 atau bandongan5. Aula ini sangat luas dan bersih. Lantainya terbuat dari marmer dengan pilar- pilar yang besar dan terlihat kokoh. Di beberapa sisi aku melihat papan tulis dengan tulisan arab gundul.
Berikutnya,    kami    mengunjungikobong6 santriwati. Kobong ini merupakan kamar-kamar yang menjadi tempat tinggal para santriwati disaat beristirahat. Pondok putri ini memiliki 24 kobong. Kata Ukhti Maryam, setiap kobong dihuni oleh delapan orang santri putri. Kobong ini sangat sederhana,  hanya berbentuk ruang tertutup, dengan satu jendela dan
2 Panggilan untuk perempuan muslim.
3 Kegiatan belajar mandiri, dimana santri membacakan hafalan ayat atau hadits di depan ustadz yang memperhatikan ketepatan hafalannya tersebut. 4 Gaya belajar santri secara berkelompok untuk menghafal ayat atau hadits 5 Belajar secara klasikal, dilakukan secara bersama-sama dimana para santri menyimak penjelasan kitab dari ustadz.
6 Tempat istirahat para santri setelah lelah belajar.

pintu. Ukurannya sekitar 8 x 12 meter. Aku tidak melihat dipan sebagai tempat tidur, meja,dan juga kursi. Di kamar ini, hanya ada dua lemari besar dan empat lemari kecil serta satu rak berisi sandal dan sepatu.
"Ukhti, para santri tidur dan belajar dimana?" tanyaku heran.
"Ya dikamar ini, Za. Kalau mau tidur, kami menggelar kasur  lipat.  Lemari  besar  itu  tempat penyimpanan semua kasur dan perlengkapan tidur lainnya. Lemari kecil dipakai untuk menyimpan baju dan barang-barang pribadi kami. Satu lemari kecil  dipakai oleh dua orang santriwati. Jika kami mau makan atau belajar, biasanya menggelar tikar di bagian tengah ruangan ini."
"Oooh ... begitu." Aku mengangguk tanda faham. "Jika aku tidur disini, iiih mungkin susah untuk bisa merasakan tidur pulas. Di rumah, aku biasa tidur di kasur yang empuk, hangat dan luas," kataku membatin.
"Sekarang, kita melihat kamar mandi, yuk" ajak Ukhti Maryam.  Aku  mengangguk,  lalu  mengikuti langkah kaki Ukhti yang telah menuruni tangga.

"Hati-hati, lantainya licin!"  Ukhti Maryam memperingatkanku. Ups, hampir saja aku terpeleset. Benar, lantai yang ku injak ini basah dan licin. Aku melihat banyak lumut dekat kulah7, dan ada banyak sampah plastik di lantai kamar mandi. Iiiih, jorok sekali mereka... lagi-lagi aku bicara sendiri di dalam hati.
"Petugas piket mungkin belum sempat membersihkan kamar mandi, jadi maaf ya... terlihat kotor. Maklum lah. Kamar mandi ini digunakan oleh banyak orang. Kami harus bergantian memakai kamar mandi, sehingga semua dilakukan dengan cepat. Jadi, wajar saja jika kebersihan WC ini kurang terjaga dengan baik." Ukhti menjelaskan tanpa diminta. Aku tersenyum dan mengangguk.
Ukhti Maryam memegang tanganku saat kami menuruni tangga. Waaah, tangganya jauh lebih kecil dan berkelok tajam. Di ujung tangga, ada ruangan besar. Banyak orang yang sibuk menyiapkan makanan. Oooh ini rupanya dapur mereka. Kompor gas berbaris rapi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
  17. 17
  18. 18
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun