Mohon tunggu...
Abdul AzizArifin
Abdul AzizArifin Mohon Tunggu... Lainnya - Pelajar

Pelajar

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Meraih Mimpi Menggapai Asa

4 Maret 2022   06:28 Diperbarui: 4 Maret 2022   06:30 2781
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

7 Bak penampungan air yang besar berisi air bersih, tempat mandi dan mencuci baju para santri

Aku menghitungnya... ada sepuluh kompor. Banyak sekali ya?
"Setiap hari, dapur ini menyiapkan makanan  untuk delapan ratus orang. Lihatlah panci dan wajan itu, ukurannya besar, bukan?.  Faza  bisa  masuk didalamnya." Ukhti Maryam mencoba bergurau, aku jadi tertawa.
"Alhamdulillah, kita sudah selesai berkeliling di daerah kekuasaan para akhwat. Di gedung sana, itu kobong para ikhwan. Kami dilarang kesana. Jika ada yang berani mendatangi kobong ikhwan, maka akan dikenai sanksi keras. Saat pertama masuk kompleks pesantren, Faza lewat ke masjid, ya?" tanya Ukhti Maryam. Aku mengangguk.
"Selain tempat shalat,  mesjid menjadi  pusat kegiatan dakwah.  Saat  tiba  waktu  shalat,  semua penghuni pesantren wajib melakukan shalat berjamaah di masjid. Ikhwan shalat di lantai satu, sementara akhwat shalatnya di lantai dua. Jalan yang digunakan bagi ikhwan dan akhwat berbeda, jadi tidak mungkin bagi kami untuk berpapasan jalan. Tujuannya, menjaga

pandangan kami semua, sehingga hati  kami selalu terjaga."
Tanpa terasa, aku menghabiskan waktu hampir satu jam lamanya untuk berkeliling kompleks pesantren. Kami ahirnya kembali ke ruang tamu. Ibu, Bapak Agus dan Ustadz Maman sudah menunggu kami disana.
"Bagaimana, senang berada di pesantren?" tanya pak Ustadz Maman.
Aku mengangguk dan tersenyum ramah. Ustadz Maman kembali  melanjutkan  pembicaraannya denganku.
"Disini, Faza bisa mutala'ah kitab8, murajaah9, belajar  al  Quran  dan  hadits.  Untuk  pelajaran  umum, nanti Faza bersekolah di SMP Negeri Manonjaya. Setiap pukul 06.00, bis pesantren mengantar santri dan santriwati yang bersekolah, dan di jemput kembali pukul
14.00. Selama satu jam, semua santri diberi waktu untuk beristirahat. Saat adzan Ashar, semua kembali berkumpul di mesjid. Selesai shalat, para santri belajar bersama di  aula hingga maghrib.  Usai  shalat  magrib,

8 Mengkaji kitab/buku
9 Menghafal ayat-ayat al Qur'an

santri makan malam bersama, lalu bersiap untuk shalat Isya. Lepas  shalat  Isya,  semua  warga  pesantren beristirahat di kobong masing-masing dan bangun pukul
03.00 untuk melakukan qiyamul lail10 dan murajaah hingga adzan subuh. Setelah shalat subuh, semua santri diberi waktu untuk menyiapkan diri pergi sekolah dan sarapan pagi. Nah, inilah kehidupan yang dijalani para santri. Jadi, kalau Nak Faza mau mondok, maka seperti inilah rutinitas hidup yang harus dilalui setiap hari."
Aku menyimak penjelasan Ustadz Maman.
Hmmm... berat juga.
"Ustadz... aku masuh boleh ketemu Ibu dan pegang handphone? " tanyaku
"Semua santri tidak ada yang diperkenankan membawa handphone. Jika mau nelpon, bisa menggunakan telpon pesantren di ruang sekretariat. Ketemu Ibu? Tentu saja boleh. Nanti, ibuu bisa nengok tiga bulan sekali."
Ketemu Ibu hanya tiga bulan sekali? Olalaaa... berat banget. Aturan  tidak  bawa  handphone gak

10 Shalat tahajud di malam hari

masalah. Tapi tidak ketemu Ibu selama itu? Wuidiiih... hatiku makin ciut.
Ibu yang melihat perubahan ekspresiku, tersenyum. Dia mengusap-usap punggungku  dengan lembut.
"Jazakallah untuk bantuannya, ustadz. Sepertinya Faza harus  memikirkan  dulu  sebelum  mengambil keputusan."
"Ya, betul. Tentu saja harus difikirkan dengan benar. Bapak berdoa,  semoga  Allah  memberikan kekuatan dzikir dan fikir bagi ananda.
Jawaban pak ustadz langsung diaminkan oleh
kami.
Tidak lama kemudian, ibu pamit. Kami kembali
masuk ke mobil dan melanjutkan perjalanan pulang. Mobil sudah berada di jalan kabupten yang mulus dan lengang. Hanya ada satu atau dua mobil  angkutan pedesaan yang berpapasan. Selebihnya, sawah dan gunung yang hijau menjadi suguhan pemandangan bagi mata kami.

"Pak Agus, adakah pesantren lain, yang lebih modern di kota ini?" tanya ibu. Aku tertarik untuk menyimak pembicaraan ini.
"Ada bu.  Di  daerah  Singaparna.  Namanya Pesantren  Al  Furqon.  Jika  kita  mau  ke  Bandung  dan menggunakan jalan Garut, pesantren itu bisa kita lewati. Apakah kita akan mencoba datang kesana?"
"Ya, tentu saja harus dicoba Pak. Biar Faza punya gambaran yang utuh tentang pilihan pesantrennya." Jawab ibu mantap. Aku tersenyum senang.
Mobil kami  kembali  melaju.  Kali  ini  sudah mendekati kota Tasikmalaya sehingga banyak mobil lain yang berpapasan. Hmmm... sudah ramai, tapi  tentunya tidak sepadat lalu lintas di jalanan kota Bandung.
Setelah hampir satu jam bergerak cepat, laju mobil tiba-tiba  melambat.  Rupanya  sudah  hampir sampai ke tempat yang dituju. Benar saja, dari jauh sudah terlihat gedung yang megah di pinggir jalan raya utama. Kami segera turun dan masuk ke ruang tamu pesantren.

Seperti di pesantren yang pertama tadi, kami disambut oleh santri yang bertugas piket.  Dengan ramah, mereka mempersilahkan kami duduk. Ruang tamu ini jauh lebih besar dan bersih. Ada foto-foto kegiatan pesantren dengan pigura sederhana namun tertata rapi, sehingga enak untuk dilihat.
"Silahkan menunggu sebentar, Alhamdulillah... kyai baru saja selesai  mutolaah kitab,  jadi  bisa menerima tamu," kata santri itu pada ibu dan pak Agus.
Santri itu kemudian pamit dan pergi menuju bagian dalam pesantren. Tidak berapa lama, datanglah seorang laki-laki dewasa seumuran ibu dan seorang lagi terlihat seperti kakek.
"Assalamualaikum Kyai," Pak Agus  dan  ibu langsung berdiri menyambut mereka. Aku juga ikut berdiri, tanda hormat dan takzim pada orang yang lebih tua.
"Waalaikum salam warohmatullahi wabarakatuh, silahkan duduk" jawab pak Kyai ramah. Lelaki yang disamping Kyai tampaknya mengenali Ibu. Dia tersenyum ramah kearah kami.

"Alhamdulillah, ahirnya Ibu Yuyun berkenan mampir ke rumah kami. Terima kasih, Bu."
Ibu sepertinya kaget, dia memperhatikan orang yang duduk disamping Kyai. Tak lama kemudian, ibu mulai ingat sesuatu dan tersenyum sambil berkata
" Pak Zainal, ya? Alhamdulillah... saya bertemu saudara yang lama tidak bertemu. Apa kabar, Pak? Terahir kita ketemu di Pokjar Subang, ya. Kalau tidak salah, setahun yang lalu."
"Betul bu. Sekarang saya off menjadi tutor. Saat ini mengambil program doktoral di Jakarta, jadi sulit mengatur jadwalnya."
"Kalian saling kenal, rupanya. Syukurlah, bisa menyambungkan tali  silaturahmi  lagi."  Kata  Kyai sambil tersenyum. Kami semua mengangguk. Wajah Kyai terlihat berwibawa, lembut, tegas dan tenang. Sorot mata kyai, kini beralih padaku.
"Siapa namamu, nak?"
"Faza, Kyai..." jawabku pelan. "Nama lengkapnya?"
"Faza Lisan Sadida, Kyai. Ini anak kedua saya. Dia saat ini sedang mencari tempat untuk melanjutkan

pendidikannya. Katanya ingin mesantren," kali ini ibu yang menjawab pertanyaan Kyai.
"Apa yang membuat Faza ingin mondok di Pesantren?" tanya Kyai padaku.
"Aku ingin membangun satu pintu di surgaNya, Kyai..." jawabku pelan sambil menunduk. Tatapan mata Kyai membuat aku tidak berani mengangkat muka.
"Maksudnya apa?" Kyai kembali bertanya. Aku bingung, menatap ibu. Dalam hati aku berkata, "Bu... bantulah jawab."
Kali ini, Ibu membantuku.
"Begini, Kyai. Faza baru lulus dari Madrasah Ibtidaiyah. Saat Imtihan kemarin, hanya Faza yang mewakili seluruh siswa kelas 6 untuk tampil membacakan   hafalan   al   Quran.   Juz   30,   Surat   Al Baqarah dan Surat Ali Imran. Dia ingin tetap menjaga hafalannya dan tentunya ingin terus menambah hafalan al Qur"an."
"Subhanallah... Alhamdulillah. Nak, sini... duduk dekat Kakek!" Tangan Kyai melambai kearahku. Aku melihat ibu sebentar. Ibu mengangguk.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
  17. 17
  18. 18
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun