Mohon tunggu...
Abdul AzizArifin
Abdul AzizArifin Mohon Tunggu... Lainnya - Pelajar

Pelajar

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Meraih Mimpi Menggapai Asa

4 Maret 2022   06:28 Diperbarui: 4 Maret 2022   06:30 2781
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

"Subhanalaah... berarti anak ibu masih jagoan dong!" kata  ibu  sambil  menyalamiku.  Senyumnya terkembang.
"Buat apa peringkat kedua, tapi mendapat nilai buruk?" jawabku ketus.
"Sayang... cobalah kau lihat kualitas soal-soalnya. Kalau ibu perhatikan, ini bukan soal aljabar biasa. Coba bandingkan buku matematika milikmu dengan buku punya Kaka Rhesa, saudara sepupumu yang bersekolah di SMA lain. Pasti berbeda."
Kata-kata ibu terahir ini membuat hatiku sedikit tenang. Ya, betul juga. Kualitas soal kami memang menyamai soal-soal dari luar negri sono. Biasanya guruku bilang, sudah gak level jika kalian hanya menguasai kurikulum nasional. Otak kalian yang encer harus diberi asupan kurikulum dari Stanford, atau minimal Cambridge.
"Kenapa diem?" ibu membuyarkan lamunanku. "Enggak..."jawabku sambil tersenyum.
"Ibu percaya,  teteh  bisa  menghadapi  setiap kesulitan dengan sabar. Teruslah berjuang, karena sekolah ini pilihanmu sendiri. Mau ibu kasih resep hebat

supaya berhasil masuk ITB dengan mudah?" tanya ibu. Aku mengangguk dengan cepat.
"Mulai sekarang, teteh harus mau belajar lebih keras dari teman-temanmu yang lain, Kuncinya ; Mencuri start. Jika orang biasanya belajar mendekati waktu ujian nasional, maka teteh dari sekarang belajar terus menerus dan mengupayakan supaya grafik nilaimu terus menanjak. Bisa?" tanya ibu sambil tersenyum. Aku mengangguk.
"Apa keuntungan mencuri start?" tanyaku pada
Ibu.
"Ketikateman-temanmuberjuang
memperebutkan kursi universitas, kau sudah duduk nyaman    menikmati    tiket    kursi    universitas    yang diberikan pemerintah untukmu. Ada banyak keuntungan. Pertama, kau tidak harus mengalami panik karena tidak  mendapat  jatah  jalur  undangan  ke universitas. Kedua, biaya yang dikeluarkan ibu lebih tepat guna. Jadi,  kita bisa menghemat pengeluaran biaya pendidikan. Ketiga, kau akan dengan bangga tersenyum karena impianmu terwujud."

Kata-kata ibu begitu menggiurkan. Andai aku bisa konsisten menjaga semangat belajar, tentu semua ini menjadi lebih mudah.
"Ibu, bantulah aku agar tetap bersemangat," kataku sungguh-sungguh.
"In Syaa Allah... " jawab Ibu, sambil mencium keningku. Ada perasaan hangat mengalir dihatiku.
*****
Hari ini ada tugas praktikum biologi. Aku lupa, tidak membawa jas labolatorium. Waaah gawat. Aturan sekolah ini sangat ketat.  Jangan  coba-coba masuk laboratorium tanpa berbaju kebesaran, kecuali kau siap mendapat nilai minus tiga dari bu guru.
"Kenapa seperti orang kebingungan, Za?" tanya Dinda, teman sebangkuku.
"Iya ... aku lupa bawa jas lab. Gimana nih. Bisa celaka aku," kataku mengadu.
"Coba kita lihat di jadwal besar, selain kelas kita, kelas mana lagi yang hari ini pake laboratorium?" tanya Dinda.
"Apa hubungannya antara jas lab dengan jadwal penggunaan laboratorium?" tanyaku aneh.

"Faza, otakmu hanya berisi angka-angka matematika mulu sih. Cobalah berfikir strategis. Kita menggunakan laboratorium pada jam ke lima, artinya setelah waktu istirahat. Nah, gara-gara kamu pelupa, maka jatah waktu istirahatmu yang berharga itu harus kau korbankan untuk mencari pinjaman jas lab ke kelas lain. Faham maksudku?" Dinda menjawab panjang lebar. Aiiih, kawanku ini memang ahli strategi. Dua jempol langsung terangkat untuk ide cemerlang yang diberikannya.
"Oooke... ngerti. Makasih buat  ide  kerennya. Sekarang, aku tinggal searching jadwal pengguna laboratorium biologi!" kataku girang. Beberapa menit kemudian, tanganku lincah memainkan layar Handphone. Yup, kelas X IPA 3!.
"Dinda... punya teman di X IPA 3?" tanyaku penuh harap.
"Olala... Faza, kamu ingat Dian? Itu lho, anak perempuan imut yang gak berjilbab, yang rajin ikut sholat dan suka barengan ikut kajian quran sama kita?" aku berfikir sebentar. Dinda diam menatapku.

"Oh, iya... aku ingat, dia yang ngajakin aku ikut LSS ya?"
"LSS? Apaan tuh?" Dinda balik bertanya.
"Lingkung Seni Sunda. Eksul nya anak-anak kemayu itu lho. mereka yang pinter mainin gamelan sunda," kataku menjelaskan.
"Ya, mungkin itu. Udah... cepet cari nomoh HP nya di grup!"  kemba;I  Dinda  memberi  intruksi.  Aku tersenyum, menjawil pipinya yang putih.
"Keren kamu. Thanks ya."
Dinda mengangguk. Aku buru-buru searching no HP Dian di grup kelas X IPA 3. Tidak ada nama Dian dalam grup itu. Apa Dian bukan di kelas itu ya? Masa sih, ada anak SMA yang gak punya HP ?.
"Din... kenapa gak ada nomor HP nya ya?"
"Gak tau... emangnya aku mesin pencari informasi!" kata Dinda  sambil  menjulurkan  lidahnya.  Duuuh, gimana nih. Sebentar lagi pelajaran Fisika lagi... agh.
"Pak Pras sepertinya datang telat. Rezeki tuh. Cepet samperin Dian. Tuh, dia barusan lewat kelas kita!". Kata Dinda yang duduk menghadap pintu. Tanpa harus

disuruh kedua kalinya, aku langsung berlari keluar kelas.
"Dian!" panggilku sedikit menaikkan volume suara. Dia menoleh kearahku, lalu tersenyum tipis. Alhamdulillah, dia mengingatku rupanya.
"Ya, ada apa?" tanyanya ramah.
"Aku lupa bawa jas lab. Boleh pinjam punyamu?" tanyaku, sambil melihat jas lab yang ada di tangannya.
"Oh ya, tentu saja boleh."
"Alhamdulillah... sambil shalat ashar, kita ketemu ya. Aku mau ngembaliin jas lab dalam kondisi aman ko. Yakin!" kataku sungguh-sungguh.
Dian tertawa renyah, lalu mengangguk.
Dari jauh, aku melihat Pak Pras berjalan menuju kelas dengan terburu-buru. Aku langsung lari menuju kelas. Waaah, telat dikit, bisa-bisa tidak bisa mendengar ceramah beliau deh. Hmp... tepat waktu!. Aku langsung duduk manis disamping Dinda. Syukurlah....
*****
Semester pertama  di  SMA,  menjadi  waktu adaptasi tersulit bagiku untuk bisa datang ke sekolah tepat waktu. Pernah sekali, aku ketiduran di bis kota

hingga alun-alun kota. Waaah panik banget. Untungnya, sopir bis baik. Dia bilang; "Tenang neng, baru jam 5.50. bapak gak ngetem. Bentar lagi kita berangkat dan Neng gak akan  telat  masuk  sekolah,"  katanya  sambil  tersenyum.
"Terima kasih, Pak," jawabku sopan.
"Capek ya? Atau kurang tidur?" tanya ibu-ibu yang duduk disampingku.
"Semalam baru bisa tidur jam satu pagi, bu. Ada tugas," jawabku seadanya.
"Waduh... hampir tiap hari seperti ini?" tanya ibu itu. Sepertinya dia kaget mendengar jawabanku.
"Gak tiap hari, Bu. Tapi sering..." aku tersenyum lagi kepadanya. Aaah... ngantuk  itu  alami,  karena kurang tidur. Tapi aku bahagia, karena tugas-tugas sekolah selalu dapat kuselesaikan tepat waktu.
"Neng, sudah sampe plasa nih. Siap-siap turun!" Kondektur mengingatkanku. Aku bergegas menyerahkan ongkos.
"Eeeh, gak usah. Biar ibu yang bayar. Hati-hati, Neng! Terus semangat ya!" Duuuh... malu, sekaligus senang. Uang jajanku gak jadi berkurang nih.

Aku mengangguk dan mengucapkan terimakasih, lalu turun. Syukurlah, angkot segera datang, jadi aku bisa nyape sekolah 06.18.
Dalam semester ini, aku sudah telat dua kali. Itu artinya, jatah telatku tinggal sekali lagi. Kalau itu terjadi, maka orangtua harus datang ke sekolah dan membuat perjanjian untuk memastikan kehadiran siswa tepat waktu. Sekolah kami memang sangat disiplin dan konsekwen menegakkan aturan. Jangan harap bisa berleha-leha, semua dikerjakan dengan cepat.
*****
Pagi ini, hasil ulangan Biologi dibagikan. Alhamdulillah, nilaiku  89.  Dinda  menunduk  lesu, menatap kertas ulangannya.
"Kenapa, Din?" tanyaku heran. Nilai dia 80, rasanya nilai itu gak terlalu jelek deh pikirku.
"Bagaimana aku bisa dapat jalur undangan kedokteran UNPAD, kalau nilai Biologi yang kuandalkan hanya seperti ini?" keluhnya sebal.
"Kamu sudah belajar serius?" tanyaku.
"Sudahlah! Mami bahkan meluangkan waktunya untuk mengajariku."

"Ya sudah, terima aja. Besok, belajar lebih bagus lagi. In Syaa Allah bisa dapat nilai sempurna," kataku  menghiburnya.
"Aku iri sama kamu, Za. Sepertinya kamu santai banget. Gak ngejar nilai-nilai sempurna. Ibu kamu gak ngasih target nilai, ya?" tanya Dinda. Wajahnya terlihat sangat serius. Aku tertawa dibuatnya.
"Ibuku seorag guru. Dia tau kalau aku sudah belajar maksimal. Ibu selalu menekankan untuk menyempurnakan usaha dan menerima hasil apapun, legowo. Namanya iklas!"
"Mami bilang, aku harus dapat nilai sempurna terus lho." Dinda sepertinya masih tidak menerima konsep iklas menerima hasil.
"Kalau aku punya fikiran seperti itu, aku bisa capek sendiri, stress. Nah... jangankan nilai sempurna, yang datang malah penyakit jantungku kumat. Iiih gak banget deh!"
"Ooh... aku ngerti sekarang. Mungkin ini yang bikin kamu terlihat tenang dan selalu bahagia menerima nilai- nilaimu walaupun jelek. Oke, aku mau ikutan juga ah!".

"Hei, masa SMA itu harus bahagia. Kalau gak  bahagia, rugi. Ya udah, nikmati aja proses belajar yang berat ini sambil tersenyum cerah."
"Oooke mbak faza... siyap, Thanks for your advice! Nanti sore, aku bicarakan hal ini sama mamih. Aku mau belajar dengan gayaku, bukan gaya mamih. Yang penting, aku berusaha maksimal. Kalau rezeki, Kedokteran UNPAD mengundang seorang Dinda Kania Dewi menjadi mahasiswinya. Kalau ndak, aku tinggal terbang ke Singapura nyusul mbak Diyah. Kuliah bareng dia deh." Katanya santai. Mendung tentang nilai yang tak sempurna itu tersapu sudah, menguap ditelan wajah sumringah.
Setelah obrolan singkat itu, Dinda bisa tersenyum cerah. Tidak berapa lama, Bu Kintan sudah beraksi di depan kelas. Beliau menjelaskan tentang mitokondria yang sampel sel nya kami pelajari di laboratorium beberapa hari lalu.
*****
Hari ini pelajaran olahraga. Aturan di sekolahku, siswa putra dan putri belajar di tempat terpisah. Siswi biasanya belajar  di  lapang  Bali,  samping sekolah

sementara putra di lapangan Kologdam yang jaraknya sekitar 500 meter dari sekolah.
Ibu Rita, guru olah raga kami begitu tegas dan disiplin. Bagi beliau, otak cerdas kami membutuhan tubuh yang kuat. Itulah sebabnya, setiap pelajaran olahraga, tidak ada yang main-main apalagi  berani malas-malasan.
Pagi ini kami belajar atletik. Untuk pemanasan, kami harus berlari mengitari lapangan golf mini di seberang lapangan Bali. Olalaaa... lumayan tuh. Konvoi pelari amatir kemudian bergerak mengelilingi bagian luar dari lapangan golf mini. Waktu yang diperlukan sekitar 30 menit. Entah apa yang terjadi, saat pemanasan itu, tiba- tiba nafasku sesak, kepala terasa pusing dan badan lemas. Aku tidak bisa berlari dan jatuh tersungkur.
"Za... sudah merasa baikan?" tanya Dinda yang berdiri disampingku. Mataku menyapu ruangan bersih yang kami tempati. Ada tiga tempat tidur besi bercat putih, tabung oksigen besar, rak-rak berisi obat dan alat- alat P3K lainnya tersusun rapi di sudut ruangan.
"Kita dimana, Dinda?" tanyaku lemah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
  17. 17
  18. 18
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun