Mohon tunggu...
Abdul AzizArifin
Abdul AzizArifin Mohon Tunggu... Lainnya - Pelajar

Pelajar

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Meraih Mimpi Menggapai Asa

4 Maret 2022   06:28 Diperbarui: 4 Maret 2022   06:30 2781
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

"Pak, kalo di sekolah, kehadiran berpengaruh pada nilai. Bagaimana dengan di tempat bimbel?" kali ini, Helmi yang bersuara.
"Tidak ada pengaruh. Semua murni hasil usaha kalian masing-masing. Kehadiran 100% di Bimbel tapi tidak belajar maksimal, tetap saja tidak meningkatkan pengetahuan dirinya." Kata-kata Pak Iwan membuat teman-teman yang lain kembali ribut.
"Faza, bapak mau tanya. Berapa jam dalam sehari, waktu yang digunakan untuk latihan soal?"
"Mungkin sekitar lima jam, kadang lebih pak," jawabku.
"Itu diluar jam belajar di kelas dan bimbel, kan?" kembali Pak Iwan bertanya. Aku mengangguk.
"Kalian dengar sendiri, berapa banyak waktu yang dipakai dia untuk belajar? Jadi... siapa yang mau punya nilai besar, cobalah mengikuti waktu belajar Faza." Kata-kata Pak Iwan membuat anak-anak terdiam, mati kutu.
*****
Pelaksanaan Ujian Nasional tinggal sebulan lagi. Aku terus memacu diri untuk belajar lebih optimal

melalui Hypno Therapy yang kulakukan sendiri, dengan bantuan buku dan CD Interaktif. Seminggu sekali, aku menghipnotis diri  dengan  tujuan  merefresh  ulang semangat belajar  yang  kadang  kendor  dan  terus mengulang target nilai UN sebesar besarnya. Aku ingin mendapat nilai sempurna untuk Matematika, IPA, dan Bahasa Inggris. Untuk Bahasa Indonesia, aku tidak berani mematok nilai sempurna. Selain itu, belajar mandiri dan qiyamul lail lebih ditingkatkan.
Ternyata, bukan aku saja yang tancap gas dalam belajar. Teman-teman baik di sekolah maupun di tempat bimbel sekarang ini lebih serius belajar. Hanya satu dua anak saja yang masih kurang peduli. Semua itu karena guru-guru dan orangtua mereka rupanya lebih streng mengingatkan akan kewajibannya.
Hari besar itu ahirnya datang jua. Ujian Bahasa Indonesia. Aku berusaha keras untuk menjawab setiap soal ujian dengan hati-hati. Dari empat pelajaran yang diujikan, bagiku pelajaran inilah yang paling sulit. Sempat, beberapa hari lalu... aku mengadukan hal ini pada ibu.

"Aku takut,  nilai Bahasa Indonesiaku  buruk. Gimana nih? Sampai sekarang, aku kesulitan untuk mendapat nilai sempurna."
"Sayang, Allah sang  pemilik  ilmu. Dia akan memberikan ilmu  pada hamba  yang  disayanginya. Cobalah berusaha menjadi kekasihNya," kata ibu.
"Bagaimana caranya?" tanyaku penasaran. "Perbaiki kualitas ibadahmu dengan Qiyamul lail,
puasa sunat, sedekah, berbuat baik pada sesama, dan minta doa pada orangtua dengan hati iklas. In Syaa Allah, ridhoNya akan turun."
"Ibuuu... maafkan semua khilafku. Bantu aku dengan doa, supaya Allah berikan kasihnya untukku. Aku janji, akan menjadi anak yang lebih baik lagi," kataku sungguh-sungguh. Diam-diam, aku menangis dalam pelukan ibu.
"Tanpa kau  minta,  seorang  ibu pasti  akan mendoakan anaknya. In Syaa Allah, ibu memaafkan semua khilaf  teteh..."  kata  ibu  sambil mencium keningku. Alhamdulillah.Karena doa dan bimbingan ibu, ahirnya, aku bisa mengerjakan ujianku dengan tenang. Saat mengerjakan soal, semua rasanya menjadi mudah.

*****
Pengumuman kelulusan dan hasil ujian dikirim via pos. seharian ini, aku menunggu dengan harap-harap cemas. Saat aku lagi baca buku, Mahdi tiba-tiba muncul dari balik pintu, mengacungkan amplop putih, sambil berteriak,
"POOOS... POOOS ... POS NYA MBAAAK
Aku terlonjak girang, langsung merebut surat yang dipegangnya. Dengan hati-hati, pinggiran surat ku robek pelan.
"YEEEEAAAAH... BERHASIL!" Mahdi berteriak disampingku. Kontan, aku terlonjak kaget dibuatnya.
"IBUUU... NEM TETEH GEDE!" kembali, dia berteriak nyaring.
Ayah yang sedang membaca koran, langsung berjalan kearahku. Dia tersenyum sambil mengulurkan tangannya.
"Sini, biar ayah yang buka. Teteh pasti takut melihat hasilnya ya?" kata ayah. Aku mengangguk. Dengan cepat, surat kelulusan itu kuberikan pada ayah.
"Alhamdulillah... FAZA DINYATAKAN LULUS DENGAN NEM 382"

Suara ayah begitu indah terdengar di telinga. Aku langsung sujud syukur dan memeluk Ibu.
Finnaly... apa yang kuperjuangkan tiga tahun terahir, terbayar lunas. Aku memang belum mewujudkan impian membangun satu pintu surga buat ibu, tapi hari ini aku bisa melihat ibu tersenyum bahagia karena prestasi  yang  telah  kutoreh  untuk  dunia. Kesabaranku untuk tetap memegang teguh prinsip  belajar mandiri dan tidak  mencontek berbuah manis.
Ketika SD, aku menghafal mahfudzhah Man Sobaro dhofaro,  yang  artinya barangsiapa  yang  bersabar, maka akan memetik  buah kesabarannya. Ternyata, setelah tiga tahun bersekolah di SMP, aku bisa merasakan pengalaman langsung buah manis dari sabar yang yang kupupuk terus di dalam hatiku.
*****

KITA HARUS TERPISAH

Hari ini, aku datang ke sekolah dengan wajah sumringah. Aku dibanjiri ucapan selamat dari teman- teman, dan guru-guru di sekolah. Pak Iwan, kemarin sore sengaja  menelpon  dari  tempat  bimbel  untuk mengucapkan selamat dan  mengundang aku supaya datang mengambil hadiah yang telah dipersiapkan pihak bimbel, karena aku peraih nem tertinggi untuk wilayah Bandung Timur.
Kebahagiaanku makin  bertambah,  setelah  ku tahu jika empat orang sahabatku mendapat hasil yang sama bagusnya. Taufik nem nya 391, lebih tinggi dariku. Dia yang juara olimpiade fisika tingkat nasional mendapat bea siswa dari SMA swasta paling bergengsi di kotaku. Ilham, Nadya dan Sarah NEM nya dibawah aku, tapi nilai mereka masih bisa masuk dengan aman ke sekolah favorit.
"Za, kasian lho si Hilda," Sarah membuka obrolan. "Kenapa? Bukankah nilai dia selama ini bagus
terus?" tanyaku heran.

"Bagus karena mencontek, apa gunanya," Ilham mencibir.
"Nem nya hanya 285. Sekarang, dia sakit. Kata temen-temen, ibunya  marah besar  sampai menamparnya." Sarah menjelaskan dengan rinci. Walaupun aku pernah marah dan kesal pada Hilda, tapi mendengar berita sakitnya Hilda ini membuat hatiku sedih.
"Kita tengok, yuk!" kataku mengajak Sarah dan Ilham.
"Untuk apa? Jangan ah. Kata temen-temen di kelas, Hilda gak mau ditemui, dia juga tidak menjawab telpon dan SMS mereka. Kalau kita datang, mungkin makin membuatnya kesal sama kamu, Za. Kamu kan musuh besar dia," kata Ilham.
"Aku tidak menganggap dia musuh. Dalam kondisi prihatin, justru moment yang tepat bagi kita untuk menunjukkan empati padanya. Pokoknya, kalau kalian ngaku sobatku, besok kalian berdua HARUS MAU ngantar aku menemui Hilda." Aku menatap mata Sarah dan Ilham dengan setengah memaksa. Kalau sudah begini, biasanya mereka akan menuruti kemauanku.

"Ooke tuan putri, titahmu, perintah bagi kami," kata Sarah dan Ilham sambil membungkuk takzim, lalu tertawa. Aku tersenyum penuh kemenangan sambil menyalami Sarah.
*****
Hilda tampak kaget mendapat kunjungan mendadak dari kami bertiga. Awalnya, dia tidak mau menerima kami. Kata mamahnya, dari kemarin Hilda tidak mau makan. Dia mengurung diri di kamarnya.
Dulu, aku mengira kalau Hilda anak orang kaya yang sangat dimanja orangtuanya. Tapi, setelah melihat keadaan rumahnya, anggapan itu menguap dengan sendirinya.
Hampir setengah  jam,  kami  bertiga  duduk menunggu di ruang tamu yang sederhana. Mamahnya Hilda masih berusaha memaksa anaknya supaya mau menerima kami. Entah apa yang dikatakan mamahnya, ahirnya Hilda mau menemui kami. Wajahnya terlihat pucat, kusut dan matanya sembab. Mungkin karena terlalu banyak menangis. Ketika kami bersalaman, Hilda terus menunduk.

"Apa kabar, Hilda?" Tanya Sarah lembut.
"Kabar buruk. Buat apa kalian datang kesini?" jawabnya ketus.  Kami  bertiga tentu saja  kaget mendengar jawabannya yang tidak ramah.
"Kami datang dipaksa Faza, dia khawatir sama kamu!" kali ini Ilham bicara ketus. Aku langsung melotot ke arahnya.
"Eeh... enggak kooo. Ilham bercanda. Kita kangen sama temen sekelas. Dari kemarin kita bertiga nyariin kamu," timpal Sarah, berusaha mencairkan suasana.
"Untuk apa nyari aku? Mau pamer NEM DEWA ? kalian puas, melihat aku jadi kambing congek?" Hilda makin terlihat kesal. Aku memang tahu kalau selama ini, Hilda dikenal pemarah. Tapi, kenapa dia harus marah pada kami?.
"Hilda, maaf ya. Jika kedatangan kami membuat kamu merasa terhina, itu salah besar. Niat kami datang kesini tulus karena kami sayang dan peduli sama teman. Kita tidak berniat pamer, seperti yang kau bilang tadi. Kita ingin kamu berusaha untuk menerima takdirmu dan aku kira, nem bukan tujuan ahir hidup seorang anak SMP. Kata ibuku, perjalanan kita masih panjang.

Nem ini hanya salah satu gerbang menuju masa depan." Kataku berusaha untuk menahan emosi supaya tidak terlihat kesal.
"Kalau kedatangan kami dirasa mengganggu, kami minta maaf. Sekarang juga, kami mau pamit pulang." Ilham ikut bicara. Wajah Sarah sudah memerah karena menahan tangis. Anak ini memang paling cengeng.
Hilda masih diam. Kami saling bertatapan satu sama lain. Ilham sudah memberi kode pulang. Dia langsung berdiri, bersiap untuk pamit.
"Kenapa... kenapa kalian baik padaku?" Lirih, Suara Hilda nyaris tidak terdengar. Kami kaget, setelah melihat Hilda menangis sesenggukan. Sarah ikutan menangis. Iiih, anak ini memang melankolis!. Aku dan Ilham bingung harus bicara apa, jadi kami diam dulu... dan mendengarkan apa yang mau diucapkan Hilda lagi.
"Selama ini, aku jahat sama Faza. Terus terang, aku sering jahat karena aku iri karena kamu cantik, pintar, disukai guru-guru dan punya teman yang kompak. Kalian berlima membuat nama harum sekolah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
  17. 17
  18. 18
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun