Mohon tunggu...
Abdul AzizArifin
Abdul AzizArifin Mohon Tunggu... Lainnya - Pelajar

Pelajar

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Meraih Mimpi Menggapai Asa

4 Maret 2022   06:28 Diperbarui: 4 Maret 2022   06:30 2781
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

wajah ibu penuh harap. Ibu langsung menggelengkan kepala.
"Ular binatang buas, bukan untuk dipelihara. Hidupnya di alam bebas. Dia diciptakan Allah menjaga ekosistem sawah. Kamu tau, apa makanan ular ini?" tanya ibu serius.
"Tikus, ayam, musang... apa lagi ya teh?" katanya balik bertanya padaku. Aku nyengir sendiri, hebat juga otaknya.
"Nah, kalo ular ini ditangkap dan mati... ada berapa ekor tikus yang berkembang biak dengan cepat di sawah. Lalu, berapa banyak padi yang kemudian dimakan tikus-tikus itu?. Siapa yang akan dirugikan dengan matinya ular ini?" Ibu kembali bertanya pada adikku. Dia terdiam lama.
"Buuu... aku salah, ya?" Mahdi bicara dengan suara pelan.
Ibu tersenyum, lalu mengelus lembut rambut adikku. "Sayang, apa yang kau lakukan itu memang salah. Tidak sepantasnya kamu mengusik kehidupan ular itu. Jadi, kalau mau memperbaiki kesalahanmu,

sebaiknya ular ini kita kembalikan saja ke sungai. Mau?".
Mahdi mengangguk cepat. Tangannya buru-buru menggapai bagian kepala ular. Maksudnya mungkin mau membuka plastic yang menutupinya.
"Eit, jangan dibuka disini!" teriak ibu. "Kenapa, bu?" tanyaku penasaran.
"Kita tidak tau bagaimana kondisi ular ini. Jadi, sebaiknya dibawa keluar rumah dulu. Biar pak satpam yang buang ular ke sungai. Teh, coba lihat ke pos satpam, ada yang sudah berjaga gak sekarang? Kalo ada, minta datang ke rumah secepatnya." Waaah, aku deh yang harus bekerja.
Pak Umar, satpam yang jaga sore itu kaget banget melihat ular piton sepanjang dua meter bergelung lemas diatas karpet. Tangannya dengan cekatan membuka plastic yang mengikat kepala ular, lalu dibawa keluar. Mahdi mengikuti langkah kaki Pak Umar yang bergegas pergi menuju sungai di belakang kompleks perumahan. Aaah, Semoga saja kejadian ini bisa menghabiskan rasa penasaran adikku pada ular.
*****

FINALIS YANG TIDAK TERDUGA

Treeet... Hp ku bergetar, tanda ada pesan masuk untukku.
"Karya kita masuk sebagai finalis, Alhamdulillah". Pesan pendek dari Taufik ini mampu membuat aku terlonjak girang.
"Setelah jam pelajaran terahir, semua kumpul di laboratorium TIK. Ada yag harus kita diskusikan bersama." Pesan berikutnya masuk. Olalaaa... keren banget! Mataku langsung berbinar cerah. Lelah dan penat selama tiga minggu, sekarang terbayar lunas.
Siang itu, kami  berlima berkumpul  di  ruang laboratorium dengan Pak Agus. Dari awal bertemu, semua berwajah cerah  ceria.Pak  Agus berkali-kali menyalami kami berlima dan tersenyum lebar.
"Selamat, usaha maksimal yang kalian lakukan berbuah manis. Sekarang, saatnya kita menyiapkan diri untuk presentasi dihadapan dewan juri secara langsung. Panitia mengirim tiket akomodasi untuk tiga orang, jadi kita sekarang berembuk untuk menentukan siapa yang

akan mewakili tim,"  kata  Pak Agus  membuka  pembicaraan.
Kami saling pandang satu dengan yang lainnya. "Aku rasa, Taufik pantas mewakili kita semua.
Dia yang pertama punya ide untuk mengikuti lomba ini. Dia juga yang mendesain semua ide-ide yang kita lontarkan hingga berwujud film," Nadya mengemukakan pendapatnya. Kami bertiga mengangguk setuju.
"Terimakasih untuk kepercayaan kalian, tapi aku mau, ada yang menemaniku presentasi. Kalian lihat, finalis lain pada  umumnya orang  dewasa  yang professional dan mahasiswa jurusan jurnalistik. Hanya kita yang mewakili Jawa Barat dan masih anak SMP kelas dua pula..." jawab Taufik dengan suara pelan. Mendengar jawabannya,  kita  semua  merasa  ciut. Sepuluh finalis yang di undang ke Jakarta ternyata kumpulan orang-orang hebat. Sedangkan kita? Wuidiiih... pemula bau kencur!
"Jangan berkecil hati. Kalian sudah menjadi finalis, artinya kemampuan kalian setara dengan finalis lainnya. Bapak kira, sekaranglah saat yang tepat untuk menunjukkan kehebatan kalian. Saat ke Jakarta nanti,

bapak akan menemani kalian. Tugas bapak sebagai pembuka presentasi, selebihnya ... untuk urusan konten presentasi, bapak serahkan pada Taufik."
"Oke, sudah ada dua orang yang siap berangkat. Satu orang  lagi,  siapa?"  tanyaku  pada  mereka.  "Bagaimana kalau Nadya? Tim kita enam orang dengan komposisi berimbang antara putra dan putri. Jadi ... boleh dong  kalo  Nadya  yang  berangkat,"  usulku kemudian. Nadya langsung melotot kearahku.
"Yey... kemarin, kamu dan Sarah yang jadi reporter. Jadi,  lebih  pantas  kalian  dong!"  Nadya menyanggah sambil manyun.
Aku dan Sarah kompak melambaikan tangan sambil berkata, "No...No... No... TIDAAAK!. Kita itu bak pinang di belah dua. Kuota tinggal satu, jadii kami gak mungkin terpisakan. Sudahlah... terima nasib, Nad!" Sarah menggoda Nadya. Ugh... makin sebel saja dia.
"Nadya... jarang-jarang ada  kesempatan  buat show your power. Skala nasional pula! Udah, terima ya. DEAL!!!" Kali ini, Ilham angkat suara.
Pak Agus menjabat tangan Nadya.

"In Syaa Allah... Nadya bisa bekerjasama dengan Taufik. Sekarang, kita bantu mereka menyiapkan bahan presentasi," kata Pak Agus menutup perdebatan.
Persiapan presentasi dimulai dengan membuat power point minimalis. Ya, juri memberi waktu bicara hanya 10 menit bagi mereka bertiga. Mulailah kami berdiskusi tentang point mana saja yang layak diangkat dalam presentasi. Alhamdulillah, tiga jam berdiskusi itu akhirnya menghasilkan bahan tayang yang sangat memuaskan. Semoga, kami bisa jadi salahsatu pemenangnya.
Keesokan harinya, dengan menggunakan mobil orangtua Nadya, mereka bertiga berangkat ke Jakarta jam empat pagi. aku, Sarah dan Ilham seharian di sekolah, harap-harap cemas menunggu kabar baik dari mereka. Sampai jam tiga sore, kabar yang dinanti itu tak kunjung tiba. Duuuh, bikin penasaran saja.
Upacara bendera pada Senin ini menjadi special bagi kami berlima. Wow... sekolah memberikan apresiasi bagi kami yang menjadi juara ke dua tingkat nasional. hadiahnya banyak, ada handy cam, kamera yang super mahal, uang pengembangan minat dan bakat fotografi

senilai 10 juta rupiah dan plakat bagi lima orang anggota tim. Kepala sekolah menyerahkan plakat bagi kami di depan semua peserta upacara, tepuk tangan meriah menyertai penyerahan plakat tersebut. Hmmm... seminggu ini, kami menjadi tranding topic bagi guru maupun siswa satu sekolah.
Banyak orang yang memuji kami, tapi ada juga yang tersenyum mencibir dan berkata, "ah... itu sih faktor keberuntungan saja. Juri merasa kasihan karena mereka peserta termuda." Apapun komentar mereka, kami berlima hanya bisa tersenyum dan berkata... kita akan buktikan pada mereka semua, jika prestasi ini merupakan pembuka bagi prestasi  yang  lainnya. Semoga.
*****

BERJUANG, MERAIH NILAI SEMPURNA

Dua tahun bersekolah di SMP Negeri, masih saja aku tidak betah dengan kondisi sekolah. Selalu saja ada rasa rindu yang tiba-tiba hadir. Aku merasa kangen pada kehangatan proses belajar dengan guru-guruku yang hebat dan kangen pada teman-teman yang selalu berlomba dalam  belajar  di  sekolah  lamaku.  Jika perasaan itu  datang,  maka  aku  berusaha  lebih mendekatkan diri pada sahabat-sahabatku di DKM  Mesjid sekolah. Ya,  disini  kami belajar tahsin, menambah  jumlah  hafalan  al  quran  yang  dimiliki  dan berdiskusi tentang apasaja. Kegiatan kami dibimbing oleh kakak-kakak alumni. Mereka mahasiswa ITB dan Unpad yang masih peduli pada almamaternya.
Pada  tahu  ketiga,  kami  harus  belajar  ekstra
karena menghadapi ujian nasional. dalam hati, aku membuat target sendiri. Aku mau ke SMAN 3 Bandung. Sekolah terbaik yang kata-teman-temanku, "Itu sekolahnya para dewa pembelajar. Anak yang masuk ke sana memang niat banget jadi mahasiswa ITB!" aaah. Apapun    yang    mereka    katakan,    aku    tak peduli.

Pokoknya, aku harus berjuang lebih keras lagi untuk meraih impianku ini.
Sore ini, aku pergi ke tempat bimbel. Ada Try out tahap dua. Aku mengerjakan soal try out ini dengan penuhsemangat  danhati-hati,.Teman-temanyang mengerjakan soal di kursi barisan belakang, terdengar ribut mengeluh ini itu. Mereka saling kerjasama untuk mencontek. Sebel, gak di sekolah gak di tempat bimbel, mencontek sudah jadi budaya. Aku berusaha tetap fokus mengerjakan soal-soal ini, dan tidak peduli pada mereka. Duaharikemudian,pakIwanmenempel perolehan hasil try out di papan pengumuman. Yes, aku diperingkat  pertama  dengan  total  skor  328.  Teman-
teman di tempat bimbel langsung ribut. Mereka protes. "Pak,  Faza  kan   jarang  hadir   bimbel. Kenapa
nilainya bisa jadi yang paling bagus?" kata Indra sewot. "Dia jarang hadir, tapi bukan berarti tidak belajar.
Coba tanya, kenapa Faza tidak mau datang ke tempat bimbel?" kata Pak Iwan di depan kelas.
"Za, jawab  tuh!"  bisik  Airin,  yang  duduk disampingku. Aku gak mau jawab, masih anteng dengan soal matematika yang belum ketemu jawabannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
  17. 17
  18. 18
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun