Mohon tunggu...
Yuni Retnowati
Yuni Retnowati Mohon Tunggu... Dosen - Biarkan jejakmu menginspirasi banyak orang

Dosen komunikasi penyuka film horor dan thriller , cat lover, single mom

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Novel | Hati Perempuan (Bagian 8: Getar Cinta Lelaki Muda)

3 Maret 2020   11:01 Diperbarui: 3 Maret 2020   11:07 278
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

        Matahari pagi sudah mulai bersinar menebarkan cahaya ke sekitar. Anak-anak sekolah sudah berhasil menepis rasa kantuk dan malas. Memenuhi jalan dengan langkah-langkah kecilnya diseling sesekali celotehan kecil yang terdengar tidak begitu penting tapi cukup meramaikan suasana pagi. Khalisa tak dapat dengan jelas menangkap apa isi pembicaraan mereka. Ada canda tawa sambil sesekali berdebat. Dia memperhatikan anak-anak berseragam merah putih itu ketika menunggu penjual bubur kacang hijau di depan pintu pagar rumah kos.

       "Lama tukang burjo lewat sini. Nggak mau makan nasi uduk atau lontong sayur aja?" Dini menawari sewaktu melintas di dekatnya sambil membawa piring.

      "Nggak Din, aku lagi nggak pengin makan berat," tolaknya cepat.

      "Umi mau ke mana kok sudah rapi?" tiba-tiba Dini menyadari perbedaan penampilan Khalisa. Pada pagi seperti ini sudah selesai mandi dengan berganti pakaian dari daster menjadi t-shirt dan blue jeans.

      "Diajak jalan-jalan ke Puncak sama teman. Mau ikut?"

     "Nge-date nih ya?" godanya dengan kerling mata yang terlihat lucu bagi Khalisa namun mungkin saja bisa meruntuhkan hati setiap lelaki. "Dini sudah ada janji sama Pak Marjo. Mau menentukan jadwal sidang komisi buat minggu depan."

     "Wah, ketinggalan aku Din. Selamat ya, kamu sudah sidang komisi. Penelitianmu di sini aja kan? Kalau aku mesti pulang ke Yogya Din."

     "Ya, nggak apa-apa , Umi bisa ketemu Gea, bisa ketemu lawyer. Tapi Pak Akbar dan Pak Anwar gimana dong?  Tadi malam ketemu lho. Titip salam buat Umi. Dia orangnya serius lho Umi. "

       "Mau promosi? Atau sudah teken kontrak jadi mak comblangnya?" potong Khalisa mematahkan semangat Dini.

      "Ah, nggak Umi. Terserah Umi aja maunya sama siapa. Sama Revi juga nggak apa-apa kalau Umi memang suka. Eh, ini kencan sama siapa lagi Umi?"

      "Bukan kencan, Din. Main saja. Refreshing dulu. Biar nggak botak kepala mikir tesis melulu," sanggahnya.

      Terdengar suara ketukan sendok pada mangkok menghasilkan denting yang nyaring pertanda tukang bubur sudah semakin dekat. Dini mengisyaratkan agar Khalisa segera menghadangnya karena dia pun akan segera pergi ke tukang lontong sayur di ujung gang. Pada saat itu dari kejauhan Khalisa melihat Romy sedang berjalan menuju pagar tempatnya berdiri.

      Ketika Romy sudah sejengkal dari hadapannya dia  mulai bersuara. "Hai  Romy..kok pagi banget sudah sampai sini?" sambutnya dengan tatapan terbagi antara Romy dan tukang bubur yang akan segera tiba.

      "Biar nggak terjebak macet lagi." Sahutnya tenang dengan tatapan lembut menyapu wajah Khalisa. "Mbak lagi nunggu tukang jual makanan ya?"

      "Iya. Kamu mau  burjo?"

      "Boleh, Mbak. Aku belum sarapan juga nih."

      Gerobak dorong tukang jual bubur kacang hijau sudah sampai di depan rumah. Khalisa menghentikannya dengan memesan dua magkok burjo yang menggunakan mangkok si penjual. Biasanya dia menggunakan mangkok Ibu kos yang diambil dari dapur tapi kali ini dia merasa tak perlu mangkok itu. Makan burjo bisa diselesaikan dengan cepat dalam kondisi perut kosong dan lapar di pagi hari. Apalagi ada Romy yang juga dituntut untuk segera menuntaskan makanannya  karena mereka akan segera pergi.

      "Pakai mangkok saya, Bu?" tanya tukang burjo merasa heran.

      "Iya, Bang. Nggak lama kok. Tunggu saja di pojok sana. Siapa tahu banyak juga yang mau beli."

       Baru saja Khalisa selesai bicara, terdengar langkah-langkah menuruni tangga dari lantai atas. Rinta dan Trinita turun dengan buru-buru. Menghampiri tukang bubur lalu memesan burjo seperti sudah kehilangan kontrol kesabaran. Sejenak keduanya memandang Khalisa yang tengah duduk berdua dengan Romy di teras rumah ibu kos. 

       "Ke sini  Ta,  Rinta !" panggil Khalisa. "Kenalkan ini Romy!"

       Sambil mengulurkan tangan bersalaman bergantian terdengar komentar Rinta yang membuat Romy tersipu , "Gebetan baru Bu Lisa ya?"

      "Sembarangan aja kamu ini Rin. Dia ini temanku dari Yogya," Khalisa menerangkan menahan rasa berang.

      Dini muncul di balik pintu pagar dengan piring berisi lontong sayur  di tangan kanan sementara tangan kirinya menenteng bungkusan nasi uduk dan beberapa potong gorengan. Biasanya Ica titip dibelikan nasi uduk untuk sarapan. Meski kerepotan dengan bawaannya, Dini ikut juga mendekati Romy yang sedang menunggu mangkok burjo diserahkan kepadanya.

      "O, ternyata ini orangnya yang ditunggu dari pagi," katanya seraya tersenyum dan menyalami Romy lalu menyebutkan namanya. Sekilas Khalisa mencoba melihat sorot mata Romy apakah akan tersedot ke sepasang mata sayu milik Dini. Tak ada perubahan sorot mata yang membuatnya merasa begitu lega. Aduh, apa sebenarnya yang sedang bergolak di dalam hatinya saat ini.

      "Kita naik ke atas dulu ya !" pamit mereka bertiga hampir bersamaan.

      "Teman-temanmu lucu ya Mbak," kalimat Romy yang ke luar setelah itu membuat Khalisa tersenyum tipis.

     "Ada yang kamu taksir nggak?" selidiknya.

     "Nggak, ah.  Aku naksir Mbak aja," balasnya ringan sambil mencoba menatap dalam-dalam ke mata Khalisa. Membuatnya tersipu sejenak  meninggalkan rona merah muda di pipinya.

     "Enak Neng sarapan burjo pagi-pagi," suara Ibu kos pun terdengar sebelum sosoknya terlihat sempurna tepat di belakang Romy. Di situ terletak pintu rumah utama yang menyediakan teras untuk mereka duduk menikmati burjo di mangkok kecil di atas meja.

     "Eh. Ibu. Iya ini Bu. Mau pesan juga Bu?" sahutnya agak kikuk.

     "Nggak Neng, Ibu sudah masak nasi goreng tadi." jawabnya.

     "Burjonya enak lho Bu, masih hangat, " Romy menimpali tanpa malu-malu.

    "Ini temannya yang dari Yogya ya Neng?" tanya Ibu setelah mendengar Romy menimpalinya.

     "Iya, Bu, kenalkan saya Romy," balasnya segera tanpa menunggu Khalisa memperkenalkannya. Dijabatnya tangan Ibu kos dengan kuat sambil tersenyum.      Ibu kos ikut tersenyum menerima jabatan tangan Romy.

     "Mau ke mana ini?" tanya Ibu kos selanjutnya sekedar berbasa-basi sebelum ikut duduk bergabung dengan keduanya di teras rumahnya.  Ada empat kursi di sana yang mengelilingi sebuah meja berbentuk lingkaran.

     "Mau jalan-jalan di sekitar Bogor, Bu. Mbak Lisa bisa jadi penunjuk jalannya nanti biar nggak nyasar," Romy yang menjawabnya.

     "Ikut yuk Bu!" ajak Khalisa yang segera mendapat balasan tatapan tajam dari Romy entah apa maksudnya.

    "Lain kali Neng, ini bukan hari Minggu. Gimana kalau anak-anak pulang sekolah nanti?"

      Khalisa tak bisa memaksa karena memang dia hanya ingin berbasa-basi. Wajah Romy pun segera berubah cerah lagi dengan menyurutkan tatapan tajamnya menjadi lembut lagi. Dua perempuan dewasa yang berada di dekatnya mungkin saja melewatkan perubahan-perubahan  di raut wajahnya yang demikian cepat. Melihatnya sebagai lelaki muda yang santun dalam sikap dan tutur kata.

      Mereka menandaskan bubur kacang hijau dalam waktu tak lama. Romy yang kemudian membayar dua mangkok burjo itu.  Penjual tak punya uang kembalian untuk dua puluh ribu yang diulurkan Khalisa.

    "Sudah siap berangkat sekarang Mbak?" Romy seperti sudah tak sabar untuk segera meninggalkan rumah kos Khalisa.

    "Tunggu sebentar!  Aku ambil tas dan pakai sepatu dulu!"

    "Nggak usah dandan lagi ya. Sudah cakep kok Mbak!"

      Khalisa tak menanggapi gurauan Romy namun tak bisa membiarkan teman-teman mengoloknya di lantai atas. Semua sudah siap menumpahkan kalimat-kalimat yang menyudutkannya.

     "Lebih nyaman dengan berondong ya Bu ?" ledek Rinta tak memberi waktu untuk membela diri.

     "Brownies   berondong manis," Ica menambahi.

     "Ada apa sih kalian ini? Brownies atau Duren sama-sama enak kok tergantung selera penikmatnya aja," Dini menengahi.

     "Durennya mana? Pak Akbar? Iih nggak banget ," sambung Trinita sedikit mencibir.

     "Eh, sudah ya, jangan ngomongin brownies atau duren. Aku nggak suka makan duren. Makan brownies juga nggak bisa banyak-banyak.  Aku pergi dulu ya. Nanti pulangnya tak bawain talas atau wajit aja," kalimat Khalisa  meluncur bagai meteor yang berjatuhan menghentikan semua ocehan teman-teman sekosnya.

       Romy menatapnya sesaat sebelum mengikuti Khalisa berpamitan kepada Ibu kos lalu melangkah pelan meninggalkan halaman. Di atas sana beberapa pasang mata tak juga melepaskan pandangannya dari sepasang makhluk lain jenis beda usia. Entah apa yang masih terus memenuhi pikiran mereka. Khalisa yang tak biasa atau Khalisa yang tak peduli pada usianya.

      Rupanya teman-teman Romy lebih bisa bertoleransi kepadanya. Melihat Khalisa sebagai bagian dari kelompoknya. Mengabaikan perbedaan usia maupun status yang disandangnya. Perjumpaan pertama mereka telah mampu mengakrabkan satu sama lain. Satu per satu Khalisa mencoba mengingat nama mereka. Tito, Irwan, Dani dan Edwin adalah teman seperjalanan Romy yang usianya di bawah dua puluh lima.  Masih ada tiga gadis yang mereka jemput dalam perjalanan menuju Puncak. Mereka  pulang pergi ke Jakarta naik kereta api kemudian berjanji bertemu teman-teman lelakinya di Bogor untuk merencanakan liburan bersama. Nadia, Irma dan Dinda adalah tiga gadis manis yang dikenalkan kepada Khalisa.

       Tujuan mereka adalah ke Puncak. Khalisa memang akhirnya menjadi penunjuk jalan  Duduk  di samping Romy yang menyetir  mobil. Sementara yang lain duduk di barisan belakang sambil tak henti  mengobrol dan bercanda. Lagu-lagu yang mengalun dari tape recorder menjadi kalah suara meskipun masih tetap bisa ditangkap telinga. Khalisa mengenali lagu-lagu Bruno Mars yang berselang-seling dengan lantunan lembutnya suara Adele.

       "Kita ke Taman Safari dulu?" tegas Khalisa meminta persetujuan yang lain.

       "Iya, Mbak, kita nurut aja mau dibawa ke mana," sahut Dani.

      " Dibawa ke neraka juga mau?" sambung Irwan

      "Nggak mungkinlah Mbak Lisa menjerumuskan kita," bela Tito.

      "Habis ke Taman Safari baru ke Taman Bunga ya Mbak?" Edwin mempertegas tujuan mereka.

      "Iya, Win, memang begitu rencananya. Cewek-cewek setuju kan?" Khalisa melongokkan wajah ke belakang mencari dukungan dari ketiga gadis manis yang justru memilih duduk di jok paling belakang.

      "Oke saja Mbak, cuma pulangnya nanti kita mau mampir Tajur. Mau beli tas kulit. Habis itu jangan lupa wisata kulinernya," Nadia menyahut dengan suara agak keras.

     "Cewek-cewek ini belanja saja kerjanya.  Boros ," celetuk Edwin.

      "Sekali-sekali aja  Win," Irma membela.

      "Cewek memang begitu Win.  Tugas cowok yang harus kerja keras cari duit, ceweknya yang ngabisin," goda Dinda ditingkahi tawa kecilnya.

     "Ah, mau enaknya aja kalian para cewek ini," balas Tito.

      Pembicaraan mereka masih terus berlanjut sampai memasuki Taman Safari yang kemudian menghentikan keinginan mereka untuk saling berdebat seputar kebiasaan cewek dan cowok. Mereka berubah menjadi pemerhati binatang yang cermat. Sesekali para cewek itu menahan nafas ketika mobil melintasi harimau dan singa yang tengah bermalas-malasan di seberang jalan.

     "Lihat itu jerapah lagi ngeceng !" tunjuk Dinda dengan riang.

       Mereka sibuk memotret dan merekam tingkah binatang buas yang menjadi pemandangan tak biasa. Kadang ada yang berteriak, tertawa atau menahan ketegangan saat harus mengabadikan moment-moment menarik yang dilakukan para binatang. Sepasang zebra yang saling menggesekkan mulutnya seperti sepasang kekasih yang sedang memadu cinta. Kijang yang berkejaran dengan riang. Tak ketinggalan Romy pun mengambil kameranya untuk menangkap gambaran kejadian unik di sekitarnya.

      "Taman bunga nanti juga bagus lho Rom," kata Khalisa mengingatkan.

      "Di sana nanti aku mau foto berdua bareng Mbak," bisiknya.

      "Kalau pacarmu marah gimana?" Khalisa memandangnya tepat di kedua bola matanya.

      "Aku nggak punya pacar, Mbak,"  tukasnya tanpa menyembunyikan rasa malu yang  tergambar di wajahnya.

      "Bener?" suara Khalisa bernada tak percaya.

      "Nggak percaya ya sudah, Mbak. Nanti lihat sendiri aja kalau pulang ke Yogya. Kalau Malam Minggu aku mau ngapelin Mbak aja,"  kalimat yang keluar dari mulutnya tertata dengan nada terjaga antara terus terang dan menggoda. Khalisa agak sulit membedakannya dan sedikit bergetar dadanya mendengarnya.

       Agak lama waktu yang dihabiskan di Puncak. Selepas memuaskan pandangan pada binatang yang dibiarkan berkeliaran di alam bebas, mereka  masih dibuat terpesona oleh bunga-bunga aneka warna di Taman Bunga Nusantara. Membuat lupa pada perut yang meronta-ronta kelaparan dan baru reda setelah menyantap nasi timbel dalam perjalanan pulang. Meski begitu Romy terlihat puas menuntaskan perjalanannya. Niatnya foto berdua dengan Khalisa kesampaian juga di Taman Mexico yang berlatar belakang bunga-bunga gradasi warna merah dengan gerbang putih tempat mereka berdua bergaya bagaikan putri dan pangeran dari negeri dongeng. Teman-teman Romy hanya tersenyum melihatnya. Edwin yang dengan sukarela menawarkan diri mengabadikan kebersamaan keduanya.

        Sisa-sisa penat tak digubrisnya sewaktu mengakhiri wisata di Puncak. Memenuhi permintaan teman-teman Romy yang cewek, pulangnya mereka mampir ke Tajur. Edwin yang menggantikan Romy menjadi sopirnya. Khalisa masih tak beranjak dari jok depan sedangkan Romy berganti posisi duduk di jok ke dua. Tepat di belakang Khalisa. Sepanjang perjalanan pulang itu hampir sebagian besar waktu dihabiskan Romy dengan tidur. Nampak keletihan di wajahnya. Sudah terlalu lama dia duduk di belakang setir dan berkonsentrasi sepenuhnya pada jalanan yang seringkali macet. Apalagi pagi-pagi tadi sudah menjemput Khalisa jauh di luar kota Bogor.

      "Aku turun di hotel Pangrango lho, " Dinda mengingatkan Edwin yang nampaknya kurang paham jalan. "Belok  kiri setelah lampu merah itu."

     "Irma dan Nadia turun mana?" Edwin mencoba mendata para penumpang lain yang menjadi tanggungannya kini.

     "Kamu anter sampai stasiun saja Win. Kita mau balik ke Jakarta malam ini."

     "Masih ada kereta ke Jakarta?" tanya Khalisa.

    "Nggak tahu, Mbak."

     "Aduh, gimana sih?  Ke terminal aja Win. Biar mereka pulang ke Jakarta naik bis."

    "Aku takut, Mbak," Irma merasa keberatan.

     "Nginep aja di Bogor. Ada losmen nggak di sekitar Kebun Raya?" Nadia mulai mengubah rencana. Khalisa menunjukkan losmen di sekitar jalan Suryakencana.

     "Habis ini kita anter Mbak Lisa," kata Edwin setelah menurunkan Nadia dan Irma.

      "Biar aku aja yang anter, Win. Kos Mbak Lisa jauh. Kalian pulang dulu ke hotel !" ujar Romy tak bisa dibantah.

      Teman-teman Romy saling berpandangan sebelum akhirnya menyetujui permintaan Romy. "Yakin kamu nggak cape?" masih ragu juga Edwin melepaskan Romy  sendiri mengantar Khalisa.

      "Aku sudah tidur banyak tadi," kilahnya .

     "Kalau kecapean nanti Romy nggak pulang," Khalisa menyahut sambil menahan senyum.

     "Aduh, berat tanggung jawab kita kalau mereka nginep di hotel," gurau Tito sebelum mobil meninggalkan mereka berempat di halaman hotel tempat mereka menginap.

      "Itu menjadi tanggung jawab kami bukan tanggung jawab kalian," seru Romy menanggapi gurauan Tito.

       Jalanan mulai macet oleh antrian panjang angkot di sekitar Kebun Raya. Meskipun bukan malam Minggu, barisan angkot hijau muda itu tetap saja berderet dan hanya bergeser sedikit demi sedikit. Romy menarik nafas panjang lalu menghembuskannya pelan-pelan. Dialihkan pandangannya dari jalanan yang macet ke samping tempat duduknya. Sisi wajah Khalisa terlihat samar-samar dalam keremangan lampu jalanan.

      "Cape Mbak?"

      "Ya, sedikit. Kenapa? Kamu cape?"

      "Nggak. Sudah biasa jalan jauh. Dua hari lagi pulang ke Yogya," ujarnya sambil menjalankan mobil pelan-pelan setiap ada peluang untuk bergerak maju. "Kalau pulang ke Yogya kasih kabar ya Mbak biar aku bisa main!"

      "Iya, pasti kukabari. Katanya mau ngajak  main aku."

      Romy tersenyum dengan tatapan menerawang jauh. Kedua matanya seperti bisa menangkap bayangan-bayangan indah mereka berdua. Bagaimana menjabarkan semua ini dalam satu rasa?  Sementara Khalisa tertidur karena letih yang tak lagi bisa ditahannya. Romy terdiam beberapa lama sampai mereka tiba di ujung gang menuju tempat kos Khalisa.

     "Mbak, kita sudah sampai!" bisiknya mencoba membangunkan Khalisa dengan tepukan lembut di pundaknya.  Khalisa terkejut  ketika membuka mata.

      "Aku ketiduran ya?" suaranya masih mengambang dalam kesadaran yang belum sempurna.

      "Iya Mbak, sampai ngorok," sahutnya seperti tak terjadi apa-apa.

      "Eh, enak aja. Aku nggak pernah ngorok ya," protesnya.

      "Nggak sadar  tuh. Namanya juga tidur jadi ya nggak tahu."

       Khalisa sedikit kesal mendapat jawaban seperti itu dari Romy. Buru-buru dia membuka pintu mobil lalu turun tanpa berkata-kata lagi. Romy tersenyum menyaksikan Khalisa bertingkah seperti itu. Ternyata perempuan dewasa bisa marah juga karena candaannya. Diikuti Khalisa di belakangnya lalu dengan mempercepat langkah dia pun berhasil menjajari di sisi kanannya.

      "Sudah Romy, kamu kembali ke hotel saja, aku nggak bakal ilang. Kosku dekat dari jalan ini. Kamu nggak usah nganter masuk."

      "Kenapa Mbak? Malu diledek teman-teman?"

      " Kok tahu ?"

     "Aku dengar tadi pagi ."

     "Ah, kamu.... Sudah sana kembali !"

     "Eh, Mbak lupa. Oleh-olehnya ketinggalan di mobil," dia mengingatkan. "Tunggu sebentar Mbak, aku ambilkan!"

     Terpaksa Khalisa menunggu Romy membawa oleh-olehnya. Dua tas plastik besar yang dijinjing di tangan kanan dan kirinya. Membiarkan berondong itu menjajari langkahnya hingga di depan pintu pagar.

     "Makasih ya."

    "Sama-sama, Mbak," ditatapnya beberapa saat wajah Khalisa yang tersipu dalam limpahan cahaya redup lampu taman. "Aku pulang dulu ya. Sampai ketemu di Yogya."

       Beberapa pasang mata ternyata mengawasi dari lantai atas. Menyambut dengan berondongan pertanyaan yang tak pernah terpuaskan oleh jawabannya. Mereka mengira Khalisa hanya berdua menghabiskan sepanjang hari bersama Romy. Meski berulangkali dijelaskan tetap saja sulit percaya. Begitu oleh-oleh dibagikan serempak mereka terdiam karena sibuk makan.

        Proposal tesis Khalisa baru saja mendapat tanda tangan dari kedua dosen pembimbingnya. Sementara kampusnya memanggilnya pulang sementara untuk membantu mengajar selama semester pendek. Mengingat honor mengajarnya lebih besar  dibandingkan semester regular, dia bersedia memenuhi  permintaan itu. Sekalian dia bisa menjaga dan menemani Gea sebulan penuh.

        Sesuai janjinya  dulu, dia pun mengabari Romy tentang kepulangannya kali ini. Bahkan Romy menawarkan diri untuk menjemputnya di stasiun Tugu. Biasanya Khalisa naik travel karena lebih praktis. Dia bisa dijemput di kos lalu diantar sampai ke rumah. Sayangnya kali ini dia mampir   ke Bandung dulu sebelum pulang ke Yogya. Mencari beberapa referensi yang dibutuhkan untuk menulis tesisnya nanti.  Ketika menulis proposal dia hanya meminjam buku-buku dari perpustakaan sebagai referensi. Kini dia merasa perlu memiliki buku-buku yang menjadi referensinya agar tak dibatasi oleh waktu peminjaman buku yang sangat pendek.

        Kereta api yang bisa membawanya pulang ke Yogya adalah kereta api jurusan Surabaya. Sampai di stasiun Tugu sekitar jam tiga dini hari. Karena itu Khalisa tak berani memejamkan mata sedetik pun. Khawatir tertidur dan terbangun di Surabaya. Masalah lain yang muncul adalah bagaimana dia akan pulang ke rumah. Naik taksi sendiri saat dini hari seperti itu belum pernah dialami. Untungnya Romy  bersedia menjemputnya.

        Begitu kereta memasuki kota Yogya, rasanya Khalisa sudah tak sabar lagi ingin segera turun. Telpon Romy beberapa kali membuatnya tetap terjaga sepanjang perjalanan. Namun setelah jam sepuluh lewat Romy pun perlu waktu untuk tidur  agar bisa bangun untuk menjemput Khalisa pada dini hari. Sedikit khawatir ketika menjelang dini hari Romy agak sulit dihubungi.

        Jam tiga lewat lima menit kereta api sudah memasuki stasiun Tugu. Khalisa sudah tak sabar untuk menjejakkan kaki di kotanya sendiri. Mengemasi bawaannya disiapkan begitu kereta api memasuki kota Yogya. Setelah itu dia mencoba menelpon Romy  yang sudah berjanji menjemputnya. Romy telah menunggunya di stasiun lebih dari setengah jam.

     "Makasih sudah mau menunggu dan menjemputku," ucapnya tulus.

     "Aku senang melakukannya untukmu, Mbak," jawab Romy.

      Keduanya berpandangan sejurus lamanya. Tanpa diduga Romy memeluknya. Rindu itu tak terbendung lagi ingin ditumpahkan hingga tuntas. Khalisa membalas dengan pelukan yang sama kuatnya seperti yang dilakukan Romy. 

     "Bawaanmu mana saja Mbak?" Romy mengecek barang-barang yang dibawa Khalisa sebelum memasukkan ke bagasi mobilnya.

     "Ini travel bag dan satu tas jinjing."

     "Mau langsung pulang sekarang, Mbak?"

     "Iya, masak harus nunggu pagi," sahutnya cepat.

      Romy mengantarkan sampai di rumahnya. Bapak yang membukakan pintu pagar agar mobil bisa masuk. Malahan Romy juga disuruh masuk untuk beristirahat di kamar  tamu. Jadi setelah Khalisa masuk kamarnya untuk tidur bersama Gea, Romy juga disuruh Bapak tidur di kamar tamu.

     Jam sembilan Khalisa  baru bangun namun Romy tak lagi dijumpai. Bapak bilang kalau Romy sudah pulang sekitar jam delapan setelah beberapa kali ada yang menelponnya. Tanpa sempat berpamitan kepadanya membuat Khalisa merasa kehilangan. Kenapa tidak meninggalkan pesan meski hanyalah SMS sebagai medianya?

      Kepulangannya saat itu pun akhirnya hampir  habis hanya  untuk keperluan pekerjaan di kampus.  Beberapa hari libur dimanfaatkan untuk  menikmati indahnya pantai di Yogya selatan bersama Romy dan Gea. Janji Romy yang dulu diucapkan ketika bertemu dengannya di Bogor benar-benar dipenuhinya.

       Pada kepulangannya selama sebulan itu, Khalisa tak punya banyak waktu untuk berjalan-jalan di pusat kota Yogya. Hanya melihat-lihat koleksi buku baru di Gramedia dan Toga Mas. Lantas ketika ada pameran buku di JEC, dia menyempatkan diri ke sana ditemani Romy. Pada saat itulah secara tak sengaja dia bertemu Dion. Lelaki yang sekuat tenaga ingin dilupakannya itu sedang melihat-lihat koleksi buku di salah satu stand pameran. Keduanya hampir bertabrakan ketika sedang berusaha mengambil salah satu buku dari rak pajangan.

        "Lisa ?" dia terkejut menyadari siapa perempuan yang berdiri di hadapannya. Lebih terkejut lagi setelah menatap sepasang mata kelam milik Romy yang berdiri di samping Khalisa. Bisa dipastikan kalau  Dion mengira Romy adalah kekasih baru Lisa.

       "Eh,  Dion, " desah Khalisa setelah yakin pada penglihatannya. Lelaki yang dijumpainya saat itu ternyata seseorang yang pernah mencuri hatinya beberapa waktu lalu. Sekilas dia melihat sebuah cincin melingkar di jari manis Dion. Tiba-tiba saja pandangannya menjadi buram karenanya. Ditariknya dengan kuat tangan Romy untuk segera berlalu dari stand pameran itu.

      Keesokan harinya Dion mencoba menemuinya di kampusnya. Beralasan sedang sibuk, Khalisa menolak menerimanya. Tak juga kehilangan akal, Dion menunggu hingga sore saat hampir semua orang di kampus sudah pulang. Ketika itu Khalisa baru saja selesai absen dan bersiap menuju tempat parkir.  Dion berdiri tepat di depannya tanpa berkata sepatah kata pun tetapi sepasang matanya berusaha menyampaikan banyak hal.

      "Aku ingin berbicara kepadamu sebentar saja," pintanya merendah.

      "Untuk apa?"

      Dion tak segera menjawab. Sepasang matanya menyiratkan rasa bersalah yang dalam. Berulangkali dia mencoba menyembunyikannya namun tak berhasil. Terdorong oleh rasa iba yang entah muncul dari mana, Khalisa bersedia mengikuti Dion ke sebuah rumah makan di dekat kampusnya. Tempat yang agak tersembunyi dan tak begitu ramai. Saat itu Khalisa kembali mencuri pandang ke jari manis Dion tetapi tak ada lagi cincin yang melingkarinya.

      "Kamu sudah menikah?" suara Khalisa tertelan angin yang menderu di sekitar mereka.

       Tak ada jawaban yang terdengar setelah pertanyaan itu keluar dari mulutnya. Dion membisu beberapa lama sampai akhirnya Khalisa tak ingin mendengar apapun yang diucapkannya.

      "Kamu lupa janjimu," Khalisa mengingatkan.

      "Janji apa?"

     "Tak lagi menemuiku."

     "Aku tak bisa," keluhnya.

       "Kamu sudah menikah," gumam Khalisa.

       "Menikah merupakan keputusan yang harus diambil meskipun bukan kemauan kita sendiri," dalihnya.

       "Sudahlah, aku bisa mengerti," potong Khalisa.

      Tak ada yang perlu dijelaskan lagi karena memang  Dion bukan sesuatu yang istimewa lagi buat Khalisa. Kalau dia menemukan seorang perempuan yang dianggapnya tepat apa salahnya mereka kemudian menikah. Sementara Khalisa menerima takdirnya sebagai perempuan yang tak pernah diinginkan  Dion untuk menjadi pendamping hidupnya. Perempuan seperti dirinya tak membuat lelaki merasa berharga. Menjadi kecil dan tak berarti di depan perempuan sekuat dirinya.

       "Kamu juga telah menemukan pilihanmu ?" tanya  Dion dengan keraguan di matanya.

      "Maksudmu?"

      " Anak muda yang bersamamu kemarin?"

       Khalisa membuang pandangan ke arah lain. Bisa saja dia mengakui Romy sebagai kekasihnya namun itu tak dilakukan. Biarlah menjadi teka-teki bagi Dion. Alangkah naifnya menganggap Romy adalah kekasih Khalisa.

       "Aku harus segera pulang," katanya mengakhiri pertemuan yang tak pernah dikehendaki.

       "Apakah kamu masih mengijinkan aku untuk bertemu kamu lagi?"  Dion menatap penuh harap ke bola mata Khalisa yang mendadak berubah sayu.

      "Kukira sebaiknya kita tak pernah lagi bertemu,' jawabnya datar.

       Dion tak ingin memaksa dan juga tak menghalangi ketika Khalisa meninggalkannya Bagi Khalisa,  tak ada yang lebih utama selain kebahagiaan yang sedang dicarinya kini. Entah berada di mana dia tak  pernah tahu. Sebagian besar orang menganggap kebahagiaan itu berada di dalam hati kita masing-masing.

        Romy menelponnya ketika Khalisa sampai di rumah. Ingin memastikan apakah semuanya baik-baik saja. Khalisa menduga Romy begitu khawatir jika Khalisa terluka perasaannya oleh Dion.

       "Aku baik-baik saja," begitu dia mencoba menenangkan.

       "Jangan menyembunyikan sesuatu dariku," pinta Romy.

      "Nggak ada apa-apa Romy."

      Keduanya beradu pandang. Sepasang mata itu menentramkannya lalu Romy meraih tubuhnya untuk didekap kuat dan lama di dadanya. Rasa nyaman yang tak terperi mengaliri seluruh pori-pori kulit tubuhnya. Seperti melayang ringan tak berpijak di bumi lagi.  Kehangatan  terserap dari  desah nafas Romy  yang lembut namun teratur. Aroma woody terhirup dalam setiap tarikan napas Khalisa. Aroma tubuh Romy yang membuatnya tetap lekat dalam dekapan.

 

 

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun