"Sembarangan aja kamu ini Rin. Dia ini temanku dari Yogya," Khalisa menerangkan menahan rasa berang.
   Dini muncul di balik pintu pagar dengan piring berisi lontong sayur  di tangan kanan sementara tangan kirinya menenteng bungkusan nasi uduk dan beberapa potong gorengan. Biasanya Ica titip dibelikan nasi uduk untuk sarapan. Meski kerepotan dengan bawaannya, Dini ikut juga mendekati Romy yang sedang menunggu mangkok burjo diserahkan kepadanya.
   "O, ternyata ini orangnya yang ditunggu dari pagi," katanya seraya tersenyum dan menyalami Romy lalu menyebutkan namanya. Sekilas Khalisa mencoba melihat sorot mata Romy apakah akan tersedot ke sepasang mata sayu milik Dini. Tak ada perubahan sorot mata yang membuatnya merasa begitu lega. Aduh, apa sebenarnya yang sedang bergolak di dalam hatinya saat ini.
   "Kita naik ke atas dulu ya !" pamit mereka bertiga hampir bersamaan.
   "Teman-temanmu lucu ya Mbak," kalimat Romy yang ke luar setelah itu membuat Khalisa tersenyum tipis.
   "Ada yang kamu taksir nggak?" selidiknya.
   "Nggak, ah.  Aku naksir Mbak aja," balasnya ringan sambil mencoba menatap dalam-dalam ke mata Khalisa. Membuatnya tersipu sejenak  meninggalkan rona merah muda di pipinya.
   "Enak Neng sarapan burjo pagi-pagi," suara Ibu kos pun terdengar sebelum sosoknya terlihat sempurna tepat di belakang Romy. Di situ terletak pintu rumah utama yang menyediakan teras untuk mereka duduk menikmati burjo di mangkok kecil di atas meja.
   "Eh. Ibu. Iya ini Bu. Mau pesan juga Bu?" sahutnya agak kikuk.
   "Nggak Neng, Ibu sudah masak nasi goreng tadi." jawabnya.
   "Burjonya enak lho Bu, masih hangat, " Romy menimpali tanpa malu-malu.