Mohon tunggu...
Yuanita Pratomo
Yuanita Pratomo Mohon Tunggu... Freelancer - Mommy

Give a mom a break and she will conquer the world!

Selanjutnya

Tutup

Hobby Artikel Utama

The Joy of Learning Series: Bisa Membaca Tanpa Belajar, Hoax atau Fakta?

6 Oktober 2022   11:56 Diperbarui: 6 Oktober 2022   14:30 820
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
anfaat membacakan buku yang sama berulang kali bersama anak. (Sumber: Fly View Productions via kompas.com)

Beberapa hari ini hujan mengguyur dengan derasnya, jemuran pun tak kunjung kering. Saya pun agak lega, karena rehat acara menyetrika dan punya waktu lagi untuk menulis. 

Sembari menyesap secangkir coklat hangat di cuaca mendung ini, mari kita menyimak percakapan antara ibu-ibu Alfabet, di sebuah taman kanak-kanak.

"Anaknya sudah lancar membaca, Mami?" Tanya ibu A ke ibu B.

"Sudah Mam, lancar dari sejak TK A," iIbu B menjawab dengan bangga.

Ibu C di sebelahnya menatap tak percaya. Ibu D yang berdiri agak jauh, dengan panik memalingkan muka karena takut ditanya.

Bahkan kemampuan membaca anak-anak TK pun sudah menjadi ajang kompetisi tersendiri bagi ibu-ibu mereka. Padahal konon kabarnya kemampuan calistung sudah tidak lagi menjadi syarat masuk sekolah dasar. Realitanya, materi pelajaran kelas 1 SD membutuhkan kemampuan membaca yang memadai.

Jadi jangan salahkan orangtua yang resah dan gelisah, ketika anaknya belum bisa membaca. 

Belum lagi persaingan terselubung yang bergema di media sosial, di wa grup, pun dibalik percakapan basa basi saat menjemput buah hati.

Seperti efek domino, orangtua yang panik membuat anak semakin panik. Semakin tantrum. Semakin susah untuk belajar. Semakin trauma. Alhasil, belajar bukan lagi menjadi hal yang menyenangkan.

Jadi bagaimana? Adakah cara yang menyenangkan untuk anak-anak belajar membaca?

Bukan hanya menyenangkan, tapi juga magic. Blink ! Tiba-tiba anak bisa baca tulis tanpa diajari baca tulis. Effortless, istilah kekiniannya.

Masak sih bisa? Bercanda...

Bukan, saya sedang tidak bercanda atau nge-prank. Ini realita dan berdasarkan pengalaman nyata. Kabar baiknya, ini bukan hanya pengalaman saya lho, ada beberapa orang yang saya kenal memiliki pengalaman yang sama. Jadi dalam hal ini,  unsur subjektivitasnya boleh dikatakan relatif minim.

Duh, makin penasaran kan caranya bagaimana ? Yuks, kita simak bersama. Jangan lupa seduh dulu kopinya ya, ayah bunda, biar gayeng obrolan kita.

Pertama, Perkenalkan Buku Sedari Dini

Tak kenal maka tak sayang. Memaksa anak belajar membaca dengan serta merta, sementara mereka belum pernah diajak kenalan dulu dengan buku dan terbiasa dengan buku sebenarnya masuk dalam kategori perbuatan yang tidak menyenangkan. Karena belum kenal tapi dipaksa sayang. Gimana bisa bucin? Tantrum iya.

Jadi, bacakanlah cerita sejak dini, bahkan sejak dalam kandungan. Apakah mereka mengerti ? Pasti belum, tapi semuanya pasti terekam di bawah sadar mereka.

Si Cantik di Perpustakaan, dokumentasi pribadi
Si Cantik di Perpustakaan, dokumentasi pribadi

Jadi, daripada memutarkannya coco melon untuk membuatnya tidak rewel, atau memanjakannya dengan gadget  sehingga kita bisa mantengin medsos kita tanpa gangguan, bagaimana kalau mulai membacakannya buku?

Tidak perlu sepanjang hari juga, kecuali kita memang punya privillege untuk mengasuh sendiri dan salah satu orangtua tidak harus bekerja formal dengan jam kerja yang kaku, sehingga bisa beberapa kali dalam sehari membacakannya buku.

Bagi orangtua yang dua-duanya bekerja, sekali sehari sebelum tidur pun sudah cukup dan bisa membangun kebiasaan yang baik. Gantian antara ayah dan ibu juga boleh, malah lebih baik. Nanti kalau anak kita sudah bisa membaca sendiri, otomatis kebiasaan itu akan terbentuk dan terbawa sampai besar.

Intinya, tumbuhkanlah rasa sayang anak pada buku dan  kegiatan membaca, meskipun awalnya bukan dia sendiri yang membaca.

Kedua, Konsistensi Dalam Membangun Kebiasaan

Waktu putri saya berusia 3 tahun dan sudah semakin pintar mengungkapkan pendapatnya, dia protes ke saya:

"Mama melarang aku lihat hp, tapi mama lihat dan pegang hp terus!"

Deg! 

Antara terkejut, terpana, malu dan merasa bersalah pun jadi satu. Saya tidak sadar selama ini saya begitu sibuk dengan dunia medsos saya sampai lupa dua bola mata mungil yang cantik itu memperhatikan perilaku saya dan mempertanyakannya.

Sejak saat itu saya pun menonaktifkan medsos pribadi saya, karena itulah yang banyak menggerus waktu saya dan tidak sebanding dengan manfaat yang saya rasakan. Well, tentu saja ini versi saya, ya. Kalau ada versi yang lain ya bebas-bebas saja. Kita negara demokratis.

Intinya adalah konsistensi dan teladan. Bagaimana saya melarangnya memegang hp, sementara sepanjang waktu mata saya tertancap pada si layar biru. 

Jelas tidak fair dan lebih fatal lagi memberikan teladan yang tidak baik tentang konsistensi. Apalagi kalau alasan mantengin gadget tersebut bukan untuk hal yang produktif, dan tidak ada hubungannya dengan pekerjaan atau tanggung jawab.

Di lain sisi, ketika saya ingin membangun kebiasaan membaca putri saya, saya juga harus memperlihatkan padanya melalui kebiasaan saya membaca, bukannya malah sibuk mantengin gadget saya yang unfaedah itu.

Saya bersyukur si cantik protes ke saya waktu itu. Kalau tidak, tanpa sadar saya bisa saja kebablasan dan semakin kesulitan menanamkan kebiasaan membaca.

Tentu saja, sekarang kita juga bisa membaca e-book lewat gadget, tapi untuk anak usia dini lebih baik diperkenalkan dengan buku dalam bentuk fisik. Karena sensasinya lebih kaya, dan beberapa buku dirancang memang untuk merangsang indera dan motorik mereka yang sedang berkembang. Selain itu, demi menjaga dan menyayangi sepasang mata sehat mereka.

Oke, mari menaruh hp kita sejenak di dalam laci, membuka buku dan memulai aktivitas membacakan buku cerita yang menyenangkan.

Berpetualang bersama. Bermimpi bersama. Berimajinasi bersama. Tertawa bersama. Karena waktu-waktu itu terlalu berharga untuk berlalu begitu saja.

Ketiga, Ketika Magic Moment Tiba

Suatu hari, ketika saya sedang asyik membacakannya buku. Tiba-tiba putri saya menyela, "Mama, mana tulisan yang bunyinya 'Hallo'?"

Itulah "magic moment" saya dan si cantik. Waktu itu usianya 4 tahun. Sejak saat itu, setiap kali saya membacakannya buku, dia semakin sering menyela dengan pertanyaan-pertanyaan penuh keingintahuan.

Saya pun mulai mengenalkannya pada huruf dan angka, semata-mata untuk memuaskan rasa ingin tahunya yang besar, bukan karna dia harus menghafalkannya atau terpaksa mempelajarinya.

Saya tidak pernah mengajarinya membaca dan menulis, entah bagaimana dia bisa merangkai huruf-huruf itu dan membacanya. Dari tertatih-tatih sampai lancar jaya. 

Otak manusia, ciptaan sang Pencipta, memang luar biasa. Super komputer sesuper apapun tak bisa menandinginya, sayangnya kita sering lupa menggunakannya.

Ada banyak kenangan indah tak terlupakan dari yang lucu sampai menggemaskan ketika dia mulai senang mengeja huruf-huruf membentuk kata.

Salah satu kenangan yang paling berkesan adalah ketika dia dengan penuh semangat membaca semua label makanan di sepanjang lorong supermarket saat kami pergi berbelanja, diiringi senyuman geli para pengunjung supermarket. Kadang salah eja, kadang kedengaran lucu saja di lidahnya yang mungil.

Kenangan yang lain, saat dia dengan iseng berdiri di depan rak buku kami dan mencoba membaca semua judul buku di rak dengan terbalik-balik karena masih belum terlalu paham. 

Membaca buku bahasa Jerman dengan cara mengeja bahasa Inggris, dan sebaliknya. Saya ingat waktu itu saya berada didekatnya sambil menahan geli. Menggemaskan sekali.

Atau ketika kami naik kereta api atau tram, dan dia membaca keras-keras buku-buku cerita yang dibawanya dan penumpang lain di sekitar kami pun ikut menyimaknya. 

Ketika kami tiba di stasiun tujuan dan ceritanya belum selesai, para pendengar itu akan berseru kecewa karena penasaran ending-nya. Kami pun turun dari kereta diiringi pesan beberapa orang, "Teruslah membaca!"

Sungguh kenangan yang sangat indah, di antara hamparan hijau sepanjang perjalanan, langit biru dan orang-orang yang mencintai buku.

Sebelum genap usia 5 tahun, putri saya sudah lancar membaca dalam dua bahasa, tanpa saya pernah mengajarinya secara khusus membaca.

Dalam menulis pun berlaku sama, saya tidak pernah membelikannya buku belajar menulis. Ia mempelajarinya dengan alami, didorong rasa ingin tahu yang sangat tinggi. Tanpa paksaan, tekanan atau deadline. Bahkan cara memegang pensil pun tidak saya koreksi, selama memegangnya masih dengan tangan, bukan dengan kaki, hehe.

Yang ingin saya tekankan disini bukanlah pada kemampuan membaca putri saya pada usia pra-sekolah, tapi lebih kepada proses belajar yang dia nikmati sampai ia lancar membaca dan menulis.

Putri saya bukan satu-satunya yang memiliki cerita yang sama. Ada beberapa orang yang saya kenal yang juga memiliki pengalaman yang sama.

Salah seorang teman putri saya bahkan memiliki skill level membaca melampaui kelas 6 SD, ketika usianya baru 6 tahun.  Sehingga ketika kegiatan membaca di sekolah, dia pun di berikan materi yang berbeda dan jauh di atas level teman-temannya. Kebetulan pada saat itu teman saya ini sekeluarga tinggal di negara yang sangat memperhatikan kemampuan literasi anak.

Yang istimewa bukan hanya skill membaca si anak yang mencengangkan, tapi bahwa orangtuanya juga tak pernah secara khusus mengajari putri mereka ini membaca. Mereka hanya mengenalkannya pada buku dan kebiasaan membaca.

Jadi, anak bisa membaca tanpa harus belajar membaca itu sebenarnya bukan hanya isapan jempol belaka. Bukan bercanda, pun bukan prank.

Kenalkan dengan buku, bacakan untuknya, selanjutnya tinggal menunggu saat "magic moment" itu tiba. Blink! Tiba-tiba budget beli pulsa berganti dengan budget beli buku. Mall berganti dengan perpustakaan. Membaca pun menjadi kebiasaan.

Semoga tulisan ini bisa meredakan resah gelisah Ibu Bapak semua, yang putra putrinya sedang belajar mengenal huruf, angka dan dunia.

Sampai bertemu di seri The Joy of Learning berikutnya.

Catatan kaki: Foto di atas diambil ketika si Cantik berusia 3 tahunan, sibuk memilih buku yang mau dipinjam di perpustakaan kota tempat kami tinggal, waktu itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun