Lalu undangan mulai berdatangan.
Aku diminta menjadi narasumber seminar di kota-kota berbeda.
Kadang bicara tentang otomasi perpustakaan, kadang tentang transformasi profesi pustakawan di era digital.
Awalnya aku canggung.
Aku bukan pembicara ulung. Tapi perlahan aku belajar: orang datang bukan untuk mendengar kata-kata indah, tapi untuk mendengar sesuatu yang nyata.
Dan dari situ, pintu lain terbuka.
Namaku mulai disebut dalam lingkaran yang lebih tinggi.
Aku diminta menjadi bagian dari tim penyusun naskah akademis Rancangan Undang-Undang Perpustakaan.
Lalu ikut merumuskan Peraturan Menteri PAN tentang jabatan fungsional pustakawan.
Aku juga mulai dilibatkan dalam berbagai forum di Perpustakaan Nasional, ikut memberi masukan, ikut duduk dalam pertemuan kebijakan.
Dari seseorang yang dulu menyembunyikan pekerjaan di perpustakaan karena malu, aku kini diminta bicara tentang masa depan profesi ini di ruang-ruang yang penuh pejabat.
Bukan karena aku hebat.
Tapi karena aku konsisten.
Dan mungkin, karena aku tahu persis bagaimana rasanya menjadi pustakawan yang tak dianggap.
 Setiap kali aku berdiri di podium, aku selalu mengingat hari-hari ketika aku mengetik kartu katalog dengan gaji minim dan rasa minder.
Dan dari situlah kekuatan itu datang.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI