"Mas, aku ingin menyampaikan ini dengan tenang, tapi aku tidak tahu bagaimana cara yang paling tidak menyakitkan. Ibu... telah meninggal dunia. Kanker payudara. Maafkan aku, Mas, aku tidak bisa bilang lebih awal karena kami semua juga tidak siap..."
Aku berhenti membaca. Tanganku gemetar.
Mataku mulai panas. Kepalaku kosong.
Ibuku. Perempuan yang membesarkanku. Yang selalu bilang, 'Herman, belajar yang tinggi ya. Biar kamu bisa hidup lebih baik dari kami.'
Aku tidak ada di sisinya saat ia sakit.
Aku tidak menggenggam tangannya di detik terakhir.
Aku tidak bisa mengecup keningnya di pemakaman.
Aku bahkan tidak bisa memeluk ayah, atau memeluk adik-adikku.
Aku hanya duduk di negeri asing, dengan setumpuk catatan, dan kepedihan yang tidak bisa kubagi ke siapa-siapa.
Tangisku pecah malam itu.
Bukan tangis keras. Tapi tangis yang ditahan terlalu lama. Tangis seorang anak yang merasa gagal melunasi cinta ibunya.
Ujian terakhir tetap harus aku hadapi.
Tapi malam itu, aku tidak belajar apa-apa---selain satu hal:
Orang bisa kuat menghadapi dunia. Tapi tetap rapuh kalau kehilangan tempat pulang.
Â
Bab 15: Laut yang Tidak Menjawab Apa-Apa
Setelah membaca surat dari Agustin, malam itu aku tidak bisa memejamkan mata.
Keningku panas. Tubuhku dingin. Tapi yang paling beku adalah pikiranku.