Mohon tunggu...
George
George Mohon Tunggu... Konsultan - https://omgege.com/

https://omgege.com/

Selanjutnya

Tutup

Ramadan Artikel Utama

Era Kopi Tanpa Kedai? 'Just-Pretending-Leisure' Class Kehilangan Penanda

15 Juni 2020   22:57 Diperbarui: 13 April 2024   23:19 2860
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oleh berabad-abad pengerahan instrumen hegemonik, masyarakat -bahkan kelas pekerja yang fitrahnya memuliakan kerja- turut mengamini ideal  leisure class sebagai keutamaan, sebagai kemuliaan, sebagai hal yang patut dikejar. Para peraihnya, orang-orang yang bisa melakoni gaya hidup tersebut, patut dipuja-puji.

Iklan media massa tidak cuma membawa pesan bahwa suatu produk baik adanya, nomor satu untuk dikonsumsi. Di baliknya menyusup pula pesan tentang keutamaan-keutamaan hidup yang diyakini the rulling class.

Di permukaan, iklan bicara tentang nilai guna barang. "Minuman isotonik baik untuk tubuhmu." Tetapi di baliknya menyusup pesan petanda "Orang modern itu aktif dan orang aktif minum isotonik."

Maka KFC laris BUKAN karena iklan memasarkannya sebagai lebih enak dibandingkan ayam goreng racikan Bi Inem di dapur, tetapi karena di balik serangan gencar iklan-iklan terdapat pesan, "Inilah yang dikonsumsi orang-orang Amerika Serikat yang moderen itu. Dengan meniru mereka, kita pun orang moderen."

Begitu pula dengan budaya ngopi di cafe yang dilakoni urban middle class. Sebagian besar di antara mereka tidak sungguh peduli rasa kopi. Sodori mereka kopi sachet dari warung, sajikan dalam cangkir di cafe-cafe mahal, mereka akan tetap memujinya enak.

Mereka juga tak butuh kawan ngobrol di cafe. Mereka hanya butuh citra: sebagai sosialita, sebagai anak gaul, sebagai orang-orang muda sukses yang punya banyak waktu luang dan punya cukup uang untuk duduk-duduk di kafe mahal sambil menikmati kopi yang overpriced.

Coffee dan cafe adalah dwi-tunggal produk yang jadi penanda bagi citra tersebut; menjadi simbol, pernyataan sikap, deklarasi, bahwa konsumennya adalah ideal kelas menengah perkotaan.

Ketika dwi-tunggal itu pecah, dipasarkan tidak sepaket, buyar pula petanda yang diwakili.  Inilah yang akan terjadi sebagai dampak pandemi Covid-19. Setidaknya dimulai dari Starbucks, waralaba kedai kopi terbesar di dunia, simbol masyarakat modern-sibuk-dinamis perkotaan.

Akhirnya Biologi, bukan artificial intelligence biang disrupsi peradaban kita

Sebelum virus corona baru merebak di Wuhan lalu menjadi pandemi, dunia sedang menyambut revolusi industri 4.0 dan dampaknya yang disruptif terhadap kehidupan normal.

Orang-orang bicara tentang lingkungan kerja dan model pengupahan yang berubah. Orang-orang mulai kehilangan pekerjaan, digantikan kecerdasan buatan. Yang bertahan terpaksa menerima mode pengupahan baru: kerja yang fleksibel, yang bisa berhenti sewaktu-waktu, yang part-time, yang tiada jaminan masa depan, sekadar bertahan hari demi hari.

Kita bicara tentang model komunikasi yang kian men-sosialkan sekaligus mengasingkan manusia: ketika yang bercakap-cakap adalah gawai dengan gawai; ketika mendapat kawan dari belahan dunia antah berantah sedemikian mudahnya dan sebaliknya berkomunikasi dengan orang serumah jadi kemewahan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ramadan Selengkapnya
Lihat Ramadan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun