Mohon tunggu...
George
George Mohon Tunggu... Konsultan - https://omgege.com/

https://omgege.com/

Selanjutnya

Tutup

Ramadan Artikel Utama

Era Kopi Tanpa Kedai? 'Just-Pretending-Leisure' Class Kehilangan Penanda

15 Juni 2020   22:57 Diperbarui: 13 April 2024   23:19 2860
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"The bourgeoisie is being transformed into rentiers who have about the same relation to the great financial institutions as they have to the State whose obligations they acquire; in both cases, they are paid their interest and have nothing else to worry about." -Alexander Parvus- dikutip Bukharin,  The Economic Theory of the Leisure Class .Hal 25.

Bukharin menilai strata borjuasi penikmat rente bersifat parasit dalam masyarakat. Mereka mengembangkan sifat-sifat psikologis serupa kaum bangsawan dan aristokrat pada masa silam (feodal).

Karakter borjuasi rente sebagai leisure class versi Bukharin serupa penggambaran Veblen. Perbedaanya Bukharin mengupas laisure class dari sudut pandang ekonomi politik, bukan dari sisi kultur seperti Veblen.

Menurut Bukharin, perbedaan utama borjuis penikmat rente dengan kelas pekerja dan tipe borjuasi lain adalah kelompok yang pertama tidak lagi terlibat dalam aktivitas ekonomi -maksud Bukharin adalah produksi dan perdagangan. Dengan kata lain, mereka tidak lagi bekerja produktif.

"Consumption is the basis of the entire life of the rentiers and the 'psychology of pure consumption' imparts to this life its specific style. The consuming rentier is concerned only with riding mounts, with expensive rugs, fragrant cigars, the wine of Tokay. A rentier, if he speaks of work at all means the "work" of picking flowers or calling for a ticket at the box office of the opera.! Production, the work necessary for the creation of material commodities, lies beyond his horizon and is therefore an accident in his life."  -Bukharin, hal 26.

Bukharin lebih jernih menjelaskan asal muasal watak anti-kerja--yang oleh Veblen menjadi dasar keutamaan leisure class--sebagai ekspresi kultur yang melekat pada relasi produksi.

Kelas sosial, oleh keunikan posisi dalam relasi produksi membentuk kebudayaan kelas yang khas pula. Beragam aktivitas memfoya-foyakan waktu --dengan menonton opera, menyaksikan fashion show, menyelenggarakan pesta, atau menjalani hobi mahal dan butuh ketelatenan-- lahir dari ketiadaan kewajiban kerja.

Barulah kemudian, kebiasaan-kebiasaan itu, hobi-hobi itu berubah fungsi menjadi kode etik kelas; yang kemudian menjadi penanda status sosial yang eksklusif. Konsumsi waktu luang dan barang mewah secara menyolok hanyalah upaya penegasan status tersebut agar diterima komunitasnya dan demi mendapat penghormatan khalayak.

Bagaimana keutamaan the leisure class kini jadi keutamaan kelas pekerja pula?

Budaya nongkrong di cafe, memesan secangkir kopi overpriced untuk difoto dan disebarluaskan di media sosial adalah persis meniru mental leisure class di era Veblen: pamer kemewahan bisa menikmati waktu luang di tempat mahal (conspicuous leisure)  untuk mengonsumsi barang mahal (conspicuous consumption).

Tetapi di era Veblen, adalah sungguh-sungguh leisure class, kalangan elit yang memang tidak perlu bekerja -dalam masyarakat kapitalis, mereka grup borjuasi penikmat rente- yang berperilaku demikian. Di masa kini, seperti contoh pemuda kita pada awal artikel, kelas pekerja turut pula berperilaku demikian.

Mengapa bisa demikian?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ramadan Selengkapnya
Lihat Ramadan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun