Mohon tunggu...
Theodorus BM
Theodorus BM Mohon Tunggu... Administrasi - Writer

Seorang pemuda yang senang menyusun cerita dan sejarah IG: @theobenhard email: theo_marbun@yahoo.com wattpad: @theobenhard

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Pewaris Tahta yang Bersembunyi [Novel Nusa Antara]

22 April 2020   09:31 Diperbarui: 22 April 2020   09:32 189
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Ribuan kisah.

Rakai Pikatan memandang ribuan prajurit yang berbaris dan berlatih perang di lapangan Prambanan. Tangannnya menggenggam secarik kain. Benda itu berwarna merah, terbuat dari beludru. Kabar yang diterimanya dari Mpu Galuh pagi itu sama sekali tidak membuatnya merasa tenang.

Pergi tanpa memberitahuku. Bagus sekali rencana kalian, Mpu Galuh, Pramodawardhani.

Kegelisahan yang melanda membuatnya mondar -- mandir di teras bilik lapangan Prambanan. Matahari hampir meninggi, menunjukkan waktu bergerak menuju siang hari. Ia membuka genggaman kain di tangannya. Sebuah tulisan hadir di dalamnya dalam Bahasa Sansekerta, sebuah pesan dari tuan putri sebelum meninggalkan istana Prambanan.

Aku akan aman -- aman saja. Jangan cari diriku. Tujukan perhatianmu kepada bangsa ini. Lindungi diri dan bertahanlah. Salam, Pramodawardhani.

Tangannya yang lain mengepal. Di dalam pikirannya setidaknya ia sudah merencanakan hidup mati bersama. Tidak terpisah seperti ini.

Seseorang bertubuh kurus dan berkulit hitam menghampirinya dari belakang.

"Selamat pagi menjelang siang, kawan."

Rakai Pikatan berbalik arah, "Selamat pagi juga, Raka Saputro."

Raka Saputro membuka percakapan, "Kau terlihat gelisah. Ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu? Mungkin aku dapat membantu."

Rakai Pikatan tersenyum dan menggeleng, "Bukan apa -- apa."

Raka Saputro berdiri di samping Rakai Pikatan sembari memandang prajurit -- prajuritnya, "Kau tahu, sudah dua hari ini aku tidak melihat kedua tuan putri. Jika itu yang menjadi sumber ketidaktenanganmu, aku bisa mencari tahu."

Rakai Pikatan menatap tajam ksatria di sampingnya, "Aku sudah bilang itu bukanlah urusanmu."

Raka Saputro mengangkat bahu, "Baiklah, taulan."

Seorang pelayan menghampiri Rakai Pikatan dan Raka Saputro, "Tuan -- tuan, kehadiran tuan -- tuan sekarang diharapkan di ruang pendopo istana oleh raja."

Raja Samaratungga memanggil kita?

"Aku dan Raka Saputro?" Rakai Pikatan mengulangi.

"Benar, tuan."

Rakai Pikatan dan Raka Saputro berpandang -- pandangan. Mengangguk tanda mengerti, mereka melangkah menuju ruang pendopo istana untuk menghadap raja. Memasuki ruangan, singgasana raja terlihat kosong. Dayang -- dayang sedang beristirahat di samping singgasana. Raja berada di samping jendela, memerhatikan prajurit -- prajuritnya berlatih tanding. Seseorang berpenampilan seperti penyihir berada di samping raja. Sang patih Medang, Ario Senopati.

Raja menyadari kedatangan Rakai Pikatan dan kompatriotnya. Ia meminta Rakai Pikatan dan Raka Saputro menghampiri. Kedua kolega itu berjalan menuju raja dan menghatur sembah.

"Selamat pagi, yang mulia raja. Salam dalam nama tripurusa."

"Selamat pagi juga, kalian berdua. Dharma Buddha menyertai kalian."

Raja menatap Raka Saputro, "Ada berapa banyak tentara di tempat ini?"

"Sekitar tiga hingga empat ribu, yang mulia raja."

Raja kembali memandang keluar jendela.

"Pergilah kau, bantu pasukan rakyat yang berada di utara Gunung Merapi. Bawa prajurit -- prajuritmu seluruhnya. Mpu Manuku, sertai mereka dalam pertarungan di utara sana."

Rakai Pikatan dan Raka Saputro terkejut.

"Tapi, yang mulia, panglima Joko Wangkir sendiri yang memberi titah kepadaku untuk melindungi engkau di istana ini. Hamba adalah pertahanan terakhir, yang mulia raja."

Raja menggeleng, "Aku mengamini rencana Joko Wangkir karena aku tahu persetujuanku akan membuatnya fokus untuk bertarung di tanah Dieng. Pergilah kau, rakyat utara Merapi lebih membutuhkanmu daripada aku di sini."

Raka Saputro masih berusaha untuk membantah perkataan Samaratungga, "Aku sudah menyiapkan strategi pertahanan di istana ini, wahai yang mulia raja. Jika aku pergi siapa yang akan melindungi engkau?"

"Tidakkah engkau mendengar suara ribut -- ribut ini, Raka Saputro? Apakah bunyi -- bunyi ini adalah hal yang biasa terjadi di kotaraja?"

Raka Saputro terdiam. Raut wajahnya menunujukkan sebuah rasa kesal. Rakyat Medang memang telah memenuhi jalanan di setiap sudut kotaraja Prambanan, menimbulkan sebuah bunyi kegaduhan yang tidak terjadi di hari -- hari biasa. Sebagian besar dari mereka adalah pemuda -- pemudi. Orang -- orang tua pun turut serta. Raka Saputro bahkan harus menyuruh pulang orang -- orang beruban ketika ia melakukan patroli keliling lingkungan istana. Mereka bersenjatakan tombak, sebagian lagi membawa kayu yang diruncingkan. Adapula yang membawa pisau garpu. Kegaduhan terbesar berada di alun -- alun, bahkan panggung yang biasa menjadi tempat pertunjukan seni harus dibongkar untuk memuat lebih banyak insan.

Raka Saputro tidak mampu lagi membantah maklumat raja. Giliran Rakai Pikatan berkomentar.

"Raja, kehadiranku di medan perang tidak akan membantu. Ijinkanlah aku disini, berada di dekatmu untuk memastikan keselamatanmu."

Kali ini bukanlah raja yang membalas ucapan Rakai Pikatan, melainkan Ario Senopati.

"Begitu pula disini, Rakai Pikatan. Kau tidak akan berguna disini seandainya pun prajurit Sriwijaya menghambur istana."

Rakai Pikatan mengingat -- ingat seratus alasan mengapa ia menyukai Ario Senopati. Tepat, sepuluh alasan pun tidak ada.

Raja menatap Rakai Pikatan, "Pergilah, Mpu Manuku. Tidak perlu kau menemukan alasan yang tepat. Ini perintahku. Apakah kau hendak berbantah dengan raja?"

Rakai Pikatan tertunduk, "Tidak, yang mulia raja."

Raja bertitah, "Segeralah kalian bersiap diri. Pergi ke utara sekarang juga. Mungkin pasukan Sriwijaya sudah bertempur dengan Mpu Panca di Laut Jawa."

"Baik, yang mulia raja, kami mohon diri."

***

"Lihatlah awan -- awan di atas sana. Dapatkah kau melihat puncak Gunung Merbabu?"

Rakai Pikatan mendengarkan Mapala Senadi berucap. Kata -- katanya seperti sedang mengucapkan dongeng saja. Tidak dalam kondisi perang. Di usianya yang mendekati lima puluhan, ia masih terlihat sangat bugar.

"Aku tidak melihatnya, tuan Senadi. Namun dengan segala hormat, tolong pusatkan pikiranmu kepada perang yang sedang berlangsung. Aku harus menyesuaikan formasi pasukanku dengan formasi pemuda -- pemudamu, para pemuda Merapi." Raka Saputro membalas ucapan sang bupati.

Mapala Senadi tersenyum, "Fomasi apakah yang kau harapkan aku tempatkan sekarang di medan perang?"

Raka Saputro mengernyit.

 "Jika kau melakukan sebuah bukaan cakrawyuha, maka aku dapat melengkapi dengan penyerangan seperti garudawyuha. Jika kau menyerang," Raka Saputro berhenti dan tercekat. "Tidak mungkin kau akan menggunakan formasi menyerang."

Mapala Senadi kembali tersenyum.

"Apakah kau baru kali ini terjun ke medan perang? Kau masih hijau, Raka Saputro."

Raka Saputro menggeleng tanda tidak setuju. Ia membuka mulutnya untuk membalas, namun perkataan Mapala Senadi lebih cepat.

"Aku mendapatkan ilmu tentang formasi perang ketika belajar di pasukan kerajaan belasan tahun yang lalu. Namun aku menyaksikan dengan mata kepalaku sendiri Samaratungga tidak menggunakan formasi -- formasi dari Bharatayudha ketika menaklukkan Kerajaan Kedu. Begitu pula ketika Samagrawira dan Balaputradewa datang. Formasi -- formasi itu hanyalah sebuah karangan yang dilebih -- lebihkan. Di atas lapangan, semua akan berbeda."

Raka Saputro terdiam mendengar penjelasan Mapala Senadi. Matanya memandang tajam, meminta penjelasan sang bupati.

"Tenang saja, ksatria, aku tidak merendahkan ilmu perang yang telah kau dapat. Yang terpenting adalah mempertahankan garis pertahanan. Tempatkan mereka yang memiliki kemampuan perang berlebih di pinggir, sehingga kita bisa melakukan pengepungan jika diperlukan. Jika garis pertahanan hancur, akan terjadi pertempuran brutal di atas lapangan. Bahkan bisa saja teman tertembus pedang teman lainnya. Kau dan pasukanmu dapat membantu aku di bagian pinggir, ksatria. Itupun jika engkau berkenan."

Di dalam hatinya Rakai Pikatan menyetujui ucapan Mapala Senadi. Sebagian besar perang di dalam buku memang dikarang secara berlebihan. Kita tidak pernah melihat langsung bagaimana cakrawyuha berfungsi menghadapi penyerangan musuh.

Langit sudah memerah di sore itu. Mapala Senadi memandang keluar jendela menara. Menara itu terletak di kaki Gunung Merbabu, menghadap ke arah barat. Dari jendela dapat terlihat padang rumput luas yang menjadi ciri khas dataran Kedu. Beberapa pemuda yang sedang duduk -- duduk terlihat dalam suatu barisan di dataran Kedu. Perlengkapan perang seperti tombak, pedang, dan tameng kayu terlihat di samping masing - masing. Jika diperhatikan lebih jeli beberapa membawa obor untuk jaga -- jaga, seandainya pertarungan akan berlangsung hingga malam hari.

Rakai Pikatan melangkah menuju teras yang terletak di bagian utara. Ia memandang ke atas. Langit cerah tidak membuat puncak Gunung Merbabu terlihat. Awan -- awan menghalangi pandangannya.

"Apakah kau pikir pemuda -- pemuda ini cukup untuk menghalau serangan prajurit Sriwijaya, tuan Mapala Senadi? Jumlahnya sedikit sekali." Raka Saputro kembali bertanya.

Mapala Senadi melangkah menuju teras dan mengikuti tindakan Rakai Pikatan.

"Aku membagi pasukanku menjadi dua bagian, Raka Saputro. Beberapa akan berada di tebing utara. Beberapa di sini. Kau belum melihat semuanya. Para pemuda dari dataran Kedu dan Mamrati sedang mempersiapkan diri mereka."

Rakai Pikatan membalas ucapan Mapala Senadi, "Bukankah orang - orang Mamrati enggan meninggalkan tempat mereka? Mereka berada di sini?"

"Aku memanggil mereka, Rakai Pikatan. Ya, Mamrati telah dikosongkan dan para pemudanya telah menyatukan kekuatan di sini."

Raka Saputro menyadari sesuatu, namun Mapala Senadi kembali mendahuluinya, "Dan ya, pasukan Mpu Panca telah dikalahkan. Tidak ada kapal laut Medang yang tersisa. Kabar dari telik sandi yang datang tidak bisa memastikan berapa orang yang selamat dan mati."

Raka Saputro dan Rakai Pikatan menunduk tanda kecewa.

"Oleh karena itu, bersiaplah, sebentar lagi mereka akan datang. Mungkin pertarungan malam hari tidak dapat dihindarkan. Namun aku bersyukur, pasukan Mamrati dan Kedu dapat diajak bekerja sama. Aku ucapkan terima kasih kepada Pramawisastra."

Rakai Pikatan menoleh kepada seseorang yang sedang bersemedi di pojok ruangan. Sang bupati Mamrati ada di tempat ini. Seperti tidak mendengar ucapan Mapala Senadi, ia tetap melanjutkan tapanya. Mapala Senadi tersenyum.

"Apapun yang kita katakan tidak akan berpengaruh padanya jika ia sedang bersemedi. Baiklah, mari kita turun, para kolega. Pasukan membutuhkan kita di lapangan."

Raka Saputro mengangguk tanda setuju.

Mapala Senadi berujar, "Rakai Pikatan, dapatkah kau membawa lontar - lontar yang berada di rak kayu itu? Tentang Bharatayudha? Pasukan kita mungkin membutuhkannya kelak."

Rakai Pikatan mengikuti ucapan Mapala Senadi. Ketika kembali, ia mendapatkan Mapala Senadi dan Raka Saputro telah menghilang dari pandangan. Dan sebuah pintu yang tertutup. Rakai Pikatan buru -- buru menarik gagang pintu yang terbuat dari logam. Namun percuma, pintu kayu itu telah terkunci dari luar. Ia menggebrak -- gebrak daun pintu dan berteriak.

"Tuan Mapala Senadi! Raka Saputro! Buka pintunya! Mengapa aku dikunci dari luar?"

Tidak ada jawaban yang menanggapi. Rakai Pikatan mengulangi tindakannya. Ia menggebrak -- gebrak pintu dengan kencang. Kali ini sebuah suara menanggapi.

"Rakai Pikatan! Diamlah! Ini adalah pesan dari raja. Ia ingin kau berada di sana. Tenang, kau akan aman -- aman saja."

"Tuan Mapala Senadi, aku tidak ingin terkunci di tempat ini! Tolong bukakan pintu!"

"Tenang saja, Rakai Pikatan, begitu pertempuran usai maka pintu ini akan dibuka. Ini adalah titah Raja Samaratungga. Ia ingin kau selamat. Dan jangan coba -- coba untuk mendobrak atau merusak pintu ini. Kusennya terbuat dari logam. Usahamu akan sia -- sia."

Rakai Pikatan berhenti memukul -- mukul daun pintu. Ia merenung. Suara di balik pintu telah menghilang. Satu -- satunya cara untuk mengetahui kejadian di dunia luar adalah melalui jendela dan teras di bagian utara dan selatan. Kabur melalui teras menara? Yang benar saja.

Rakai Pikatan mencari tempat duduk dan berpikir. Benarkah raja yang menyuruh Mapala Senadi? Atau ini gagasan Ario Senopati? Mpu Galuh? Atau tuan bupati sendiri? Apakah mereka memang benar -- benar memastikan keselamatanku? Inikah mengapa raja menyuruhku ke tempat ini? Untuk dikunci di tempat ini? Segala jenis pikiran buruk berseliweran di kepala Rakai Pikatan.

Bharatayudha. Bukankah baru saja bupati itu menyangkal lontar itu? Harusnya aku sadar akan ditipu. Sial. Ia bangkit dan mondar -- mandir di sekitar ruangan. Pada akhirnya nasibku sama seperti putri Pramodawardhani dan adiknya. Raja memikirkan keselamatan kami semua. Namun ini menganggap seakan -- akan Kerajaan Medang sudah kalah saja. Benar -- benar menyebalkan.

Berbagai macam pikiran di kepala Rakai Pikatan membuatnya terlupa kepada satu sosok di sudut ruangan. Ia mengingatnya ketika tidak sengaja melempar pandang kepada Pramawisastra. Namun Rakai Pikatan ragu dengan apa yang akan dilakukannya. Pramawisastra bergeming. Ia mencoba menghampiri.

"Tuan Pramawisastra, apakah tuan baik -- baik saja? Tolong jawab aku."

Tidak ada jawaban. Mulut dan mata Pramawisastra tertutup rapat.

"Tuan, sekarang kita dikurung oleh Mapala Senadi di tempat ini berdua saja. Apakah kau ingin melakukan sesuatu?"

Pramawisastra bergeming. Rakai Pikatan yang tidak ingin menganggu tapanya kepada para dewa menyerah dan melangkah menuju teras utara.

Di arah barat, ia dapat melihat jumlah para pemuda telah bertambah. Mereka mengangkat senjata masing -- masing dan mengatur barisan. Mapala Senadi kini dengan kudanya hilir mudik kesana kemari untuk membenarkan posisi pasukannya. Rambut panjangnya berkibar diterpa angin. Rakai Pikatan melihat seorang lain yang dikenalnya berdiri di depan pasukan pemuda. Bupati Kedu, Harian Adhyaksa. Ia berteriak -- berteriak memberikan komando kepada para pemuda. Pasukan Raka Saputro kini mulai terlihat, para prajurit berpakaian besi berada di samping para pemuda.

Seorang pemuda, Rakai Pikatan menebaknya sebagai laki -- laki berusia belasan tahun, berlari menuju arah Harian Adhyaksa dari hutan utara. Ia terlihat panik dan tergesa -- gesa, membuatnya jatuh tersungkur di hadapan sang bupati. Perkataannya kepada Harian Adhyaksa mengakibatkan kepanikan lain dalam diri sang bupati, yang bergegas memanggil Mapala Senadi. Kedua bupati tidak pernah saling bertemu.

Ratusan prajurit bercelana kuning menyerbu dari arah utara, keluar dari pepohonan. Derap langkah kaki para prajurit bersenjatakan tombak, pedang, dan tameng membuat tanah Kedu bergetar dengan hebat. Keterkejutan membuat lapangan pertarungan bergemuruh dan mengakibatkan taktik yang disusun tidak berjalan dengan semestinya. Para pemuda meninggalkan posnya masing -- masing dan menyerbu penyerang mereka. Pasukan Raka Saputro yang melihat kekacauan ini memutuskan untuk melindungi para pemuda. Mereka meninggalkan posisinya dan merangsek ke tengah -- tengah, membaur dengan kawan dan lawan. Dataran Kedu bergetar kuat pada pertarungan ini.

Rakai Pikatan menggeleng -- gelengkan kepala melihat pertarungan yang terjadi atas kehendak dewa. Ia menyaksikan baik kawan dan lawan tertembus senjata tajam. Kepala berterbangan dan warna merah mulai membanjiri tanah. Tebasan dan dentingan pedang terdengar nyaring dari arena pertempuran. Sang pewaris tahta menunduk dan melangkah ke dalam ruangan. Mungkin benar perkataan Ario Senopati. Aku belum pernah melihat pertarungan langsung, jadi aku tidak mengerti begitu mudahnya sebuah tubuh meregang nyawa. Ia katakan disana aku tidak berguna. Disini pun tidak. Aku yakin dirinyalah yang memberi pesan kepada raja untuk mengurungku sekarang.

Mata Rakai Pikatan menyapu seluruh isi ruangan menara. Ia enggan menatap medan pertempuran, kekerasan yang terjadi membuatnya mual. Ruangan itu tidaklah berukuran besar, malah bisa dikatakan kecil, hampir seluas bilik tidurnya. Rak kayu berada di sisi kirinya, dipenuhi perkamen -- perkamen dan kitab -- kitab sejarah serta bela diri. Di tengah -- tengah ruangan terdapat meja bundar dengan kursi -- kursi yang mengelilinginya. Sebuah lukisan pohon trembesi berada di salah satu dinding ruangan. Permadani yang terbuat dari kain beludru melengkapi ruangan itu di ujungnya. Dan seorang bupati kurang waras di hadapan permadani.

Tidak ada hal lain yang bisa dilakukan oleh sang calon pewaris tahta membuatnya memantapkan niat untuk kembali menyaksikan medan pertarungan. Matahari sudah hampir terbenam pada saat itu, menyebabkan warna lembayung merah kehitam -- hitaman menghias angkasa. Obor -- obor sudah mulai dinyalakan. Jarak pandang mulai terbatas, namun arena pertarungan masih bergemuruh. Rakai Pikatan dari jauh tidak dapat lagi mengetahui apakah pasukan pemuda unggul atau sebaliknya. Yang ia dapat perhatikan ialah pasukan bercelana kuning terus bertambah dari arah hutan, seperti air sungai yang terus menerus mengalir menuju laut. Rakai Pikatan mengetahui arti dari pertarungan ini. Kekalahan hanya tinggal menunggu waktu saja. Kita kalah jumlah.

Rakai Pikatan melangkah menuju teras selatan. Keadaan perang membuat Harian Adhyaksa dan Mapala Senadi menyuruh warganya untuk menutup pintu dan jendela dengan rapat. Bahkan Mapala Senadi memaksa warga untuk memalangi pintunya dengan kayu balok tambahan atau apapun yang dimiliki oleh warga. Hal itulah yang disaksikan oleh Rakai Pikatan pada saat ini. Tidak ada satupun pintu atau jendela yang terbuka. 

Para prajurit bercelana kuning mulai berseliweran di rumah penduduk, mencari pintu yang terbuka untuk mencari mangsa. Salah seorang prajurit mulai mendobrak -- dobrak rumah warga. Dengan pedangnya ia memotong gagang pintu dan menjebol pintu masuk sebuah rumah. Para prajurit lain mengikutinya. Beberapa hitungan berikutnya mereka keluar dengan pedang dan tombak berlumuran darah. Rumah -- rumah lainnya pun mulai dibobol. Teriakan demi teriakan terdengar dari arah pemukiman warga.

Rakai Pikatan memejamkan mata. Sungguh kejam sekali yang namanya perang. Orang tak berdosa jadi korban, demi sebuah penaklukkan.

Ketika ia membuka matanya, Rakai Pikatan menyaksikan seorang wanita tua berambut panjang diseret oleh seorang prajurit ke tengah -- tengah jalan. Ia menendang kepala wanita itu sebelum menghunus pedangnya membelah perut sang wanita tua. Wanita tua itu berteriak kesakitan, namun ia belum mati. Dengan usus yang berhamburan keluar, ia memohon kepada prajurit untuk membunuhnya. Prajurit itu menendang dan meninggalkannya, membuat wanita tua itu berteriak -- teriak ke sekelilingnya, memohon siapapun untuk membunuhnya.

Rakai Pikatan tidak dapat lagi menyaksikan penderitaan yang dialami oleh warga. Ia melangkah masuk dan duduk merenung. Sang pewaris takhta membenamkan mukanya di pangkuan.

Ujian macam apakah ini, wahai Batara Siwa? Inikah yang akan kulakukan jika aku menjadi raja kelak? Menyaksikan rakyat dibantai dengan kejam? Aku mulai membenci kekuasaan. Aku mengerti perasaan raja yang tidak ingin melibatkan warga.

Sebuah suara mengagetkannya.

"Tenanglah, calon putra mahkota, semua akan baik -- baik saja."

Rakai Pikatan menengadahkan kepala, mencari sumber suara. Apakah itu Pramawisastra? Tetapi ia masih dalam tapanya. Ia menoleh kesana kemari dan menemukan bahwa masih hanya dirinya dan sang bupatilah yang tinggal di ruangan itu. Rakai Pikatan kembali merenung.

Apapun itu, aku tidak peduli. Bagaimana mungkin rakyat yang dilenyapkan dengan sadis adalah baik -- baik saja. Mustahil. Aku memang tidak pandai bertarung, namun jika bisa aku akan melakukan tapa untuk menukar ragaku dengan para khalayak.  Rakai Pikatan mulai merasa geram.

Sebuah suara kembali terdengar.

"Tenanglah, Rakai Pikatan, pikiran -- pikiranmu hanya akan menyiksamu saja. Beristirahatlah, karena semua akan baik -- baik saja."

Rakai Pikatan kini berdiri dan menoleh kesana kemari mencari sumber suara. Ia berjalan mengitari ruangan dan kembali tidak menemukan orang lain kecuali dirinya dan Pramawisastra. Ia mulai menyadari sesuatu.

Inikah sabda dari Batara Guru? Inikah jawaban dariNya? Haruskah aku menghaturkan sembah sekarang? Sebentar, kepalaku mulai pusing. Seakan -- akan alam semesta berkelilingan di sekitarku. Aku...

Rakai Pikatan tidak sadarkan diri.

***

Rakai Pikatan merasa ingin muntah ketika ia membuka matanya kembali. Perutnya terasa mual dan kepalanya terasa pening. Butuh belasan hitungan baginya sebelum ia bisa bangkit dan menguasai diri. Menggelengkan kepalanya untuk mencari keseimbangan, ia menatap keluar teras. Langit telah berubah menjadi gelap gulita. Ia tidak melihat bintang -- bintang, menandakan awan mendung menutupi mereka. Samar -- samar ia mendengar logam berdenting terdengar dari arah dataran Kedu. Pertarungan masih berlangsung? Ia melangkah menuju teras utara.

Ayam berkokok mengagetkan Rakai Pikatan. Berapa lama aku tertidur? Apakah ini sudah subuh? Ia memandang ke arah medan pertempuran. Pertarungan masih berlangsung dengan bantuan beberapa orang yang memegang obor. Rakai Pikatan tidak dapat menyaksikan dengan jelas. Samar -- samar ia melihat prajurit bercelana kuning bertempur dalam jumlah lebih banyak dibanding lawan -- lawannya. Namun kini ia juga melihat beberapa orang bertubuh dan berotot besar, bersenjatakan golok melawan prajurit -- prajurit Sriwijaya. Siapa mereka? Tidak mungkin mereka adalah pemuda -- pemuda tanah Kedu atau Merapi. Merekakah gerombolan bandit timur yang menjadi bala bantuan?

Langit mulai mengucurkan tetesan air saat itu. Gerimis menyongsong datangnya pagi, menyambut pertarungan yang telah berlangsung selama hampir satu malam. Rakai Pikatan dapat melihat arena pertempuran dengan lebih jelas. Prajurit Sriwijaya unggul dalam jumlah. Prajurit -- prajurit bercelana kuning masih berdatangan dari arah hutan utara. Sedangkan pasukan pemuda hanya tinggal berjumlah kurang lebih puluhan orang. Rakai Pikatan dapat menebak sebelum sang surya muncul di ufuk timur, pasukan pemuda akan habis dilindas oleh para prajurit Sriwijaya.

Rakai Pikatan merenung. Apa yang aku lakukan di sini sendirian? Tidak berkutik. Sementara yang lain mempertaruhkan nyawanya. Ayo pikirkan, calon putra mahkota. Apa yang dapat kau lakukan?

Rakai Pikatan melayangkan pandangannya kembali ke arah medan pertempuran. Pemandangan yang tidak mengejutkan tersaji di hadapannya. Kini medan pertempuran tidak lagi menjadi sebuah arena pertarungan, melainkan menjadi sebuah gelanggang lari para prajurit Sriwijaya. Tidak ada pemuda yang tersisa, yang terlihat hanyalah para prajurit bercelana kuning menyerbu, melesat menuju arah selatan.

Habislah sudah.

Rakai Pikatan melangkah menuju teras selatan, walau pikirannya menghalanginya. Ingin menyiksa dirimu kembali, wahai Rakai Pikatan? Namun kakinya terus membawa dirinya menuju teras selatan. Pemandangan mengerikan lain tersaji di hadapannya. Hampir semua daun pintu dan jendela rumah terbuka atau berlubang. Mayat -- mayat bergelimpangan di atas jalan. Beberapa berserakan di anak sungai yang berasal dari Gunung Merbabu. Airnya memerah akibat bercampur dengan darah. Yang paling memerikan hati Rakai Pikatan adalah tidak ada satupun insan yang masih bernyawa. Tua muda, laki -- laki dan wanita, semua terhambur dan terbujur kaku.

Gerimis mulai berubah menjadi hujan ketika Rakai Pikatan melangkah masuk. Samar -- samar ia mendengar pintu menara bagian bawah digedor dan digebrak. Ia duduk di atas permadani di ujung ruangan. Pada saat ini, saat kematian akan menjemput, lebih baik memanfaatkan waktu untuk berkomunikasi dengan dewa. Aku akan menjalankan tapa.

Rakai Pikatan mendengar derap langkah kaki menaiki tangga menara. Ia memejamkan mata, memusatkan pikiran kepada sang Widdhi. Tiba -- tiba seseorang memegang lengannya, memaksanya untuk bangkit. Sang bupati, Pramawisastra.

"Bangkitlah, waktunya akan segera tiba."

Suara ini. Suara inilah yang menyapaku kemarin. Jadi engkau yang membuatku tertidur?

"Dengan segala hormat, tuan bupati, nyawa kita tinggal sebentar lagi. Aku ingin menyembah dewa Siwa sebelum meninggalkan raga yang fana ini, dan menuju kehidupan berikutnya. Jangan menghalangi aku. Pasukan Medang sudah dikalahkan."

Pramawisastra menggeleng. Pintu ruangan mulai digebrak dari luar.

"Lebih baik kita melangkah menuju teras selatan. Akan terjadi pemandangan yang sangat indah. Bawa kain di atas meja itu, kau perlu melindungi dirimu."

Orang ini gila. Tapanya membuatnya kehilangan akal pikiran. Apakah ia menjalankan tapa? Atau hanya menghibur diri? Di selatan hanya ada pemandangan penuh pembantaian.

"Kau sudah kehilangan akal pikiran, tuan Pramawisastra. Di selatan sana hanya ada pembantaian warga. Aku tidak tega melihatnya lagi."

Gedoran pintu semakin kencang.

"Baiklah, aku akan menikmatinya sendiri jika kau tidak ingin. Sebentar lagi, Dewa Agni akan menunjukkan kekuatannya kepadaku." Ia lanjut berjalan ke teras selatan.

Omong kosong.

Sebuah bunyi yang amat besar dan memekakkan telinga tiba - tiba hadir di indera pendengaran Rakai Pikatan. Disusul oleh bunyi kedua dan ketiga. Ia cepat -- cepat melangkah menuju teras selatan. Bunyi pukulan di pintu sudah tidak terdengar lagi. Pemandangan ajaib tersaji di hadapan Rakai Pikatan dan Pramawisastra. Sang bupati tersenyum.

Gunung Merapi meletus dengan dahsyat.

Cerita lengkap dapat disaksikan di sini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun